Senin, 22 Juni 2015

Tumpang Tindih Dana Aspirasi

Tumpang Tindih Dana Aspirasi

Ismatillah A Nu’ad ;   Peneliti madya
Institute for Social Research and Development, Jakarta
JAWA POS, 19 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENOLAKAN usul dana aspirasi dengan total anggaran Rp 11,2 triliun per tahun yang akan dianggarkan dalam RAPBN 2016 digulirkan bukan hanya oleh gerakan masyarakat sipil, namun juga fraksi-fraksi di DPR. Selain tidak terlihatnya urgensi usul dana aspirasi itu, publik mencium bakal munculnya lahan korupsi baru. Karena itu, nilai mudaratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Selain itu, usul dana aspirasi berpotensi melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Yakni, penambahan fungsi DPR sebagai pengelola anggaran negara. Hal itu bisa menimbulkan overlapping peran antara pemerintah dan DPR. Secara konstitusional, DPR hanya berwenang mengusulkan anggaran kepada pemerintah.
Sejumlah perundang-undangan yang akan overlapping itu, antara lain, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Sangat kuat dugaan, rencana dana aspirasi hanyalah akal-akalan oknum politisi untuk mengeruk uang negara lewat APBN demi ’’kepentingan pribadi dan golongan’’. Sebab, jika usul itu murni, mengapa para penentu kebijakan di Senayan tidak memfungsikan serta mengoptimalkan UU yang sudah ada dalam kaitan untuk pembangunan di daerah?
Ditengarai kuat, rencana itu akan sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia. Sebab, dana-dana APBN yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat akan kembali digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Itu sungguh suatu model atau bentuk ’’rencana jahat’’ baru yang akan dilakukan para wakil rakyat.
Kiranya relevan jika Geoff Mulgan dalam karyanya, Politic in an Antipolitical Age (1994), mengungkapkan bahwa para politikus yang semestinya dan seharusnya dibangun berdasar nilai-nilai moral serta etika, pada pelaksanaannya, lebih memperbanyak memenuhi kepentingannya, kemudian akhirnya merusak tujuan dan arti politik itu.
Tujuan politik adalah to role, bagaimana semestinya para politikus di Senayan membuat suatu kebijakan strategis dalam rangka menyejahterakan kehidupan warga negara. Bukannya menggembosi uang rakyat.
Politik yang dijalankan politikus Senayan pada tataran pelaksanaannya terus tercemari oleh praktik-praktik banalitas yang hanya memperbesar kepentingan demi individu dan kelompoknya. Politik yang dimainkan sekarang cenderung selalu berada dalam sebuah era antipolitik.
Seiring dengan janji-janji para politikus, yang kemudian tidak terbukti atau menyimpangkan wewenang kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan golongan, diharapkan nanti masyarakat akan mendelegitimasi mereka pada pemilu mendatang. Politikus yang riskan dengan praktik banalitas bisa dipastikan akan bertumbangan.
Sudah banyak politikus Senayan yang mengkhianati kepentingan rakyat dengan, misalnya, perilaku korup dan manipulatif. Di tengah keprihatinan bangsa yang diterpa berbagai cobaan, tidak sedikit politikus yang bukannya memikirkan dan membantu semua persoalan kebangsaan, tetapi justru terus merugikan rakyat lewat kebijakan-kebijakan yang konyol.
Yang lebih mengecewakan, di tengah keprihatinan itu semua, satu per satu skandal korupsi mulai terusut KPK. Sungguh suatu skandal memalukan yang tentu tidak memiliki rasa sensitivitas terhadap rakyat yang tiap hari bertambah sengsara.
Belum lagi kelakuan partai-partai politik yang hanya memikirkan suksesi pemilu. Lihat saja gemanya. Misalnya, untuk menyelamatkan citra partai, partai-partai membuat strategi dengan harapan partainya terkesan responsif terhadap tuntutan zaman dan masyarakat.
Selain demi kepentingan rakyat, jargon demokrasi tidak pernah tertinggal digunakan politikus. Mereka menganggap demokrasi adalah tujuan, tetapi tujuan itu justru tidak jelas. Bahkan, terkesan, tujuannya adalah sekali lagi demi kepentingan individu dan kelompok.
Menurut Mestika Zeid (2005), demokrasi yang dijadikan tujuan sesungguhnya bukanlah target demokrasi itu sendiri. Sebab, demokrasi punya tujuan dan tujuan itu adalah kesejahteraan bagi rakyat.
Bangsa ini sekarang berada dalam era politik yang sesungguhnya antipolitik. Politik tidak dibangun berdasar moral. Energi politik saat ini dihabiskan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Di sisi lain, persoalan yang sesungguhnya harus diselesaikan seperti kemiskinan, pengangguran yang kian meningkat, dan krisis pangan, misalnya, tidak disentuh sama sekali.
Para politikus dan birokrat hanya sibuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan. Politik hanya dijadikan ajang dan arena untuk memperkaya diri, saling menjatuhkan, dan sebagainya yang pendeknya bertentangan dengan etika dan moral politik.
Jika terus berlangsung, sesungguhnya keadaan itu akan membahayakan kelangsungan bangsa ini. Sebab, politikus tidak lebih hanya merupakan instrumen destruktif yang justru akan memorak-porandakan bangsa ini dari dalam. Mereka bukan lagi instrumen untuk merekonstruksi persoalan-persoalan bangsa. Melihat kondisi seperti itu, sudah saatnya negara diselamatkan dari kepentingan sempit politikus yang akan merugikan rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar