Paradoks
Jual Beli Ijazah
Rakhmat Hidayat ; Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri
Jakarta (UNJ); Research Fellow di Universitat Leipzig, Jerman
|
KORAN SINDO, 30 Mei 2015
Dunia pendidikan
tinggi kita sedang diramaikan gara-gara jual beli ijazah yang dilakukan
beberapa kampus swasta yang abal-abal. Ini bukan masalah baru yang dihadapi
oleh dunia pendidikan tinggi Indonesia. Fenomena ini sudah lama terjadi,
bahkan cenderung dibiarkan oleh negara. Beberapa kali terjadi pergantian
mendiknas/mendikbud yang diiringi dengan pergantian pejabat di Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), tetapi juga nyaris tak tersentuh.
Ibarat kebal dari hukum, praktik jual beli ijazah terus berlangsung, bahkan
semakin subur.
Hal ini yang saya
katakan, tak tersentuh oleh negara karena memang tak ada tindakan tegas
terhadap praktik-praktik curang tersebut. Negara seolah tak berdaya
menghadapi berbagai praktik tersebut. Apa yang dilakukan Menristek-Dikti M
Nasir dengan melakukan sidak ke beberapa PTS yang ilegal menurut saya juga
bukan sesuatu yang istimewa karena itu tidak bisa menyelesaikan masalah dan
bukan hal yang prinsip. Kita memerlukan tindakan pemerintah yang tegas,
disiplin, dan berani menghadapi kampus-kampus abal-abal yang mencoreng wajah
pendidikan tinggi kita. Kita memerlukan aparatur pemerintah yang berdiri
tegas, bersih, dan berani menghadapi perilaku-perilaku yang menjualbelikan
ijazah tersebut.
Hal yang penting kita
perlukan adalah prinsip sistemik yang harus dilakukan pihak Ditjen Dikti
untuk lebih transparan, akuntabel, dan antikorupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) dalam mengelola perizinan. Saya kira, berdasarkan pengalaman saya,
salah satu akar masalah ini adalah proses perizinan yang diberlakukan oleh
Ditjen Dikti kepada kampus-kampus swasta yang relatif mudah dan cenderung
melalui proses yang kolutif.
Reformasi Birokrasi
Posisi saya jelas
untuk memberikan catatan penting dalam urusan ijazah dengan reformasi birokrasi
di kalangan internal Ditjen Dikti, Kopertis (sekarang berubah menjadi Lembaga
Layanan Dikti), maupun kampus-kampus swasta yang abal-abal tersebut. Jual
beli ijazah ini dialami oleh kampus-kampus swasta yang dulu pasti berurusan
dengan Kopertis untuk mengajukan izin pembukaan program studi ke Ditjen
Dikti. Sebelum berurusan ke Ditjen Dikti, pintu yang harus ditempuh oleh
sebuah kampus swasta harus melalui persetujuan izin Kopertis, baru kemudian
berurusan dengan Ditjen Dikti.
Di sinilah sebenarnya
yang kemudian menjadi masalah. Sebelum perubahan nomenklatur menjadi
Kemenristek-Dikti, proses pembukaan parodi baru dilakukan secara konvensional
alias tatap muka. Praktik tatap muka sangat mungkin dilakukan dengan
cara-cara yang kolutif atau KKN.
Saya banyak
mendapatkan informasi dari berbagai sumber dengan berbagai istilah seperti
”setoran” atau ”amplop” yang marak dilakukan oleh kampus-kampus swasta untuk
mempermudah pembukaan izin program studi baru tersebut. Jangan tanya saya,
apa dan bagaimana buktinya karena memang perilaku kolutif tersebut dilakukan
di bawah meja yang tersembunyi dan tujuan akhirnya jelas meloloskan proposal
pembukaan program studi baru-baru tersebut. Di mana proses ini berlangsung?
Dengan siapa proses ini berlangsung? Anda bisa menganalisisnya sendiri.
Mari saya ceritakan
pengalaman saya mengurus pembukaan izin program studi baru di kampus saya.
Pada 2010 saya bersama kolega kampus mengurus pembukaan program magister di
Ditjen Dikti. Ketika itu proses pengajuannya masih manual, melalui tatap
muka. Proposal pembukaan program magister kami yang sudah lengkap dan mendapatkan
persetujuan dari rektor kami kirimkan ke Ditjen Dikti.
Sekali dua kali kami
mendapatkan balasan karena dokumen kurang lengkap. Kami perbaiki revisi
tersebut dan kemudian kami kirimkan kembali. Setelah beberapa revisi
tersebut, tak ada kabar lagi. Sampai berlaku moratorium dan kemudian terjadi
restrukturisasi Kemdikbud ke Kemenristek-Dikti sampai kemudian per Januari
2015 pengajuannya dilakukan secara online.
Ironisnya sebelum
pemberlakuan moratorium, ketika kolega saya mengecek berkas dan posisi proposal
kami, berkas proposal kami hilang keberadaannya di Kantor Ditjen Dikti.
Hilang entah ke mana. Sesuatu yang sangat aneh dan tak bisa diterima akal
sehat.
Ketika proses pengajuan tersebut sebelum diberlakukan
moratorium, kami melihat sendiri bagaimana izin-izin baru berkeluaran yang
diajukan kampus swasta. Nyaris tanpa kendala. Berkasnya tak hilang dan keluar
dalam waktu yang singkat. Di situlah kemudian saya mendengar banyak cerita
tentang dunia ”setoran” atau ”amplop” yang berseliweran dalam jagat pembukaan
izin program studi baru.
Saya juga mendengar banyak cerita, kampus-kampus swasta
berhasil mendapatkan izin dari Ditjen Dikti hanya bermodalkan ruko satu atau
dua lantai dengan dosen yang tak jelas mudah meraih izin baru.
Sedangkan kampus saya
mengajar, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), harus bolak-balik mengembalikan
berkasnya. Kampus kami jelas PTN bahkan LPTK Pembina di Indonesia. Gedungnya
jelas, dosennya juga sangat jelas dengan kualifikasi profesor dan doktor.
Yang membedakannya adalah: kami tak melakukan setoran yang jamak dilakukan
kampus-kampus ruko tersebut. Kami tak ingin menggadaikan warwah lembaga kami
demi meloloskan pembukaan izin baru tersebut.
Singkat cerita, selama empat tahun, izin kami tak juga
keluar. Baru pada tanggal 30 Maret 2015, proposal izin tersebut kembali kami up load sesuai dengan aturan baru
Kemenristek-Dikti yang tidak lagi memungkinkan tatap muka dengan pihak Ditjen
Dikti. Tahun ini UNJ
mengajukan pembukaan 12 program studi baru untuk tingkat sarjana dan pascasarjana.
Dengan pengalaman tersebut, saya tak asal bicara.
Menyalahkan pihak
kampus swasta tak menyelesaikan masalah. Pihak kampus swasta hanyalah salah
satu pihak yang terlibat dalam relasi dengan aparatur Dikti. Menteri Nasir
harus juga berkaca secara lebih kritis kepada aparaturnya. Aparaturnya juga
punya peran dalam meloloskan pembukaan izin bagi kampus ruko-ruko yang
bertebaran di wilayah Jabodetabek. Menteri Nasir memang baru menjadi
menristek-dikti kurang dari satu tahun.
Tentu dia belum paham
mendetail birokrasi dan permainan yang kerap terjadi di lapangan. Tetapi,
sebagai akademisi di Undip, saya kira Menteri Nasir sudah mengetahui itu dari
jauh. Karena itu, yang diperlukan
adalah tak cukup dengan sidak. Yang diperlukan adalah menghapus anasir-anasir
kolutif di internal Ditjen Dikti untuk lebih transparan dan akuntabel dalam
mengeluarkan izin.
Sebagaimana pengalaman
saya, PTN mengalami kesulitan dalam pembukaan izin baru, tetapi PTS yang tak
jelas justru lebih mudah izinnya keluar. Ini kan jelas ada logika uang yang
bermain di dalamnya. Menteri Nasir jangan hanya galak kepada kampus-kampus
swastanya, tapi juga tegas kepada aparaturnya dan tak ada istilah kompromi
dengan modus-modus atau kongkalikong dan sejenisnya.
Kampus-kampus swasta yang bermasalah tersebut bekukan
operasionalnya dan audit ulang seluruh proses perizinannya. Telusuri pejabat-pejabat
yang terlibat dalam proses perizinan tersebut dan jika teridentifikasi ada
kongkalikong yang melibatkan pejabat tersebut, Menteri Nasir harus berani
mengambil keputusan dengan sanksi tegas.
Jika ini berani
dilakukan oleh Menteri Nasir, dia telah melakukan terobosan fundamental dalam
membenahi karut-marut ijazah dalam pendidikan tinggi kita. Jadi, tak hanya
cukup dengan sidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar