Senin, 01 Juni 2015

Paradoks Jual Beli Ijazah

Paradoks Jual Beli Ijazah

Rakhmat Hidayat  ;  Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ); Research Fellow di Universitat Leipzig, Jerman
KORAN SINDO, 30 Mei 2015


                                                                                                                                                           
                                                
Dunia pendidikan tinggi kita sedang diramaikan gara-gara jual beli ijazah yang dilakukan beberapa kampus swasta yang abal-abal. Ini bukan masalah baru yang dihadapi oleh dunia pendidikan tinggi Indonesia. Fenomena ini sudah lama terjadi, bahkan cenderung dibiarkan oleh negara. Beberapa kali terjadi pergantian mendiknas/mendikbud yang diiringi dengan pergantian pejabat di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), tetapi juga nyaris tak tersentuh. Ibarat kebal dari hukum, praktik jual beli ijazah terus berlangsung, bahkan semakin subur.

Hal ini yang saya katakan, tak tersentuh oleh negara karena memang tak ada tindakan tegas terhadap praktik-praktik curang tersebut. Negara seolah tak berdaya menghadapi berbagai praktik tersebut. Apa yang dilakukan Menristek-Dikti M Nasir dengan melakukan sidak ke beberapa PTS yang ilegal menurut saya juga bukan sesuatu yang istimewa karena itu tidak bisa menyelesaikan masalah dan bukan hal yang prinsip. Kita memerlukan tindakan pemerintah yang tegas, disiplin, dan berani menghadapi kampus-kampus abal-abal yang mencoreng wajah pendidikan tinggi kita. Kita memerlukan aparatur pemerintah yang berdiri tegas, bersih, dan berani menghadapi perilaku-perilaku yang menjualbelikan ijazah tersebut.

Hal yang penting kita perlukan adalah prinsip sistemik yang harus dilakukan pihak Ditjen Dikti untuk lebih transparan, akuntabel, dan antikorupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam mengelola perizinan. Saya kira, berdasarkan pengalaman saya, salah satu akar masalah ini adalah proses perizinan yang diberlakukan oleh Ditjen Dikti kepada kampus-kampus swasta yang relatif mudah dan cenderung melalui proses yang kolutif.

Reformasi Birokrasi

Posisi saya jelas untuk memberikan catatan penting dalam urusan ijazah dengan reformasi birokrasi di kalangan internal Ditjen Dikti, Kopertis (sekarang berubah menjadi Lembaga Layanan Dikti), maupun kampus-kampus swasta yang abal-abal tersebut. Jual beli ijazah ini dialami oleh kampus-kampus swasta yang dulu pasti berurusan dengan Kopertis untuk mengajukan izin pembukaan program studi ke Ditjen Dikti. Sebelum berurusan ke Ditjen Dikti, pintu yang harus ditempuh oleh sebuah kampus swasta harus melalui persetujuan izin Kopertis, baru kemudian berurusan dengan Ditjen Dikti.

Di sinilah sebenarnya yang kemudian menjadi masalah. Sebelum perubahan nomenklatur menjadi Kemenristek-Dikti, proses pembukaan parodi baru dilakukan secara konvensional alias tatap muka. Praktik tatap muka sangat mungkin dilakukan dengan cara-cara yang kolutif atau KKN.
Saya banyak mendapatkan informasi dari berbagai sumber dengan berbagai istilah seperti ”setoran” atau ”amplop” yang marak dilakukan oleh kampus-kampus swasta untuk mempermudah pembukaan izin program studi baru tersebut. Jangan tanya saya, apa dan bagaimana buktinya karena memang perilaku kolutif tersebut dilakukan di bawah meja yang tersembunyi dan tujuan akhirnya jelas meloloskan proposal pembukaan program studi baru-baru tersebut. Di mana proses ini berlangsung? Dengan siapa proses ini berlangsung? Anda bisa menganalisisnya sendiri.

Mari saya ceritakan pengalaman saya mengurus pembukaan izin program studi baru di kampus saya. Pada 2010 saya bersama kolega kampus mengurus pembukaan program magister di Ditjen Dikti. Ketika itu proses pengajuannya masih manual, melalui tatap muka. Proposal pembukaan program magister kami yang sudah lengkap dan mendapatkan persetujuan dari rektor kami kirimkan ke Ditjen Dikti.

Sekali dua kali kami mendapatkan balasan karena dokumen kurang lengkap. Kami perbaiki revisi tersebut dan kemudian kami kirimkan kembali. Setelah beberapa revisi tersebut, tak ada kabar lagi. Sampai berlaku moratorium dan kemudian terjadi restrukturisasi Kemdikbud ke Kemenristek-Dikti sampai kemudian per Januari 2015 pengajuannya dilakukan secara online.

Ironisnya sebelum pemberlakuan moratorium, ketika kolega saya mengecek berkas dan posisi proposal kami, berkas proposal kami hilang keberadaannya di Kantor Ditjen Dikti. Hilang entah ke mana. Sesuatu yang sangat aneh dan tak bisa diterima akal sehat.

Ketika proses pengajuan tersebut sebelum diberlakukan moratorium, kami melihat sendiri bagaimana izin-izin baru berkeluaran yang diajukan kampus swasta. Nyaris tanpa kendala. Berkasnya tak hilang dan keluar dalam waktu yang singkat. Di situlah kemudian saya mendengar banyak cerita tentang dunia ”setoran” atau ”amplop” yang berseliweran dalam jagat pembukaan izin program studi baru.

Saya juga mendengar banyak cerita, kampus-kampus swasta berhasil mendapatkan izin dari Ditjen Dikti hanya bermodalkan ruko satu atau dua lantai dengan dosen yang tak jelas mudah meraih izin baru.

Sedangkan kampus saya mengajar, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), harus bolak-balik mengembalikan berkasnya. Kampus kami jelas PTN bahkan LPTK Pembina di Indonesia. Gedungnya jelas, dosennya juga sangat jelas dengan kualifikasi profesor dan doktor. Yang membedakannya adalah: kami tak melakukan setoran yang jamak dilakukan kampus-kampus ruko tersebut. Kami tak ingin menggadaikan warwah lembaga kami demi meloloskan pembukaan izin baru tersebut.

Singkat cerita, selama empat tahun, izin kami tak juga keluar. Baru pada tanggal 30 Maret 2015, proposal izin tersebut kembali kami up load sesuai dengan aturan baru Kemenristek-Dikti yang tidak lagi memungkinkan tatap muka dengan pihak Ditjen Dikti. Tahun ini UNJ mengajukan pembukaan 12 program studi baru untuk tingkat sarjana dan pascasarjana. Dengan pengalaman tersebut, saya tak asal bicara.

Menyalahkan pihak kampus swasta tak menyelesaikan masalah. Pihak kampus swasta hanyalah salah satu pihak yang terlibat dalam relasi dengan aparatur Dikti. Menteri Nasir harus juga berkaca secara lebih kritis kepada aparaturnya. Aparaturnya juga punya peran dalam meloloskan pembukaan izin bagi kampus ruko-ruko yang bertebaran di wilayah Jabodetabek. Menteri Nasir memang baru menjadi menristek-dikti kurang dari satu tahun.

Tentu dia belum paham mendetail birokrasi dan permainan yang kerap terjadi di lapangan. Tetapi, sebagai akademisi di Undip, saya kira Menteri Nasir sudah mengetahui itu dari jauh. Karena itu, yang diperlukan adalah tak cukup dengan sidak. Yang diperlukan adalah menghapus anasir-anasir kolutif di internal Ditjen Dikti untuk lebih transparan dan akuntabel dalam mengeluarkan izin.

Sebagaimana pengalaman saya, PTN mengalami kesulitan dalam pembukaan izin baru, tetapi PTS yang tak jelas justru lebih mudah izinnya keluar. Ini kan jelas ada logika uang yang bermain di dalamnya. Menteri Nasir jangan hanya galak kepada kampus-kampus swastanya, tapi juga tegas kepada aparaturnya dan tak ada istilah kompromi dengan modus-modus atau kongkalikong dan sejenisnya.

Kampus-kampus swasta yang bermasalah tersebut bekukan operasionalnya dan audit ulang seluruh proses perizinannya. Telusuri pejabat-pejabat yang terlibat dalam proses perizinan tersebut dan jika teridentifikasi ada kongkalikong yang melibatkan pejabat tersebut, Menteri Nasir harus berani mengambil keputusan dengan sanksi tegas.

Jika ini berani dilakukan oleh Menteri Nasir, dia telah melakukan terobosan fundamental dalam membenahi karut-marut ijazah dalam pendidikan tinggi kita. Jadi, tak hanya cukup dengan sidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar