Waktu
dan Masalah Kedaulatan
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah
|
KOMPAS,
04 Februari 2014
MENGAPA
kemunculan seorang Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) atau seorang Joko
Widodo (mantan Wali Kota Solo, sekarang Gubernur DKI Jakarta) demikian
fenomenal dan memikat perhatian publik secara luas?
Jawabannya sederhana tanpa
memerlukan banyak teori: karena keduanya dinilai memberikan contoh sebagai
pemimpin yang prorakyat dan menjalankan tugas dengan bahasa hati.
Setidak-tidaknya demikianlah kesan publik terhadap keduanya sampai hari ini.
Adapun ke depan, sekiranya
keduanya diberi posisi yang lebih tinggi, apakah idealisme mereka masih bisa
bertahan, kita tidak tahu. Godaan terhadap orang yang berkuasa pasti muncul
dari segala penjuru, di semua lini, termasuk dari lingkungan pengusaha hitam,
jika tidak waspada. Kewaspadaan ini harus disiapkan sejak dini dengan
bersenjatakan mata rajawali, bukan mata kelelawar yang redup pada siang hari.
Tidak banyak elite Indonesia yang kebal terhadap godaan benda dan kekuasaan.
Terpaku dan terpukaunya mata
publik terhadap kedua tokoh itu tidaklah terlalu mengherankan. Bukankah
ratusan pejabat publik yang lain di seluruh Nusantara lebih banyak disibukkan
dengan urusan politik kekuasaan, di samping memikirkan bagaimana cara
melunasi utang dana kampanye yang bisa menelan miliaran rupiah? Termasuk
janji-janji mereka kepada cukong yang mahir ”berjudi” dalam mendukung
politisi yang sedang bersaing, demi melebarkan sayap bisnis mereka, jika
pihak yang didukung memenangi persaingan.
Semua ini bukan lagi rahasia,
tetapi sudah menjadi pengetahuan orang banyak. Tri dan Jokowi dinilai relatif
bersih sekalipun pasti juga telah mengeluarkan dana untuk jadi pemenang. Saya
katakan relatif karena keduanya tidak mungkin bebas 100 persen dari dunia
percukongan.
Dalam pusaran politik
Apa yang disebut politik uang
adalah riil. Dalam suasana perlombaan terhadap kekuasaan yang sedang berjalan
sekarang, kesetiaan pada idealisme sudah lama menguap ke langit tinggi. Maka,
jika tuan dan puan sudah bosan dengan politik, itu masuk akal. Akan tetapi,
larut dalam kebosanan sangat berbahaya karena bisa melumpuhkan perjalanan
bangsa yang sebenarnya ingin menegakkan sistem demokrasi yang sehat dan kuat.
Manusia, di mana pun di muka bumi,
tidak mungkin terhindar dari pusaran politik. Tugas kita sebagai rakyat
adalah berupaya dalam batas kemampuan kita masing-masing agar politik itu
dijadikan kendaraan untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk mengorbankan
mereka.
Politik yang mengorbankan rakyat
banyak adalah jenis politik kumuh dan biadab. Sebaliknya, politik yang bersih
dan beradab pasti bertujuan mulia membela kepentingan yang lebih besar, jauh
melampaui parameter hitung-hitungan untung-rugi jangka pendek. Indonesia
merdeka benar-benar memerlukan terciptanya politik yang beradab ini dalam
tempo yang dekat. Sebab, jika berlama-lama terseret dalam kebiadaban
berkepanjangan, waktu pasti akan menjadi ancaman serius terhadap nasib kita
semua.
Kita sungguh sedang berlomba
dengan waktu dan waktu itu bisa sangat kejam. Kata peribahasa Arab: ”Waktu itu ibarat pedang; jika tidak
pandai menggunakannya, leher tuan dan puan akan dipancungnya”.
Terlambat berarti merelakan proses pembusukan politik yang sedang berjalan
ini semakin membusuk serta bisa menggiring bangsa dan negara menggali kuburan
masa depannya.
Situasi menjelang Pemilu 2014,
dalam perspektif kedaulatan bangsa dan negara, sungguh mencemaskan. Apa yang
disampaikan Bung Karno dalam pidato ”Nawaksara” pada saat kekuasaannya sedang
berada di ujung tanduk pada 22 Juni 1966 patut dicermati: ”Berdaulat dan bebas dalam politik,
berkepribadian dalam kebudayaan, dan berdikari dalam ekonomi.” Semua
ranah itu kini berada di tikungan sejarah dan di bawah ancaman, asing atau
agen domestiknya, sehingga bangsa dan negara ini nyaris kehilangan
kedaulatan, kepribadian, dan kemandirian dalam makna yang sejati.
Berdaulat penuh
Kemerdekaan bangsa tanpa
kedaulatan adalah kemerdekaan palsu yang hanya bisa dinikmati mereka yang
mengidap mentalitas terjajah. Di luar tampaknya merdeka, tetapi jiwanya telah
dicuci pihak asing agar perasaan kemerdekaannya tumpul tak berdaya.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia bertujuan membebaskan bangsa dan negara ini
dari suasana batin manusia budak dan manusia terjajah itu.
Apakah sistem demokrasi kita bisa
digerakkan ke arah tujuan yang ”berdaulat penuh” itu? Jika mau, pasti bisa.
Syaratnya: ucapkan ”selamat tinggal pada mentalitas budak dan mentalitas
terjajah”.
Dengan pemenuhan syarat ini, waktu
insya Allah akan berpihak kepada bangsa dan negara tercinta ini bersamaan
dengan pulihnya kedaulatan penuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar