Senin, 15 Juni 2015

Kemandirian dan Utang

Kemandirian dan Utang

Herdi Sahrasad  ;  Peneliti Senior PSIK Universitas Paramadina;
Pengajar Paramadina Graduate School
KOMPAS, 15 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Selama masa kampanye Pemilihan Presiden 2014, Joko Widodo acap kali melontarkan pernyataan bahwa pemerintahannya tidak akan berutang untuk membiayai belanja negara. Jokowi menyatakan, belanja negara dibiayai dengan uang yang ada tanpa harus mengandalkan utang. Dalam kampanyenya itu, Jokowi  menyatakan hendak mewujudkan kemandirian ekonomi sesuai Trisakti Soekarno dan Nawacita.

Ironisnya, utang luar negeri justru mengalami peningkatan selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Bahkan kenaikan utang luar negeri pemerintah lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan utang swasta. Selama lima bulan Jokowi-JK memimpin negara, utang luar negeri pemerintah melonjak tajam. Para menteri perekonomian di Kabinet Kerja  terbukti relatif mandul  dan  inkompeten untuk mencari terobosan agar Indonesia tidak mengutang lagi. Akibatnya, ketergantungan kepada asing untuk mengutang semakin besar.

Posisi utang luar negeri pemerintah pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada November 2014 tercatat 127,3 miliar dollar AS atau setara Rp 1.676 triliun. Posisi terakhir utang luar negeri pemerintah  era Jokowi, tepatnya per Januari 2015, sebesar 129,7 miliar dollar AS atau setara Rp 1.710 triliun. Terjadi kenaikan sekitar 2,4 miliar dollar AS atau setara Rp 31,6 triliun.

Per Januari 2015, utang luar negeri Indonesia tercatat 298,6 miliar dollar AS atau setara Rp 3.940 triliun. Angka ini meroket jika dibandingkan dengan posisi per Desember 2014 sebesar 292,6 miliar dollar AS atau setara Rp 3.860 miliar. Rinciannya, utang luar negeri pemerintah bersama Bank Indonesia 135,7 miliar dollar AS dan utang luar negeri swasta 162,9 miliar dollar AS.

Menambah utang bukanlah tindakan populer dan bakal jadi beban rakyat di masa datang. Presiden Jokowi menyatakan tidak khawatir  popularitasnya turun akibat kebijakan menaikkan harga BBM (sebagian untuk bayar utang), yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Jokowi sadar, ketika pemerintah memutuskan kenaikan harga BBM, banyak kalangan marah, kecewa, frustrasi, dan tidak simpati terhadap pemerintahannya.

Sebagai dampak kenaikan harga BBM ini, penjualan beragam komoditas pada kuartal pertama 2015 mengalami penurunan. Semen turun 3,3 persen, mobil 15 persen, motor 19 persen, dan properti bahkan turun 50 persen. Nilai ekspor juga turun 11,67 persen.

Perusahaan publik pun melaporkan penurunan pendapatan bersihnya. Adhi Karya turun 34,5 persen, Agung Podomoro Land 65 persen, Astra International 15,64 persen, Bank Danamon 21,47 persen, Holcim bahkan merosot sebesar 89,78 persen. Menurut Guru Besar FEUI Rhenald Kasali, beras dan gula mulai banyak dijadikan permainan mafioso, apalagi setelah Presiden mengumumkan agar jangan lagi impor. Belum lagi pupuk yang harusnya bisa digunakan untuk memicu produktivitas sektor pertanian dan subsidinya masih menjadi permainan para elite.

Dan puncaknya, harga-harga saham merosot. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun di bawah level 5.000. Konon yang naik adalah penjualan narkoba (naik 28 persen), miras (naik 63 persen), bisnis prostitusi (naik 200 persen), dan batu akik (konon bisa naik 300 persen). Bank Indonesia juga sudah mengumumkan indeks kepercayaan konsumen dalam sebulan terakhir merosot 9,5 poin. Proses penurunan itu sudah terjadi sejak awal tahun. Dari sekitar 120,2 (Januari 2015) menjadi 116,9 (Maret), lalu turun lagi menjadi 107,4 (April 2015). Fakta ekonomi/bisnis di atas sesungguhnya disadari oleh Kabinet Kerja  pimpinan Jokowi  karena itu realitas yang muram dan urgen untuk dipecahkan. Namun, pemerintah seakan buntu untuk mencari terobosan.

Dampak beban utang

Di tengah melemahnya rupiah yang menembus Rp 13.000 per dollar AS dengan beban utang luar negeri  298,6 miliar dollar AS atau setara Rp 3.940 triliun, Presiden Jokowi  tentu tak ingin Indonesia kemudian dilanda krisis seperti Yunani. Jokowi juga tak mau Indonesia mengulangi krisis ekonomi 1997/1998. Namun, Jokowi memang kurang beruntung. Dalam bulan-bulan ke depan, warisan Presiden SBY berupa "quatro defisit" (defisit perdagangan, neraca berjalan dan pembayaran, serta defisit anggaran) masih akan terus menekan rupiah. Kurs akan tertekan karena dollar AS terus menguat, kewajiban utang kian besar, serta tak ada kebijakan jelas dan agresif untuk membuat surplus perdagangan dan neraca berjalan.

Harus dicatat, sejak era Presiden SBY sebesar 15-20 persen APBN harus disisihkan untuk membayar pokok dan cicilan utang. Untuk APBN 2014, porsi pembayaran cicilan utang dan bunganya Rp 368,981 triliun. Selama 10 tahun pemerintahan SBY, utang luar negeri meningkat dari Rp 1.299 triliun menjadi dua kali lipat. Lonjakan utang ini juga dibarengi meningkatnya rasio pembayaran utang dan bunganya terhadap penerimaan ekspor (debt to service ratio), sempat mencapai 52 persen, jauh di atas level aman untuk negara berkembang sekitar 35 persen. Rasio utang mungkin bukan masalah seandainya kapasitas kita untuk membiayai utang juga mendukung. Benar bahwa PDB mencapai  lebih dari Rp 9.400 triliun dan volume APBN sekitar Rp 2.000 triliun, tetapi APBN sudah terkapling-kapling untuk belanja mengikat, bayar utang dan anggaran rutin.

Bagaimanapun, utang pemerintah tidak hanya berkaitan dengan hubungan antarnegara, tetapi berkaitan pula dengan relasi  antara Indonesia dengan lembaga-lembaga keuangan multilateral, dan dengan para investor mancanegara. Sebab itu, alih-alih mereduksinya sebagai masalah keuangan dan manajemen, masalah utang pemerintah terutama harus didekati berdasarkan konsekuensi ekonomi-politiknya. Akibat jerat utang, relasi antara Indonesia dengan IMF, Bank Dunia, dan ADB jelas menjadi timpang, sementara hak suara AS, Jepang, dan Inggris pada lembaga-lembaga itu jauh lebih besar daripada Indonesia (Revrisond Baswir, 2009). Dampak selanjutnya, mereka mudah mendikte Indonesia, dan Jakarta hampir pasti tidak bisa bilang "tidak" kepada Bank Dunia, IMF, serta AS dan sekutunya.

Kenyataan ini pada gilirannya membuat kemandirian ekonomi Indonesia di era globalisasi makin rapuh, sulit, dan menjauh. Kemandirian ekonomi seolah hanya slogan belaka, kosong tanpa substansi. Langkah amandemen konstitusi yang deformatif, perubahan undang-undang dan kebijakan pemerintah kita curigai merupakan "dikte" dari asing, di mana liberalisasi ekonomi makin deras dan hanya membuat ketergantungan ekonomi Indonesia kepada asing makin menguat. Hal itu juga membuat  rakyat merasa roh konstitusi mengering dan ikatan batin antara masyarakat warga dan konstitusinya, antara masyarakat dan negara, kian melemah hampa makna. Dampak selanjutnya, kohesi nasional dan kohesi sosial merapuh, seolah terus-menerus dalam bahaya.

Kegagalan genjot pajak

Sudah menjadi pelajaran pahit bahwa bertahun-tahun kita gagal mendongkrak penerimaan pajak dan mencegah kebocoran pajak yang menurut IMF mencapai 40 persen. Rasio pajak tak bergerak dari 11-12 persen terhadap PDB. Padahal, pajak menyumbang sekitar 68 persen dari penerimaan negara. Kegagalan menggenjot pajak membuat defisit APBN harus kembali ditutup dengan utang. Di era Jokowi, lagi-lagi  pemerintah gagal menggenjot  penerimaan dari pajak dan mengutang lagi ke Bank Dunia dan lembaga semacamnya. Kondisi ini menyebabkan gali lubang tutup lubang. Itulah konsekuensi buruk dari beban utang.

Yang harus diwaspadai, masyarakat makin cemas dan pesimistis dengan melemahnya nilai rupiah. Rupiah sudah menembus Rp 13.000 dan sangat dikhawatirkan rakyat kalau mencapai Rp 15.000 per dollar AS. Dewasa ini, harga kebutuhan pokok (pangan dan energi) terus membubung, dan kepanikan sosial mulai menyebar. Kondisi ini harus dihentikan. Para menteri perekonomian yang secara intelektual sudah buntu, impase, dalam mencari terobosan ekonomi karena cenderung hanya mengandalkan utang untuk mengatasi bolongnya APBN mesti diganti.

Dalam hal ini, intelektual, akademisi, aktivis, dan media harus terus melakukan desakan untuk menghentikan kecanduan akan utang. Kalau perlu, pemerintahan Jokowi melakukan penjadwalan utang atau meminta penghapusan utang ke lembaga-lembaga kreditor sebab banyak pinjaman yang mengalami kebocoran dan korupsi. Joseph E Stiglitz, penerima Nobel Ekonomi 2001 yang juga Guru Besar Columbia University, New York, pernah mengingatkan pentingnya mengurangi utang karena berbagai risiko, apalagi  efek tetesan ke bawah sering kali tak bekerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar