Aksi
Reaksi Dana Saksi
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor Riset di Pusat Penelitian
Politik LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Februari 2014
“Bukan mustahil gagasan dana saksi ini
bukan ditujukan agar semua parpol memiliki saksi di setiap TPS sehingga
kecurangan politik bisa diminimalkan, melainkan dapat menjadi bagian dari
kecurangan politik.”
ASAL usul rencana
pemberian uang sebesar Rp100 ribu per saksi partai politik di setiap tempat pemungutan
suara (TPS) masih belum jelas apakah itu berasal dari Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto, Ketua
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), atau bahkan dari partai-partai politik.
Pihak masing-masing kini tidak ada yang berani unjuk gigi bahwa dirinyalah
yang mengusulkan hal itu. Ini disebabkan munculnya reaksi yang begitu keras
dari kalangan publik dan beberapa partai politik (parpol) soal dana saksi
tersebut.
Bila kita lihat
nilainya yang hanya Rp100 ribu per saksi, angka itu amatlah kecil dan
hampir-hampir tidak ada harganya bila dibandingkan dengan kerja keras dan
tanggung jawab seorang saksi di TPS. Namun, bila angka Rp100 ribu itu
dikalikan dengan jumlah total TPS di seluruh Indonesia yang mencapai 545.778
dan 12 parpol peserta pemilu legislatif, angkanya bukan main besarnya, yakni
Rp654 miliar!
Walaupun uang tersebut sangat mungkin tidak masuk ke kas
parpol, setiap parpol akan mendapatkan bantuan dana saksi senilai Rp55
miliar, jauh lebih besar daripada nilai total bantuan pemerintah terhadap
semua parpol yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI, DPRD
provinsi/ kabupaten/kota), yaitu Rp9.180.068.796. Setiap parpol selama ini
mendapatkan bantuan dari APBN dihitung dari jumlah suara yang diperoleh pada
pemilu legislatif 2009 dikalikan dengan Rp108 ribu per suara.
Pembahasan soal
rencana pemberian dana dari negara untuk setiap saksi parpol di setiap TPS
untuk sementara waktu ditunda. Penundaan itu merupakan salah satu butir
kesepakatan rapat antara Menko Polhukam, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, dan Bawaslu pada Selasa (28/1). Pembahasan tersebut bukan mustahil
akan berlanjut bila pemerintah menemukan dasar hukum bagi pemberian dana itu,
dan sebagian besar parpol di DPR mendukungnya.
Selama ini masih ada
pro-kontra soal itu di kalangan parpol. Partai-partai yang telak-telak
mendukung gagasan ini ialah Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan
Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa. PDIP melalui Sekjen Tjahjo Kumolo
dan anggotanya, Rike Dyah Pitaloka, jelas menolak, demikian juga Partai
NasDem Di dalam Partai Golkar ada silang pendapat. Ketua Umum Partai Golkar
Abu Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie menyatakan tidak setuju, tetapi ini
belum menjadi pendirian partai karena ada juga pengurus juga pengurus teras
partai yang menilai bantuan saksi berguna untuk pemerataan saksi di semua
TPS.
Pemilu yang amat mahal
Biaya Pemilu 2014
amatl a h mahal, yaitu Rp14,4 triliun untuk Komisi Pemilihan U m u m (KPU),
Rp1 triliun untuk biaya pengamanan dengan perincian Rp600 miliar untuk Polri,
Rp300 miliar untuk TNI, dan sisanya untuk pengamanan lapangan di setiap TPS.
Kementerian Keuangan pada 2013 sudah menganggarkan biaya keseluruhan Pemilu
2014 sebesar Rp16 triliun. Angka itu dua kali lipat dari biaya Pemilu 2009
yang berjumlah Rp8,5 triliun.
Besarnya biaya pemilu
tersebut belum termasuk biaya pemilu kada yang juga harus dianggarkan melalui
APBN dan APBD. Bisa dibayangkan betapa besarnya biaya untuk memilih para
wakil rakyat, wakil daerah, kepala pemerintahan nasional dan wakilnya, serta
kepala-kepala daerah dan wakil mereka di setiap provinsi, kabupaten dan kota.
Rakyat mungkin tidak
akan ribut bila anggaran yang sebagian besar berasal dari pajak rakyat itu
menghasilkan para pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat yang benarbenar
ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat serta meningkatkan harkat bangsa di
mata dunia.
Namun yang terjadi
selama ini, terlebih lagi pada periode-periode 2009-2014, tidak sedikit wakil
rakyat serta pejabat pemerin tah pusat dan daerah yang amat korup! Inilah
yang membuat rakyat sering kali marah bila mengetahui adanya
penyelewenganpenyelewengan yang dilakukan para elite politik tersebut. Ini
pula yang membuat semakin tumbuhnya sikap apatis di sebagian kalangan
masyarakat terhadap pemilu.
Belakangan ini memang
tumbuh harapan baru di kalangan publik seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya,
dan Jawa Tengah yang memiliki gubernur atau wali kota yang benar-benar
berbuat banyak untuk publik, merakyat, dan menjadi bagian dari masyarakatnya
tanpa memandang pangkat dan kedudukan.
Ada pula seorang
pemimpin daerah di ufuk timur Indonesia, yaitu Wali Kota Jayapura Benhur
Tommy Mano, yang bukan hanya membuat Kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua,
memperoleh penghargaan Adipura 2013 karena kebersihan kotanya, melainkan juga
amat peduli pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan pembentukan
kepemerintahan yang baik (good
governance). Hal demikian membuktikan bahwa putra daerah dari salah satu
pulau di Teluk Yotefa, Papua, juga mampu memimpin daerahnya secara baik. Ini
amat berbeda dengan Kota Manokwari, ibu kota Papua Barat, yang kotanya
centang perenang dan sampah menjadi pemandangan yang biasa di kota itu.
Hak asasi yang jomplang
Kita sebagai bangsa
sering kali bergerak dari satu kutub ke kutub ekstrem yang lain. Apa yang penulis kemukakan ini hanya untuk
mengingatkan kembali publik pada perubahan-perubahan politik di negeri ini.
Kita pernah mengecap sistem mengecap sistem demokrasi parlementer yang
kemudian ber ganti dengan sistem presidensial. Kita pernah menerapkan sistem
demokrasi terpimpin yang kemudian diganti oleh demokrasi Pancasila, walau
sistem otoriterisme tetap menjadi bagian dari kedua sistem demokrasi
tersebut, hanya pemimpinnya yang berubah dari sipil ke militer.
Kita juga pernah mengalami
`politik sebagai panglima' di masa Orde Lama yang kemudian berubah menjadi
`ekonomi sebagai panglima' di era Orde Baru. Pada era Orde Baru di bawah
Presiden Soeharto, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (economic, social and cultural rights) warga negara lebih
dikedepankan ketimbang hak-hak sipil dan politik (civil and political rights).
Namun, patut dicatat
bahwa atas nama persatuan dan kesatuan bangsa pun pada era Orde Baru bukan
hak-hak sipil dan politik saja yang dibelenggu, melainkan juga sebagian
hak-hak sosial dan budaya. Hal tersebut bisa dilihat dari sulitnya beberapa
etnik di Indonesia, khususnya di Papua, untuk mengembangkan budaya dengan
alasan amat terbelakang dan bertentangan dengan budaya utama (mainstream culture), atau karena
ketakutan akan timbulnya separatisme dari gerakan-gerakan budaya yang
berkembang itu. Kasus pembunuhan kurator Museum Universitas Cenderawasih,
Arnold Aap, oleh anggota Kopassus pada 1983 menjadi salah satu penyebab
sekitar 10 ribu orang melintasi perbatasan dari Irian Jaya ke Papua Nugini
(PNG) pada 1984-1985. Musik-musik Papua yang dulu dilantunkan kelompok musik
Mambesak, pimpinan Arnold Aap, hingga kini amat populer melewati batas Papua.
Di era reformasi,
keadaan justru berbalik. Hak-hak sipil dan politik begitu diagungkan dan
mengesampingkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Meski keamanan sosial
masyarakat dalam bentuk asuransi kesehatan sudah menjadi kebijakan bersama
antara eksekutif dan legislatif sejak 2010, diterapkan di berbagai daerah
sejak 2012 dan mulai diterapkan secara nasional sejak 1 Januari 2014, adalah
kenyataan bahwa anggaran untuk politik masih jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi,
pelayanan sosial, dan penanggulangan kemiskinan serta pengangguran.
Lihatlah data-data
ini. Jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2013 tercatat 28,07
juta jiwa atau sekitar 11,37%. Anak Indonesia rata-rata hanya mengenyam
pendidikan 6,5 tahun-7,6 tahun. Panjang jalan di Indonesia hingga saat ini
sekitar 350 ribu km, bandingkan dengan China yang mencapai 4,5 juta km.
Indonesia memang
negara nomor ke-10 yang memiliki bandara sejumlah 673, dengan 186 bandara
berlandasan halus, dan 487 berlandasan kasar atau tidak layak digunakan lagi.
Namun, sebagian besar landasan utama yang digunakan penerbangan sipil
dimiliki oleh TNI, apakah TNI-AU atau TNIAL. Sebagian lagi dimiliki
perusahaan pertambangan seperti di Bontang, Kalimantan Timur, dan Timika,
Papua. Anggaran negara untuk infrastruktur amatlah minim, hanya 3% dari
keseluruhan APBN.
Dari sisi peningkatan
kesejahteraan, Indonesia yang PDB per kapitanya, menurut Menko Ekonomi Hatta
Radjasa, sebesar US$4.000, sesungguhnya sedang mengalami middle income trap (jebakan pendapatan menengah). Pertumbuhan ekonomi
Indonesia lebih disebabkan konsumsi domestik dan bukan dari hasil peningkatan
pendapatan ekonomi dari sektor manufaktur.
Kementerian Perdagangan
yang baru saja ditinggalkan menterinya, Gita Wirjawan, terombang-ambing di
tengah liberalisasi ekonomi internasional dan kebi jakan proteksi ekonomi
domestik sebagai akibat dari kegagalan kebijakan ataupun penerapannya dalam
bidang industri manufaktur dan perda gangan internasional. Ini yang
menyebabkan Indonesia terjebak dalam situasi pendapatan per kapita yang
stagnan dan sulit mening kat lagi akibat dari semakin tertekannya industri
manufaktur Indonesia dari serbuan barang-barang impor.
Kecurangan politik
Kucuran dana saksi
bukan ha nya menyebabkan tergerusnya partisipasi publik yang spontan,
membengkaknya anggaran untuk memberikan hak-hak sipil dan politik, tetapi
juga dapat menimbulkan kecurangan politik.
Kita tahu persis tidak
ada satu pun parpol yang basis massa atau konstituennya atau konstituennya
merata di seluruh wilayah Indone sia. Peta politik Indonesia memang akan
berubah dari peta politik 2009. Namun, tetap saja peta politik itu tidak akan
menimbulkan pemerataan dukungan massa karena setiap parpol me miliki wilayah
kekuasaannya sendiri. Karena itu, pemberian dana saksi dari pemerintah kepada
parpol tentunya akan menghilangkan kemandirian parpol.
Satu hal yang mungkin
tidak terpikirkan oleh sebagian besar publik, bukan mustahil gagasan dana
saksi ini bukan ditujukan agar semua parpol memiliki saksi di setiap TPS
sehingga kecurangan politik bisa diminimalkan, melainkan, sebaliknya, justru
dapat menjadi bagian dari kecurangan politik.
Modus operandinya ialah
penguasa melalui tangan-tangan kekuasaannya dapat memanipulasi data hasil
pemilu dan sulit untuk dibantah dengan alasan semua saksi parpol sudah tanda
tangan. Padahal, seperti telah penulis kemukakan, belum tentu parpolparpol
nonpenguasa memiliki saksi-saksi di daerah yang bukan konstituennya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar