Transisi
Demokrasi Tunisia
Zuhairi Misrawi ; Analis di Middle East
Institute
|
KOMPAS,
05 Februari 2014
Dewan Konstituante Tunisia
berhasil menuntaskan konstitusi baru pascarevolusi setelah melalui proses
panjang dan menegangkan. Dari 216 anggota Dewan Konstituante, 200 orang
setuju, 4 orang abstain, dan 12 orang menolak konstitusi baru.
Sekjen PBB Ban Ki-moon
memuji setinggi langit konsensus yang telah dicapai Dewan Konstituante
sebagai salah satu tahap penting dalam transisi demokrasi. PBB mendukung
langkah Tunisia membangun demokrasi.
Konsensus yang dicapai
para elite politik di Tunisia merupa- kan harapan baru bagi tumbuhnya
demokrasi di kawasan yang disapu badai revolusi. Pasalnya, negara-negara yang
mengalami revolusi hingga saat ini belum mampu membangun konsensus. Mesir,
Libya, Yaman, dan Suriah masih terjebak dalam pertentangan ideologis dan
intervensi militer dalam politik praktis.
Alih-alih membangun
konsensus politik, mereka justru tak mampu membangun rekonsiliasi nasional.
Polarisasi kubu Islamis dan kubu sekuler sangat tajam. Polarisasi di dalam
kubu Islamis sendiri juga tak kalah rumit, khususnya antara kubu Ikhwanul
Muslimin dan kubu Salafi.
Keberhasilan Tunisia
melahir- kan konstitusi baru yang ”lebih demokratis” tidak lain karena tiga
alasan penting. Pertama, konsensus antara kubu Islamis dan kubu sekuler.
Sejak merdeka pada 1956 Tunisia telah meletakkan sendi-sendi sekularisme di
bawah kepemimpinan Habib Bourguiba. Tunisia adalah negara mayoritas penduduk
Muslim yang tegas melarang pemakaian keru- dung, poligami, dan kepemilikan
tanah oleh para agamawan.
Pascarevolusi 2011 Tunisia
memasuki era baru dengan naiknya kubu Islamis, Ennahda, sebagai pemenang pemilu.
Istimewanya, Ennahda yang mendapat 90 dari 217 kursi di parlemen justru tidak
memaksakan ambisi kekuasaan dan ideologinya. Ennahda menyerahkan jabatan
presiden kepada Moncef Marzouki yang dikenal sebagai aktivis hak asasi
manusia dan beraliran sekuler. Di samping itu, sedari awal Ennahda berjanji
tak akan memasukkan hukum Islam dalam konstitusi baru.
Memuluskan jalan
Sikap Ennahda yang moderat
itu telah memuluskan jalan bagi tercapainya konsensus politik, khususnya bagi
terbentuknya konstitusi baru yang menjamin kesetaraan, keadilan, dan
kedamaian sebagai nilai-nilai penting dalam demokrasi liberal.
Kedua, Ennahda mampu
keluar dari tekanan politik kaum Salafi yang dikenal konsisten mendikte
agenda Islamisme. Kaum Salafi punya agenda serius memasukkan klausul ”syariat
Islam sebagai sumber utama konstitusi” dalam konstitusi baru sebagai pintu
masuk lahirnya undang-undang yang bersuasana syariat, mengacu pada pemahaman
kaum Salafi, yang dikenal kaku dan rigid.
Konstitusi baru Tunisia
yang eksplisit menghapus klausul ”syariat
Islam sebagai sumber utama konstitusi” membuktikan Ennahda tak mau
didikte kaum Salafi. Sekali terjebak dalam agenda mereka, Ennahda akan
kehilangan dukungan dari kubu sekuler yang sudah mengakar kuat dalam realitas
sosial politik. Di sini pilihan Ennahda merangkul kubu sekuler dianggap
sebagai pilihan tepat dalam menjaga momentum transisi demokrasi.
Ketiga, absennya
intervensi militer dalam politik praktis. Tak seperti Mesir yang masih belum
bisa keluar dari determinasi militer, elite politik Tunisia relatif mampu
meredam nafsu politik militer. Ennahda sebagai pemenang pemilu sangat cermat
dan cerdas bahwa satu-satunya jalan mencegah militer terlibat dalam politik
adalah membangun konsensus dengan kekuatan politik lainnya serta menjamin stabilitas
politik. Di samping itu, agenda-agenda yang sejalan dengan haluan
nasionalisme harus ditegakkan dan diutamakan sehingga militer tak beralasan
kudeta dan menguasai ranah politik.
Tunisia merupakan negara
pascarevolusi yang memberi harapan bagi transisi demokrasi. Bola demokrasi
berada di tangan Ennahda sebagai pemain utama di parlemen. Jika mereka masih
konsisten dengan peta jalan demokrasi, Tunisia tak akan terpuruk lagi dalam
otoritarianisme.
Terlalu dini menilai
kualitas transisi demokrasi yang sedang bergulir di Tunisia. Menurut Alaya
Allani, tantangan yang dihadapi juga tak kalah rumit karena kelompok Islamis
masih terus bergerilya mengubah agenda revolusi, yaitu kebebasan dan keadilan
menuju agenda kepentingan identitas politik kelompok tertentu (www.tunisia-live.net).
Dalam Pasa1 1.1 konstitusi
baru dinyatakan bahwa Tunisia adalah negara bebas, merdeka, dan berdaulat.
Islam adalah agama negara, bahasa Arab adalah bahasa negara, dan republik
adalah sistem pemerintahan. Meski di dalam konstitusi tak tercantum klausul ”syariat Islam sebagai sumber utama
konstitusi”, klausul ”Islam
sebagai agama negara” multitafsir. Secara sosiologis, dari 10 juta lebih
penduduk Tunisia, 98 persen Islam, 1 persen Kristen, dan 1 persen Yahudi.
Fakta itu membuktikan
bahwa Tunisia masih rentan karena kubu Islamis dapat menggunakan Pasal 1.1
sebagai jalan memuluskan agenda politik identitas. Tekanan yang terus masif
dari kubu Salafi dan kelompok Islamis lainnya terhadap Ennahda semakin
kencang pascakonsensus. Mereka menuduh Ennahda telah mencederai agenda
politik kaum Islamis.
Salah satu isu yang jadi
perdebatan serius di ranah publik: menyikapi penodaan agama. Di dalam Pasal
3.2 penodaan agama jadi salah satu klausul yang ditegaskan secara eksplisit.
Di satu sisi, konstitusi menjamin kebebasan berkeyakinan dan kebebasan
melaksanakan ritual keagamaan, tetapi ada larangan tegas terhadap penodaan
atas kesucian simbol keagamaan.
Pasal penodaan agama bisa
jadi pasal karet karena dapat digunakan kelompok tertentu untuk
mengkriminalkan kelompok minoritas, baik di dalam intraagama maupun
antar-agama. Apalagi masih ada kelompok yang dengan mudah menuduh kelompok
lain telah ”menodai agama”.
Transisi demokrasi Tunisia
di masa datang tak mudah karena Ennahda dituntut membangun keseimbangan
politik, baik dengan kubu sekuler maupun Salafi. Tatkala pendulum politik
kian kencang ke kubu Salafi, Ennahda akan terjebak dalam perdebatan politik
identitas dan terjauh dari agenda revolusi, seperti kebebasan dan keadilan.
Sebaliknya, jika Ennahda mampu membangun aliansi dan konsensus politik dengan
kubu sekuler, mereka dapat melanjutkan pencapaian spektakuler sebagaimana
tertera dalam konstitusi baru.
Kepemimpinan Rachid
Ghannouchi di dalam Ennahda akan dipertaruhkan dalam menjaga transisi
demokrasi. Di masa datang transisi demokrasi Tunisia masih butuh konsolidasi
demokrasi untuk mewujudkan demokrasi berkualitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar