Sabtu, 08 Februari 2014

Transparansi di Daerah Masih Rendah

Transparansi di Daerah Masih Rendah

Arif Nurdiansah   ;   Staf Knowledge & Communication Partnership
 for Governance Reform, Tinggal di Jakarta
SUARA MERDEKA,  07 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
HASIL penelitian indeks transparansi informasi publik oleh Fitra bersama Partnership for Governance Reform menempatkan Kebumen sebagai kabupaten dengan nilai tertinggi.

Total nilai agregat Kebumen adalah 48,25 dari skala penilaian 0-100. Kabupaten di Jateng mendominasi posisi 10 besar terbaik, yaitu berturut-turut setelah Kebumen adalah Jepara, Nagan Raya, Kudus, Labuhan Batu, Purworejo, Sikka, Magelang, Cilacap, dan Pemalang. Penelitian ini dilakukan dari Juni hingga September 2013 di 98 kabupaten yang terletak di 5 provinsi, yakni Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Aceh, dan Sumatera Utara melalui metode penelusuran situs (website tracking).

Padahal, Fitra hanya mengukur ketersediaan 6 dari 12 informasi anggaran yang wajib dibuka oleh pemda berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 188.52/1797/ 37. Dokumen tersebut di antaranya RKPD (2012-2013), Raperda APBD (2012-2013), Perda APBD (2011-2013), Raperda Perubahan (2011-2013), Perda APBD Perubahan (2011-2013), dan Audit LKPD (2010-2012).

Kebumen mendapatkan predikat terbaik menurut indeks, karena dalam situs resminya menyediakan kanal khusus yang menunjukkan 6 dokumen yang dinilai. Mereka juga mengunggah dokumen rencana kerja anggaran (RKA). Namun, faktanya kendati menduduki peringkat pertama, Kebumen hanya mendapatkan nilai di bawah 50, yang berarti masih mendapat kategori rapor merah.

Maka dapat dipastikan bahwa kabupaten lain yang berada di bawah Kebumen tidak memublikasikan dokumen anggaran yang disyaratkan oleh Instruksi Mendagri.
Untuk itu, publik berhak mempertanyakan sejauh mana komitmen pemerintah kabupaten terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi, sebab dokumen-dokumen tersebut menurut Mendagri dalam instruksinya, merupakan indikator pencegahan dan pemberantasan korupsi. Di sisi lain, kepatuhan badan publik terhadap UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) juga perlu diragukan.

Hal itu mengingat undang-undang ini menjamin publik atas kemudahan mengakses informasi anggaran yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Sementara itu, peran DPRD yang memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintahan juga selama ini belum maksimal. Terlebih pada tahun politik ini mereka sudah fokus dengan agenda pemenangan pemilu legislatif yang sebentar lagi digelar. Pada akhirnya, publiklah yang harus berperan untuk mengontrol. Namun, bagaimana mungkin? Transparansi saja tidak ada?

Elektabilitas Pemimpin

Pada era pemerintahan modern, tidak hanya publik yang diuntungkan dengan transparansi, tetapi juga pejabat publik dan pemerintah. Karena kecenderungannya, pemimpin yang terbuka kepada publik akan dicintai dan dikagumi, hal ini berimbas pada tingkat elektabilitasnya.

Sebut saja bupati Bantaeng, wali kota Surabaya, gubernur DKI Jakarta dan lainlain, mereka populer di mata publik karena kinerja yang bagus dan memegang prinsip transparansi. Sementara untuk publik, mereka bisa melihat dan mengontrol alokasi anggaran terkait dengan pelayanan dasar.

Misal berapa banyak anggaran yang diperuntukkan bagi fasilitas pendidikan, kesehatan, dan penurunan kemiskinan dalam setahun. Hal ini memudahkan kinerja pemerintah karena mereka tidak perlu repot-repot melakukan sosialisasi secara formal yang cenderung lebih banyak mengeluarkan tenaga dan waktu tapi tidak efektif.

Jika kenyatannya pemerintah belum tertib mengalokasikan anggaran maka publik berhak mengevaluasi dan meminta pertanggungjawaban berdasarkan data konkret dan dapat dipercaya. Hal ini sekaligus meminimalisasi gerakan massa yang terprovokasi akibat adanya hasutan dari kelompok tidak bertanggung jawab yang selama ini terjadi.

Kuncinya, jika publik paham akan anggaran dan pemerintah terbuka maka tercipta tata kelola pemerintahan yang baik, yang ditandai interaksi dan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan publik. Sesungguhnya untuk menjadi transparan, banyak cara sederhana yang dapat dilakukan, salah satunya meniru strategi Joko Widodo.

Agar anggaran dapat diakses publik, Pemprov DKI Jakarta menempel APBD di ruang publik, seperti kelurahan, pos ronda, dan kantor pemerintah lainnya yang mudah diakses. Dengan begitu publik menjadi cerdas dan pemerintah pun responsif.

Pada akhirnya, publik dengan alasan apa pun berhak tahu tentang pengelolaan keuangan pemerintah daerahnya, terlebih anggaran tersebut didapat dari pajak mereka. Kalau bersih kenapa risih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar