Tips
Membangun Karakter Siswa dan Sekolah
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Februari 2014
SEPANJANG sejarah ke manusiaan, karakter
selalu menjadi domain penting untuk ditelaah dan dikemukakan sebagai dasar
terciptanya tatanan sosial yang beradab. Bahkan hampir semua agama menitahkan
para penganutnya untuk memiliki keadaban dalam perilaku dan memperlakukan
sesama, serta didasari oleh pandangan dan nilainilai yang positif. Semua
nilai positif pasti berasal dari sikap jiwa atau karakter yang positif.
Pertanyaannya kemudian, dari mana dan di mana muasal usaha penubuhan dan
penumbuhan karakter yang positif pada diri manusia?
Jawaban yang mengemuka dari
pertanyaan tadi biasanya berbunyi sangat klasik; pendidikan di tengah
keluarga merupakan muasal pembentukan karakter yang baik. Namun di tengah
zaman yang serbahedonistis dan materialistis sekarang ini, keluarga cenderung
mendelegasikan urusan pembentukan karakter anak-anak mereka kepada lembaga
yang bernama sekolah. Sekolah, terlepas dari plus-minusnya, dalam pandangan
umum selalu menjadi laboratorium yang siap gagal dalam menciptakan karakter
yang baik bagi anakanak bangsa.
Sebagai salah satu struktur sosial
yang paling utama, sekolah jelas memiliki tantangan yang tidak ringan dalam
ikut membentuk karakter siswa. Ini berarti setiap sekolah sesungguhnya
memiliki tanggung jawab dalam merancang pola perilaku siswa yang saling
menghargai sesama, jujur, dan perilaku baik yang memang sudah ada di dalam
diri setiap anak. Karena itu menjadi tugas sekolah dan para guru untuk
merancang skema belajar-mengajar di ruang kelas yang berorientasi pada
penubuhan dan penumbuhan karakter dan nilai-nilai keadaban anak-anak.
Bertolak dari pengalaman mengelola
Sekolah Sukma Bangsa di Aceh, beberapa tips dalam membangun karakter baik
siswa ini mungkin bisa bermanfaat. Pertama, komunitas sekolah perlu membuat
komitmen yang tegas dan terukur menyangkut pilar karakter yang ingin diusung
melalui skema belajar-mengajar. Hal ini misalnya dapat dijabarkan melalui
mekanisme perumusan visi, misi, dan tujuan sekolah yang melibatkan seluruh
pemangku kepentingan (stakeholders)
di tingkat sekolah. Nilai-nilai untuk saling memercayai satu sama lain,
bertanggung jawab, hormat, peduli, jujur, dan bagaimana menjadi warga negara
yang baik harus menjadi tema utama karakter para siswa.
Kedua, berilah guru kepercayaan
untuk mengatur kelas mereka masing-masing berdasarkan prinsip dan pilar
karakter yang disepakati. Namun dalam konteks pengelolaan kelas, guru harus
dilatih bagaimana cara membuat ground rules yang jelas dan tegas serta bisa
disepakati oleh setiap siswa di kelasnya. Buatlah aturan yang sebanyak
mungkin ide dasarnya berangkat dari keinginan siswa, serta mengajari siswa
untuk belajar menerima risiko dan konsekuensi dari setiap aturan yang mereka
buat. Biasanya siswa, dengan bahasa mereka sendiri, lebih antusias dalam
merumuskan aturan yang akan mereka gunakan ketika proses belajar-mengajar
berlangsung di ruang kelas.
Ketiga, berilah para siswa
kebebasan untuk mengeksplorasi role
models yang akan mereka jadikan rujukan berdasarkan minat bidang studi
masing-masing. Mereka biasanya akan antusias dalam mencari role models mereka
yang bisa disesuaikan dengan bidang studi sejarah, sains, seni, sastra dan
bahasa. Memberikan siswa keleluasaan dalam mengeksplorasi role models akan mampu meningkatkan
ketajaman intuisi dan karakter anak sesuai dengan idola mereka masing-masing.
Saling tertantang
Keempat, guru seyogianya memainkan peran
signifikan dalam memodulasi karakter saling menghargai dan menghormati dalam
proses belajar-mengajar. Mulailah dengan mengajarkan betapa pentingnya
menghargai diri mereka sendiri dan menghargai orang lain sehingga sikap sebaliknya
menjadi musuh bersama yang harus dihindari.
Membuat kampanye-kampanye antikekerasan
di sekolah secara skematis dan sistematis yang diintegrasikan ke dalam
seluruh mata ajar ialah keniscayaan. Dalam proses ini, baik guru maupun siswa
akan terus tertantang untuk
menunjukkan sikap saling
menghormati berdasarkan perbedaan budaya, etnik, bahkan agama.
Selain itu, ini tips kelima,
setiap mata ajar juga diharapkan mampu menumbuhkan semangat kesetiakawanan
antarsiswa dengan cara membangun sebuah komunitas yang peduli (build a caring community) terhadap
isu-isu yang berkembang di sekitar kehidupan siswa. Skema ini dimaksudkan
agar anak-anak tumbuh dengan kesadaran sosial, budaya, dan lingkungan yang
sehat, serta menjadikan mereka bukan sebagai anakanak yang asosial. Beberapa
contoh dari program jenis ini misalnya memberi anak kesempatan untuk
melakukan bakti sosial sesering mungkin ke masyarakat sekitar sekolah,
terutama ke tempat-tempat yang dianggap dan dipandang dapat meningkatkan peran
serta anak-anak dalam merasakan detak nadi masyarakat yang kurang beruntung.
Keenam, penting juga sekolah
membangun skema school-visit
program dan sejenisnya yang berorientasi pada semangat menumbuhkan jiwa
kerelawanan pada diri anak (volunteerism).
Dengan menyadari kondisi geografis Indonesia yang termasuk rentan terhadap
beragam jenis bencana, memperkenalkan sikap kerelawanan merupakan cara
terbaik untuk membangun karakter positif siswa.
Yang terakhir, ketujuh, tantanglah
siswa untuk berkompetisi menelurkan ide ke dalam class project yang akan mereka lakukan secara berkelompok. Peran
guru dalam memfasilitasi ide-ide siswa ke dalam class project akan sangat bermanfaat dalam menumbuhkan semangat
kebersamaan sebagai sebuah komunitas. Biarkan anak-anak menggunakan imajinasi
kreatif sebatas tingginya langit yang bisa mereka capai.
Dengan cara ini,
baik siswa maupun sekolah akan mampu menunjukkan jati diri mereka secara
elegan dan positif sehingga pesimisme kita terhadap peran sentral sekolah
terhadap proses penubuhan dan penumbuhan karakter siswa sedikit demi sedikit
akan terhapus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar