Transparansi
di Daerah Masih Rendah
Arif Nurdiansah ; Staf Knowledge & Communication
Partnership
for Governance Reform, Tinggal di Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 07 Februari 2014
HASIL penelitian indeks
transparansi informasi publik oleh Fitra bersama Partnership for Governance Reform menempatkan Kebumen sebagai
kabupaten dengan nilai tertinggi.
Total nilai agregat Kebumen
adalah 48,25 dari skala penilaian 0-100. Kabupaten di Jateng mendominasi
posisi 10 besar terbaik, yaitu berturut-turut setelah Kebumen adalah Jepara,
Nagan Raya, Kudus, Labuhan Batu, Purworejo, Sikka, Magelang, Cilacap, dan
Pemalang. Penelitian ini dilakukan dari Juni hingga September 2013 di 98
kabupaten yang terletak di 5 provinsi, yakni Kalimantan Barat, Jawa Tengah,
Nusa Tenggara Timur, Aceh, dan Sumatera Utara melalui metode penelusuran
situs (website tracking).
Padahal, Fitra hanya mengukur
ketersediaan 6 dari 12 informasi anggaran yang wajib dibuka oleh pemda
berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 188.52/1797/ 37. Dokumen tersebut di
antaranya RKPD (2012-2013), Raperda APBD (2012-2013), Perda APBD (2011-2013),
Raperda Perubahan (2011-2013), Perda APBD Perubahan (2011-2013), dan Audit
LKPD (2010-2012).
Kebumen mendapatkan predikat
terbaik menurut indeks, karena dalam situs resminya menyediakan kanal khusus
yang menunjukkan 6 dokumen yang dinilai. Mereka juga mengunggah dokumen
rencana kerja anggaran (RKA). Namun, faktanya kendati menduduki peringkat
pertama, Kebumen hanya mendapatkan nilai di bawah 50, yang berarti masih
mendapat kategori rapor merah.
Maka dapat dipastikan bahwa
kabupaten lain yang berada di bawah Kebumen tidak memublikasikan dokumen
anggaran yang disyaratkan oleh Instruksi Mendagri.
Untuk itu, publik berhak
mempertanyakan sejauh mana komitmen pemerintah kabupaten terhadap pencegahan
dan pemberantasan korupsi, sebab dokumen-dokumen tersebut menurut Mendagri
dalam instruksinya, merupakan indikator pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Di sisi lain, kepatuhan badan publik terhadap UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP) juga perlu diragukan.
Hal itu mengingat undang-undang
ini menjamin publik atas kemudahan mengakses informasi anggaran yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
Sementara itu, peran DPRD yang
memiliki fungsi pengawasan terhadap pemerintahan juga selama ini belum
maksimal. Terlebih pada tahun politik ini mereka sudah fokus dengan agenda
pemenangan pemilu legislatif yang sebentar lagi digelar. Pada akhirnya, publiklah
yang harus berperan untuk mengontrol. Namun, bagaimana mungkin? Transparansi
saja tidak ada?
Elektabilitas Pemimpin
Pada era pemerintahan modern,
tidak hanya publik yang diuntungkan dengan transparansi, tetapi juga pejabat
publik dan pemerintah. Karena kecenderungannya, pemimpin yang terbuka kepada
publik akan dicintai dan dikagumi, hal ini berimbas pada tingkat
elektabilitasnya.
Sebut saja bupati Bantaeng,
wali kota Surabaya, gubernur DKI Jakarta dan lainlain, mereka populer di mata
publik karena kinerja yang bagus dan memegang prinsip transparansi. Sementara
untuk publik, mereka bisa melihat dan mengontrol alokasi anggaran terkait
dengan pelayanan dasar.
Misal berapa banyak anggaran
yang diperuntukkan bagi fasilitas pendidikan, kesehatan, dan penurunan kemiskinan
dalam setahun. Hal ini memudahkan kinerja pemerintah karena mereka tidak
perlu repot-repot melakukan sosialisasi secara formal yang cenderung lebih
banyak mengeluarkan tenaga dan waktu tapi tidak efektif.
Jika kenyatannya pemerintah
belum tertib mengalokasikan anggaran maka publik berhak mengevaluasi dan
meminta pertanggungjawaban berdasarkan data konkret dan dapat dipercaya. Hal
ini sekaligus meminimalisasi gerakan massa yang terprovokasi akibat adanya
hasutan dari kelompok tidak bertanggung jawab yang selama ini terjadi.
Kuncinya, jika publik paham
akan anggaran dan pemerintah terbuka maka tercipta tata kelola pemerintahan
yang baik, yang ditandai interaksi dan kolaborasi yang baik antara pemerintah
dan publik. Sesungguhnya untuk menjadi transparan, banyak cara sederhana yang
dapat dilakukan, salah satunya meniru strategi Joko Widodo.
Agar anggaran dapat diakses
publik, Pemprov DKI Jakarta menempel APBD di ruang publik, seperti kelurahan,
pos ronda, dan kantor pemerintah lainnya yang mudah diakses. Dengan begitu
publik menjadi cerdas dan pemerintah pun responsif.
Pada akhirnya, publik dengan
alasan apa pun berhak tahu tentang pengelolaan keuangan pemerintah daerahnya,
terlebih anggaran tersebut didapat dari pajak mereka. Kalau bersih kenapa risih? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar