Rabu, 05 Februari 2014

Buku SBY Selalu Ada Pilihan

Buku SBY Selalu Ada Pilihan

Ardi Winangun   ;   Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu
OKEZONENEWS,  04 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Di tengah banjir yang melanda di berbagai tempat dan masih aktifnya erupsi Gunung Sinabung, yang semuanya membuat masyarakat mengalami kerugian jiwa dan material, tanpa sungkan-sungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan buku karyanya. Buku dengan judul Selalu Ada Pilihan itu pada Jumat malam, 17 Januari 2014, bertempat di Jakarta Convention Center secara resmi dibagi-bagikan secara simbolik kepada rekan dan koleganya.

Buku pria asal Pacitan, Jawa Timur, itu merupakan gagasan pikiran dan pengalaman pribadi yang dituangkan dalam sebuah kertas di waktu senggangnya, ketika berada di pesawat, tengah malam, menjelang subuh, dan waktu sisa kerja lainnya. Dengan peluncuran buku tersebut menunjukkan Susilo Bambang Yudhoyono seorang yang kreatif, bukan hanya mencipta lagu namun juga menulis buku.

Menulis buku adalah sebuah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh kaum terdidik bahkan sekarang bisa dilakukan oleh siapapun dan dari kasta manapun. Kalau kita lihat para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka adalah seorang penulis meski di masa perjuangan. Dengan buku tersebut, gagasan dan pengalaman pribadi mereka bisa dibaca orang dan mampu menjadi tauladan dan motivasi. Dengan membuat buku maka seseorang akan menjadi monumental, dikenang, dan langgeng.

Menjadi pertanyaan, sejauh mana buku tersebut menjadi the best seller dan mampu mengubah dunia? Itu tergantung dari isi gagasan, revolusi atau tidak, ide baru atau mengulang. Saat ini menulis buku baik itu biografi dan tuangan gagasan dan pikiran penulis atau orang yang ditulis lebih banyak hanya ingin meninggalkan jejak dan mau dikenang atau untuk mencari popularitas. Tak heran bila kita lihat di toko buku banyak buku yang mengulas seorang sosok, baik itu perjalanan hidupnya, pikirannya, dan kisah-kisah lainnya.

Membikin buku sekarang adalah sesuatu yang tidak sulit, ada ongkos cetak, ada penulis, dan atau ada sedikit gagasan kemudian diedit, itu bisa menjadi sebuah buku. Mudahnya membuat buku karena jumlah penerbit sekarang banyak. Agar mereka, penerbit, terus bisa beroperasi mereka sudi menerbitkan buku apa saja, entah berbobot atau tidak, yang penting bisa membiayai ongkos cetak. Akibat yang demikian maka buku-buku yang ada, terutama yang menggambarkan sosok dan atau pikiran seseorang menjadi hal yang biasa. Isi bukunya pun hanya mengulang-ulang pikiran yang sudah ada atau memuji-muji dirinya sendiri. Untuk memacing buku itu laris, di sampulnya diberi tanda semacam cap dengan status the best seller.

Nah bagaimana buku Selalu Ada Pilihan karya orangtua Edy Baskoro Yudhoyono itu? Kita tunggu saja respons masyarakat, apakah laris manis atau menjadi onggokan di toko buku. Sebuah buku itu menjadi laris itu harus berbeda dengan buku-buku yang sudah ada. Buku itu harus out on the box, kontroversial, bernas, mempunyai gagasan besar, dan berani. 

Lihat saja buku karya Tan Malaka yang berjudul Madilog, buku yang mengupas sudut pandang filsafat dan ditarik ke berbagai masalah kebangsaan, ekonomi, sosial, dan budaya itu sudah dicetak berulangkali dan tetap dicari masyarakat, terutama mahasiswa. Pun judul-judul karyanya yang lain semacam Massa Actie, Gerpolek, dan Dari Pendjara ke Pendjara. Hal-hal yang seperti demikianlah yang biasanya meledak di pasar. Tan Malaka menulis buku-bukunya tadi dilandasi pengalaman pribadinya yang selalu mencekam, buah pikiran yang bernas, dan mempunyai gagasan yang besar dan berani melawan kaum penindas sehingga buku itu sepertinya tak lekang oleh waktu.

Buku karya George Adi Tjondro yang berjudul Gurita Cikeas heboh bahkan bukunya dibajak karena mampu menampilkan cerita yang berani dan belum ditulis oleh banyak orang. Di negara-negara yang mengumbar kebebasan akademik, buku-buku kontroversial yang berbau SARA juga menjadi buruan masyarakat.

Sebuah karya menjadi monumental bisa juga memerlukan waktu puluhan hingga ratusan tahun. Saat ini, misalnya buku karya seorang dianggap biasa namun setelah puluhan hingga ratusan tahun bukunya baru dicari-cari hingga dicetak ulang. Hal demikian bisa jadi karyanya baru dianggap penting dan unik pada masa sekarang. Buku karya Ahmad Wahid, Pergolakan Pemikiran Islam; dan karya Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran; ditulis pada tahun 1960-an, diterbitkan pada tahun 1980-an, meledak pada tahun 1990-an dan hingga sekarang masih banyak dicari. 

Catatan Seorang Demonstran cetak ulang ketika Mira Lesmana mengangkat cerita dalam buku itu ke layar lebar. Pun buku Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang yang mulai dicetak tahun 1911, dari waktu ke waktu semakin banyak dibaca orang dan dicetak ulang. 

Untuk mendongkrak buku itu agar dicari masyarakat, biasanya penulis dan penerbit melakukan berbagai promosi seperti bedah buku, discount, hingga kuis berhadiah buku itu. Bahkan penulis mau bekerja sama dengan produser film mengangkat film dari sebuah buku itu untuk mendongkrak penjualan. Novel-novel karya Dewi Lestari seperti Madre dan Perahu Kertas, diangkat dalam sebuah film. Dengan film itulah masyarakat tahu ada novelnya. Banyak sudah novel yang diangkat dalam film dengan tujuan menglariskan karya itu seperti 99 Cahaya Langit Di Eropa, Di Bawah Lindungan Kabah, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi, Tenggelamnya Kapal Van Derwijk, dan lain sebagainya.

Jadi kalau Selalu Ada Pilihan ingin the best seller maka buku itu harus mempunyai gagasan besar, revolusioner, dan bernas; menunggu puluhan hingga ratusan tahun atau difilmkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar