Puasa, Keadilan dan Kejujuran
Mohamad Sobary ; Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN SINDO, 18 Juni 2015
Puasa, ya puasa. Kita
tahu, ini rukun ketiga dalam lima rukun Islam yang kita junjung tinggi dengan
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, lahir maupun batin.
Semua orang tahu,
puasa itu kewajiban manusia yang diturunkan Tuhan bergenerasi-generasi
sebelum zaman kenabian Gusti Kanjeng Nabi Muhammad SAW, berlanjut terus di
zaman kita hingga kelak di akhir zaman.
Ajaran yang turun dari
”langit” itu banyak diwarnai tradisi, yang berbau ”bumi”. Dulu puasa, ya
puasa begitu saja. Sekarang, sejak kira-kira tahun 1990, berlanjut hingga
tahun 2000-an ini, puasa diawali dengan tradisi maaf-memaafkan, seperti
tradisi lebaran.
Warna tradisi juga
tampak pada buka bersama, dengan meriah, dan penuh persaudaraan yang hangat.
Di masjid-masjid kampung, buka bersama diselenggarakan secara sederhana. Kue
dan minuman serbamanis disediakan bagi yang berpuasa. Kemudian salat magrib
berjamaah. Sesudah salat tarawih, makanan serupa disediakan. Dan itulah yang
membuat tarawih berlangsung sangat meriah.
Bocah-bocah ikut pula
salat tarawih. Mereka pun tampak begitu bersemangat.
Saking semangatnya, sering
terasa bahwa mereka mengganggu kekhusyukan orang-orang dewasa. Tapi gangguan
itu diterima sebagai kebaikan yang begitu megah, karena bocah-bocah malah
dianggap ukuran kekhusyukan yang nyata. Bila dalam kebisingan itu orang
dewasa tetap bisa salat dengan khusyuk, tak diragukan, mereka memang sudah
sampai pada tingkat orangorang yang khusyuk.
***
Relasi dinamis antara
apa yang berupa ”ajaran” dan apa yang ”tradisi”, membuat jiwa kita bergetar.
Kita menjadi saksi bahwa apa yang bersifat ”langit” itu dibikin subur oleh
apa yang merupakan unsurunsur ”bumi”. Dengan kata lain, ajaran ”langit” itu
tidak tumbuh di batu karang yang kering kerontang, melainkan dipersubur oleh
kebudayaan. Agama tumbuh bersama kebudayaan.
Tak diragukan, berkat
kebudayaan pula maka tiap pada menjelang berakhirnya Ramadan kita berdoa
dengan harapharap cemas, semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita lagi dengan
bulan Ramadan tahun berikutnya. Doa itu kita sertai tangis dan tetesan air
mata. Ini air mata orang beriman, yang tulus dalam imannya, tulus kata-kata
dan segenap doanya. Tulus pula segenap amalannya.
Ini wujud amal ikhlas.
Bagi kaum terpelajar, amal ikhlas itu menjadi amalan ilmiah, sekaligus ilmu
yang bersifat amaliah. Jadi, ilmunya bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Dia bukan jenis ilmuwan yang sikap keilmuannya jauh dari sentuhan kehidupan.
Dia memahami kemuliaan Ramadan.
Tahun ini kita bertemu
lagi dengan Ramadan. Tuhan Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Doa kita
dikabulkan. Alhamdulillah.
Kita menyambut kembali
bulan suci Ramadan dengan rasa syukur yang tak terkira. Kita siap menjalankan
kewajiban berpuasa lagi, seperti tahun lalu. Jika berpuasa hanya berarti
tidak makan dan tidak minum sepanjang hari selama sebulan, kewajiban suci itu
tidak berat. Meskipun begitu, mengapa masih ada saja orang yang tidak kuat
menanggungnya?
Untuk jiwa-jiwa yang
boleh disebut telah ”teruji”, tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan
hubungan suami-istri pada siang hari pun tidak seberapa. Ini bukan kewajiban
berat. Tapi tuluskah kita mengerjakannya? Ini pertanyaan penting. Ibadah
tanpa ketulusan akan kehilangan makna pentingnya.
Kita rela berpuasa
untuk Tuhan, yaitu Allah yang Maha Pengasih, tanpa berharap apa pun. Tuhan
memerintahkan, kita menjalankannya. Relasi Tuhan-hamba yang ditandai
keikhlasan di sini mungkin seperti gambaran sikap raja sufi wanita, Rabiah al
Adawiah, yang berpuisi dengan penuh kemegahan: ”Tuhan, aku menyembah-Mu bukan
karena aku takut akan neraka-Mu. Aku menyembah-Mu, juga bukan karena aku
mengharapkan surga-Mu. Tapi aku menyembah-Mu karena aku memang wajib
menyembah-Mu”.
Siapa di antara kita
yang memiliki maqom rohaniah
setingkat ini? Siapa yang memiliki keikhlasan seperti Adawiah? Bagi raja sufi
dari Basrah ini, neraka dan surgaloka bukan isu penting. Baginya, yang
terpenting, ialah kebersamaannya dengan Tuhan, Allah yang Mahatinggi itu
sendiri.
Baginya, di neraka tak
menjadi soal, asal bersama Tuhan yang Mahatinggi. Di surgaloka pun dia
gembira selama berkah Allah melimpah padanya. Sufi memang bukan orang biasa.
Al Adawiah bahkan disebut rajanya para raja kaum sufi.
Ikhlas dalam ibadah
ini terbentuk bersama dengan lahirnya kejujuran. Keikhlasan dan kejujuran itu
saling membentuk, saling memperkuat. Di tangan hamba-hamba Allah yang
memiliki watak adil dan jujur, ibadah puasa niscaya bergema di lembah-lembah,
di bukit-bukit, dan di langit tertinggi. Puasa mereka jelas bukan puasa
biasa.
Tapi kita juga diminta
agar puasa kita memiliki dimensi keadilan dan kejujuran. Puasa melatih kita
menjadi pribadi yang adil. Mula-mula kita adil pada diri sendiri. Kita adil
sejak dalam pemikiran, adil di dalam sikap, dan adil di dalam segenap
tindakan kita. Sesudah itu kita adil pada sesama manusia.
***
Puasa juga merupakan
latihan untuk menjadi pribadi yang jujur. Kita jujur pada diri sendiri, jujur
pada manusiamanusia lain, jujur pada Allah yang Mahatinggi. Kejujuran membuat
puasa kita memiliki dimensi rohaniah dan sosial yang tak main-main. Puasa
kita menjadi suatu jenis ibadah yang tidak biasa.
Latihan puasa tahun
demi tahun, untuk membuat kita menjadi pribadi istimewa.
Kita berlatih, tiap
saat untuk menjadi insan kamil, manusia sempurna? Mungkin manusia sempurna
itu manusia yang semanusiawi-manusiawinya. Hanya manusia istimewa yang mampu
berpuasa secara istimewa.
Tapi siapa yang pernah
istimewa? Kita hanya manusia biasa. Kemanusiaan kita serba terbatas. Iman
kita terbatas. Puasa kita terbatas. Ada kalanya kita merasa ikhlas, tapi saat
kita merasa bahwa kita bisa bersikap ikhlas, maka keikhlasan telah
meninggalkan kita.
Di saat lain kita
berpuasa dengan sikap adil pada sesama. Kita pernah adil, biarpun sesaat.
Tapi ketika kita hendak mengulanginya sekali lagi, dan hanya sekali lagi,
saat itu pun keadilan menjauh, dan menjauh seolah dia berada di puncak gunung
yang tak terjangkau.
Berabad-abad kita
telah berpuasa. Berabad-abad peradaban diwarnai ibadah seperti itu. Tapi
mengapa puasa demi puasa berlalu tiap tahun, kemudian datang lagi tahun
berikutnya, tak pernah mengubah hidup kita? Negeri kita ini mayoritas
rakyatnya berpuasa setiap tahun, tapi mengapa belum juga mampu menciptakan
keadilan?
Mungkinkah kita salah?
Kita berpuasa hanya sekedar berpuasa, dan hanya menderita haus dan lapar,
lelah, dan mengantuk, tanpa mengubah sesuatu di dalam hidup kita? Apa yang
salah dalam puasa kita? Mengapa keadilan dan kejujuran tak mewarnai hidup
kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar