Senin, 01 Juni 2015

Beras Palsu dan Spirit Baru Pangan Lokal

Beras Palsu dan Spirit Baru Pangan Lokal

Posman Sibuea  ;  Guru Besar Tetap
di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara;
 Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
KORAN SINDO, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Harian KORAN SINDO terbitan Medan (Senin, 25/5) mengangkat berita utama tentang kepanikan masyarakat terkait peredaran beras palsu. Pasalnya, sejumlah warga di Sumatera Utara semakin cemas, khawatir mutu beras yang dikonsumsi tidak aman dan belum ada kepastian siapa yang memproduksi karena pemerintah masih terus mendalami motivasi mereka yang mengedarkan beras bermasalah itu.

Kian besarnya perhatian masyarakat tentang pemberitaan beras jadi-jadian ini memberikan dampak dari berbagai sisi. Salah satunya masyarakat semakin peduli tentang mutu bahan makanan yang dikonsumsi meskipun selama ini sangat jarang mereka memperoleh informasi tentang beras bermutu baik dari lembaga terkait. Hal lain adalah momen ini menjadi awal kebangkitan dan spirit baru tentang pangan lokal nonberas yang kandungan gizinya tak kalah dengan beras berbahan baku padi.

Mengingatkan Pemerintah

Terlepas dari motif ekonomi dan politik di balik temuan beras plastik yang kini diduga semakin luas peredarannya di tengah masyarakat, pemerintah diingatkan bahwa negeri ini memiliki potensi pangan lokal yang sangat besar untuk dikembangkan menyubsitusi beras sebagai makanan pokok. Tetapi, potensi ini belum digali secara serius karena pemerintah tetap nyaman dengan hobi lamanya untuk mengimpor berbagai bahan pangan termasuk beras.

Saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi-JK mengemas janjinya dalam dokumen Nawacita (sembilan cita-cita utama) untuk memajukan ketahanan pangan. Salah satu program aksi utamanya adalah membangun kedaulatan pangan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi kerakyatan. Sebagai bukti, Presiden Jokowi tengah meluncurkan kebangkitan pangan lokal. Lewat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja Aparatur Negara mendorong penguatan kedaulatan pangan dengan menyajikan menu makanan tradisional produksi dalam negeri pada setiap penyelenggaraan rapat.

Implikasi dari kebijakan ini membawa banyak manfaat. Salah satunya adalah petani akan memperbaiki usaha taninya supaya masyarakat lebih nyaman dan nikmat mengonsumsi pangan lokal. Pangan lokal berbahan dasar singkong, ubi jalar, pisang bahkan dapat diolah sedemikian rupa sehingga pantas disajikan di acara-acara resmi kenegaraan. Implikasi dari semangat baru yang dikemas dalam bingkai Nawacita mendorong singkong rebus menjadi menu saat rapat kabinet di Istana Negara. Sebuah langkah maju untuk menjadi contoh ketimbang anjuran dalam pidato. Jika para pejabat mulai mengadopsi gaya hidup sederhana, langkah ini akan mengedukasi masyarakat untuk menjauhi pola hidup boros dengan mengonsumsi pangan impor yang terkesan mewah.

Produk olahan singkong tidak seharusnya dianggap sebagai lambang kemiskinan dan inferior. Anjuran pemerintah agar para pejabat mulai makan ubi rebus, selain meningkatkan martabat singkong sebagai pendamping makanan pokok beras, juga mendorong petani mengoptimalkan penggunaan lahan pertanian, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk memenuhi permintaan pasar global yang terus berkembang.

Selama ini singkong selalu dipandang lebih rendah dari beras sebagai bahan pangan pokok karena kandungan proteinnya yang relatif minim. Namun, masyarakat Batak Toba memiliki budaya makan lokal untuk menyiasati mahalnya beras di masa penjajahan Belanda. Mengonsumsi ubi singkong rebus sebagai makanan ”pembuka” menjadi pilihan yang amat populer saat itu. Pola konsumsi ini dikenal ”manggadong” untuk menyebut mengonsumsi ubi rebus sebelum makan nasi.

Sayangnya, berbagai budaya makan lokal yang dimiliki setiap daerah dan sudah dikenal sejak berabad-abad silam secara perlahan mulai terpinggirkan karena pesatnya perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan berbasis gandum. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah menghabisi budaya makan berbasis kearifan lokal. Dengan penguasaan ilmu dan teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan mengatur sistem distribusi pangan. Harga pun mereka atur sedemikian rupa. Struktur oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan baru bernama food capitalism.

Momen Kebangkitan

Imbauan pemerintah agar semua instansi pemerintahan menyediakan singkong rebus saat rapat memberi pemahaman baru tentang ketahanan pangan. Selain mengembalikan martabat singkong sebagai pangan lokal potensial dan menjadi spirit baru bagi para petani lokal karena hasil keringat mereka dihargai pemimpinnya, juga menjadi momen kebangkitan pangan lokal.

Sebagai kebutuhan dasar, pangan senantiasa harus tersedia secara beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk dikonsumsi( UUNo 18Tahun2012tentang Pangan). Namun, belakangan ini ketersediaan pangan lokal mulai tergerus dan Indonesia makin bergantung pada pangan impor. Devisa negara pada 2014 terkuras sekitar Rp135 triliun untuk mengimpor berbagai bahan pangan, mulai dari garam, beras, daging, kedelai, hingga gula.

Bahan pangan dapat dijadikan sebagai kekuatan politik dan kepentingan kelompok tertentu. Banyak kalangan berpendapat bahwa pangan sesungguhnya identik dengan senjata (food is the weapon) untuk melemahkan kedaulatan suatu bangsa. Negara yang sangat menggantungkan diri pada pangan impor, ia bak sebuah negara jajahan baru bagi bangsa maju.

Kini ancaman krisis pangan menjadi bayang-bayang menakutkan bagi sebagian bangsa, termasuk Indonesia. Harga pangan menjadi bola liar yang kian sulit dikendalikan membuat setiap negara berupaya menyelamatkan kepentingan dalam negeri dan membatasi ekspor. Fenomena ini perlu disikapi secara baik dengan mengoptimalkan pemanfaatan pangan berbasis sumber daya lokal untuk memantapkan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Mengonsumsi produk pangan lokal berarti melepas ketergantungan impor dan keluar dari jebakan pangan asing.

Persoalan krisis pangan semakin masif. Pemerintah harus lebih serius melakukan pembangunan pertanian. Jika tidak, sebanyak 250 juta jiwa rakyat Indonesia akan kelaparan. Bangsa yang dikenal sebagai negara agraris, namun masih menggantungkan diri pada pangan impor, bisa jadi pemerintahan Jokowi-JK tidak punya harga diri lagi di mata dunia.

Petani merupakan pahlawan ketahanan pangan yang selama ini telah menjaga kedaulatan bangsa. Kita berharap pemerintahan Jokowi-JK tidak mengulangi praktik politisasi petani seperti yang dilakukan pemerintahan SBY. Saat dilantik pada 2004, ia berjanji untuk melakukan revitalisasi pertanian sebagai agenda utama pemerintahannya di bidang ekonomi. Namun, hingga akhir masa jabatannya kinerja sektor pertanian tidak semakin baik. Produktivitas sektor pertanian sedemikian rendah menyebabkan hampir 65% kebutuhan pangan harus diimpor dan janji surplus beras sebanyak 10 juta ton pada 2014 kandas di tengah jalan.

Keberhasilan pembangunan sektor pertanian harus menjadi jawaban bagi kemandirian bangsa ke depan. Pembangunan pertanian harus disertai riset berkelanjutan guna meletakkan dasar industrialisasi pertanian yang kuat. Langkah yang patut ditempuh untuk mendukung program ini adalah memperbesar subsidi di sektor pertanian agar Indonesia bisa segera mencapai kedaulatan pangan. Subsidi untuk sektor pertanian jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan subsidi bahan bakar minyak yang mencapai Rp300 triliun.

Minimnya subsidi di sektor pertanian berkorelasi positif dengan kurangnya minat generasi muda bekerja di sektor pertanian. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan sektor pertanian masih mengandalkan sekitar 33% petani berusia tua. Sebaliknya, persentase petani dengan usia muda hanya sekitar 12,87%.
Angka ini mengisyaratkan kurangnya minat dan perhatian generasi muda di bidang pembangunan pertanian pangan. Fenomena ini patut diwaspadai karena dapat membahayakan pembangunan kedaulatan pangan pada masa datang.

Pemerintahan harus serius mengawal kebangkitan pangan lokal dengan memosisikan pertanian sebagai sektor ekonomi yang seksi bagi generasi muda bangsa. Sketsa kehidupan perdesaan yang miskin seolah menjadi mimpi buruk bagi mereka. Data BPS (2013) menunjukkan kemiskinan petani bukan sekadar isapan jempol. Dari sekitar 30 juta penduduk miskin, 65% tinggal di perdesaan yang bekerja sebagai petani dan buruh tani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar