Siaga
Satu, Banjir Janji Politik!
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
04 Februari 2014
BANJIR bandang yang
melanda beberapa wilayah Indonesia mulai surut. Musibah tersebut menyisakan
derita dan nestapa bagi yang terkena serta memberikan pekerjaan rumah bagi
penyelenggara negara agar mereka lebih serius menanggulangi petaka tersebut.
Namun, surutnya air
belum akan segera membebaskan masyarakat dari ancaman banjir. Bencana yang
mengintip publik dan tidak kalah dahsyatnya adalah banjir janji politik
siklus lima tahunan. Lonceng bahaya tersebut akan bergema saat dimulainya
pelaksanaan kampanye pemilihan umum legislatif (pileg) melalui rapat umum
serta iklan media massa cetak dan elektronik yang akan dimulai 16 Maret
sampai 5 April 2014.
Persaingan internal
saling ”mematikan” di antara sesama kader partai politik, akibat kerancuan
sistem pileg antara sistem proporsional dan suara terbanyak, diperkirakan
akan menimbulkan gelombang pasang janji-janji muluk para politisi, terutama
mereka yang motivasinya semata kekuasaan. Pemilu yang seharusnya dirayakan
untuk menyongsong kemenangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan menjadi
festival tanpa makna.
Janji sebagai etika
sosial dan bagian dari peradaban, karena terkait dengan niat, komitmen, dan
iktikad untuk melakukan sesuatu (menyejahterakan masyarakat), atau tidak
melakukan sesuatu (korupsi) yang berguna untuk rakyat; hanya dijadikan
sekadar siasat sesaat oleh para politisi guna mengumpulkan suara.
Sumber dari kedua
bencana yang menakutkan tersebut sama, yaitu keserakahan nafsu primitif
manusia yang melebihi ambang batas peradaban. Banjir janji politik jauh lebih
berbahaya dan apokaliptik. Pertama, bencana tersebut tidak mudah terdeteksi
karena datangnya disertai dengan semilirnya angin surga yang membuat publik
terlena. Peringatan tersebut bukan mengingatkan, melainkan justru memabukkan.
Masyarakat biasanya
terlambat menyadari kesalahannya dalam memilih para pengumbar janji jelang
pemilu. Setelah mereka berkuasa, perilakunya berbanding terbalik dengan saat
mereka mengumbar janji. Sementara itu, datangnya air bah lebih mudah
dideteksi sehingga masyarakat dapat menghindar dari akibat bencana yang lebih
parah.
Kedua, banjir bandang
memang mempunyai daya rusak yang menakutkan karena mengakibatkan penderitaan
masyarakat. Namun, pemulihan dan pencegahan bencana tersebut lebih mudah
diatasi. Sementara itu, dampak daya hancur banjir janji politik menyentuh
tataran peradaban dan dapat melumpuhkan sendi-sendi kehidupan politik.
Kredibilitas demokrasi serta lembaga-lembaga politik dan pemerintahan semakin
melorot. Pengalaman 15 tahun terakhir, kampanye dalam pileg, pemilu presiden,
dan seribu kali pemilu kepala daerah membuktikan hal itu. Janji para politisi
hanya menggelorakan retorika dan demagogi politik. Miskin substansi dan
edukasi.
Sarat kebohongan
Janji politik lebih
mirip kebohongan daripada komitmen dan obligasi moral. Alih-alih menumbuhkan
dan merawat rasa saling percaya antara rakyat dan pemimpinnya, banjir janji
politik justru mengakibatkan putusnya tali silaturahim antara rakyat dan
pemimpinnya. Perilaku politik yang sarat kebohongan juga menenggelamkan para
politisi itu sendiri dalam kubangan lumpur korupsi kekuasaan dan kepalsuan.
Lapisan kebohongan mereka bertingkat-tingkat karena kebohongan yang satu
harus ditutupi dengan kebohongan
lain.
Kemuliaan politik
menjadi sekadar komoditas yang dipasarkan melalui citra dan fatamorgana
politik. Seharusnya, meski ranah politik merupakan medan pertarungan yang
penuh siasat, muslihat, saling mengecoh, serta adu lihai dalam menyusun
taktik dan strategi, tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk mengumbar
janji palsu.
Berdasarkan pengalaman
kampanye dari berbagai kompetisi politik selama ini, rakyat harus Siaga 1
untuk mengantisipasi dan memitigasi gelombang hiperbola janji para politisi.
Tanpa upaya sungguh-sungguh serta kewaspadaan yang prima dan maksimum, banjir
janji politik akan semakin menenggelamkan harapan masyarakat.
Salah satu cara ampuh
untuk mengurangi dampak dari petaka janji politik adalah menelusuri rekam
jejak satu per satu dari semua calon wakil rakyat. Melalui pencermatan
tersebut dapat diketahui sejauh mana empati dan rasa peduli mereka terhadap
penderitaan rakyat. Cara tersebut juga dapat menguak integritas dan
kompetensi mereka. Rakyat tidak hanya percaya, bahkan dilarang percaya hanya
kepada omongan politisi pada kampanye. Rakyat perlu bukti.
Beberapa upaya telah
dilakukan, misalnya Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)
menyiapkan rapor dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan, para
petahana DPR periode 2009-2014 yang jumlahnya sekitar 9 persen dicalonkan
lagi oleh pimpinan partainya untuk periode 2014-2019.
Penilaian tersebut
memberikan pedoman kepada para pemilih dengan memberikan nilai kepada para
kandidat mulai sangat buruk sampai dengan sangat baik. Berdasarkan rapor
tersebut, para pemilih mendapatkan bahan informasi untuk menentukan wakilnya
di lembaga yang terhormat tersebut.
Memitigasi daya rusak
banjir janji politik memerlukan kerja amat keras dan bahu-membahu agar
benar-benar dapat menemukan serta memilih calon wakil rakyat yang amanah dan
bersedia mengabdi pada kepentingan masyarakat. Melalui daya upaya tersebut,
semoga Pemilu 2014 menjadikan rakyat sebagai pemenang sebenarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar