Memaknai
Musibah
Djamaluddin Darwis ; Rektor Universitas Muhammadiyah
Semarang (Unimus)
|
SUARA
MERDEKA, 07 Februari 2014
KOSAKATA musibah, kata Arab, yang
bersepadan makna dengan kata bencana, menjadi menu berita sehari-hari.
Berawal dari meletusnya Gunung Sinabung, banjir bandang di Manado, banjir
yang merendam sebagian wilayah pantura Jawa, tanah longsor, puting-beliung
sampai gempa bumi.
Beragam musibah tersebut menyisakan
penderitaan. Kejadian beruntun itu menjadi perhatian banyak pihak, di
antaranya Prof Fathur Rokhman, Rektor Unnes, perguruan tinggi konservasi,
lewat tulisannya ”Sikap Kultural Hadapi
Bencana” (SM, 27/1/14). Manusia wajib menyikapi secara bijak bencana dengan
merefleksi diri secara kultural.
Sebagai bangsa berbudaya, manusia perlu
memperhatikan warisan leluhur, local wisdom untuk memayu hayuning bawana, mempercantik alam yang dari sono-nya sudah cantik. Ini merupakan
upaya kultural, supaya dalam mengeksplorasi alam, kita harus tetap melindungi
dan menjaga keseimbangan.
Guna mencegah bencana seperti banjir yang
mengancam tiap musim hujan, pengelolaan alam jangan sampai merusak
keharmonisan ekologi. Pemerhati lain, Tjahjo Kumolo melihat sisi positif
dengan membedah hikmah di balik musibah (SM, 1 Feb. 2014). Dikatakan, ada
blessing in disguise, kemunculan empati, solidaritas sosial, dan
kegotongroyongan yang kini dirasakan mulai memudar.
Bahkan penulis ”Gayeng Semarang”, Abdul Djamil, mantan rektor IAIN Walisongo,
tidak ketinggalan ikut menggayengkan
melalui judul pendek, hanya satu kata, ”Musibah”
(SM, 2/2/14). Sebagai bangsa religius, kita perlu menjaga sikap bijak secara
kultural dibarengi sikap spiritual.
Manusia harus menempatkan diri sebagai
bagian dari alam, tidak dapat lepas darinya, melebur sebagai kesatuan ekologi
dan harmoni. Andai keseimbangan terusik, alam menderita dan bisa ”marah” dan
kemudian manusia juga terkena imbasnya.
Musibah memiliki beragam makna, baik secara
akademik ilmiah, kultural, sosial, maupun spiritual, bergantung cara
pandangnya. Pemaknaan ini memunculkan penyikapan, dan secara spiritual,
banyak yang menyatakan setidak-tidaknya ada tiga makna dalam musibah.
Pertama; teguran Allah terhadap manusia yang merusak keseimbangan alam.
Dalam mengeksploitasi alam, dengan berbagai
alasan manusia acap kurang, bahkan tidak mempertimbangkan kerusakan yang
timbul. Sepintas memang ada pembangunan, tapi tanpa memperhatikan
keseimbangan penyangganya.
Begitu tidak ada keseimbangan, kemunculan
musibah tidak dapat dihindarkan. Sebagaimana difirmankan dalam Alquran, ”Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
(Al-Qashash: 77).
Peringatan Tuhan ini harus disikapi dengan
menumbuhkan kesadaran diri, kesalihan sosial, kesalihan lingkungan, dengan
memperbaiki persahabatan dengan alam. Kedua; ujian dari Allah.
Kehidupan dan kematian dengan segala
situasinya merupakan bagian dari ujian Tuhan, sebagaimana ayat, ”Allah yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan
Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (Al-Muluk:2).
Kepedulian
Sosial
Ujian tidak hanya sesuatu yang bersifat
penderitaan seperti musibah. Namanya saja ujian, tujuannya mengukur kualitas
sikap seorang hamba pada Tuhannya. Kekayaan dan kemiskinan merupakan ujian
dari Tuhan, yang kaya harus bersyukur dan memiliki kepedulian sosial menolong
orang yang bernasib kurang beruntung.
Adapun yng miskin harus tetap sabar dan tak
putus asa mencari jalan keluar dari kemiskinannya. Hakikat ujian adalah untuk
meningkatkan peringkat kualitas hidup. Orang kaya yang berkualitas, adalah
yang memperoleh kekayaan dengan jalan halal, pandai bersyukur, dan peka
sosial. Ketiga; hukuman dari Allah.
Orang yang mengetahui dan mengerti bahwa
perbuatannya tidak baik, bahan menimbulkan kemudaratan atau kerusakan tetapi
ia tetap nekat dengan berbagai alasan, inilah yang dapat menimbulkan musibah
sebagai hukuman. ”Demikianlah telah
tetap hukuman Tuhanmu terhadap orangorang yang fasik, karena sesungguhnya
mereka tidak beriman”. (Yunus:33).
Bisa saja seseorang beriman, tetapi ketika
ia nekat berbuat tidak baik dan mendatangkan kemudaratan, perilaku itu
seperti orang tidak beriman. Iman bisa menjadi kuat, dan kadang menipis,
bahkan hilang.
Karena itulah kata iman sering berpasangan
dengan kata amal salih, perbuatan yang baik mendatangkan maslahah dan
kebaikan bukan kerusakan. Yang diperlukan adalah sikap sadar diri akan
kesalahan, beristigfar mohon ampun kepada Allah, bertobat menghentikan
perilaku yang merusak seraya memperbaiki sikap dengan perilaku yang
mendatangkan manfaat bagi sesama.
Apa pun makna dari musibah, manusia perlu
menyikapi secara positif, mencari titik putih dari musibah itu untuk
perbaikan hidup bersama. Kita berharap berbagai musibah yang terjadi di Tanah
Air dapat menjadi pelajaran berharga, bisa diantisipasi, dan diatasi bersama.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar