Selasa, 04 Februari 2014

Aksi Reaksi Dana Saksi

Aksi Reaksi Dana Saksi

Ikrar Nusa Bhakti  ;   Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
MEDIA INDONESIA,  03 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Bukan mustahil gagasan dana saksi ini bukan ditujukan agar semua parpol memiliki saksi di setiap TPS sehingga kecurangan politik bisa diminimalkan, melainkan dapat menjadi bagian dari kecurangan politik.”

ASAL usul rencana pemberian uang sebesar Rp100 ribu per saksi partai politik di setiap tempat pemungutan suara (TPS) masih belum jelas apakah itu berasal dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), atau bahkan dari partai-partai politik. Pihak masing-masing kini tidak ada yang berani unjuk gigi bahwa dirinyalah yang mengusulkan hal itu. Ini disebabkan munculnya reaksi yang begitu keras dari kalangan publik dan beberapa partai politik (parpol) soal dana saksi tersebut.

Bila kita lihat nilainya yang hanya Rp100 ribu per saksi, angka itu amatlah kecil dan hampir-hampir tidak ada harganya bila dibandingkan dengan kerja keras dan tanggung jawab seorang saksi di TPS. Namun, bila angka Rp100 ribu itu dikalikan dengan jumlah total TPS di seluruh Indonesia yang mencapai 545.778 dan 12 parpol peserta pemilu legislatif, angkanya bukan main besarnya, yakni Rp654 miliar! 

Walaupun uang tersebut sangat mungkin tidak masuk ke kas parpol, setiap parpol akan mendapatkan bantuan dana saksi senilai Rp55 miliar, jauh lebih besar daripada nilai total bantuan pemerintah terhadap semua parpol yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI, DPRD provinsi/ kabupaten/kota), yaitu Rp9.180.068.796. Setiap parpol selama ini mendapatkan bantuan dari APBN dihitung dari jumlah suara yang diperoleh pada pemilu legislatif 2009 dikalikan dengan Rp108 ribu per suara.

Pembahasan soal rencana pemberian dana dari negara untuk setiap saksi parpol di setiap TPS untuk sementara waktu ditunda. Penundaan itu merupakan salah satu butir kesepakatan rapat antara Menko Polhukam, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Bawaslu pada Selasa (28/1). Pembahasan tersebut bukan mustahil akan berlanjut bila pemerintah menemukan dasar hukum bagi pemberian dana itu, dan sebagian besar parpol di DPR mendukungnya.

Selama ini masih ada pro-kontra soal itu di kalangan parpol. Partai-partai yang telak-telak mendukung gagasan ini ialah Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Kebangkitan Bangsa. PDIP melalui Sekjen Tjahjo Kumolo dan anggotanya, Rike Dyah Pitaloka, jelas menolak, demikian juga Partai NasDem Di dalam Partai Golkar ada silang pendapat. Ketua Umum Partai Golkar Abu Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie menyatakan tidak setuju, tetapi ini belum menjadi pendirian partai karena ada juga pengurus juga pengurus teras partai yang menilai bantuan saksi berguna untuk pemerataan saksi di semua TPS.

Pemilu yang amat mahal

Biaya Pemilu 2014 amatl a h mahal, yaitu Rp14,4 triliun untuk Komisi Pemilihan U m u m (KPU), Rp1 triliun untuk biaya pengamanan dengan perincian Rp600 miliar untuk Polri, Rp300 miliar untuk TNI, dan sisanya untuk pengamanan lapangan di setiap TPS. Kementerian Keuangan pada 2013 sudah menganggarkan biaya keseluruhan Pemilu 2014 sebesar Rp16 triliun. Angka itu dua kali lipat dari biaya Pemilu 2009 yang berjumlah Rp8,5 triliun.

Besarnya biaya pemilu tersebut belum termasuk biaya pemilu kada yang juga harus dianggarkan melalui APBN dan APBD. Bisa dibayangkan betapa besarnya biaya untuk memilih para wakil rakyat, wakil daerah, kepala pemerintahan nasional dan wakilnya, serta kepala-kepala daerah dan wakil mereka di setiap provinsi, kabupaten dan kota.

Rakyat mungkin tidak akan ribut bila anggaran yang sebagian besar berasal dari pajak rakyat itu menghasilkan para pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat yang benarbenar ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat serta meningkatkan harkat bangsa di mata dunia.

Namun yang terjadi selama ini, terlebih lagi pada periode-periode 2009-2014, tidak sedikit wakil rakyat serta pejabat pemerin tah pusat dan daerah yang amat korup! Inilah yang membuat rakyat sering kali marah bila mengetahui adanya penyelewenganpenyelewengan yang dilakukan para elite politik tersebut. Ini pula yang membuat semakin tumbuhnya sikap apatis di sebagian kalangan masyarakat terhadap pemilu.

Belakangan ini memang tumbuh harapan baru di kalangan publik seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Jawa Tengah yang memiliki gubernur atau wali kota yang benar-benar berbuat banyak untuk publik, merakyat, dan menjadi bagian dari masyarakatnya tanpa memandang pangkat dan kedudukan.

Ada pula seorang pemimpin daerah di ufuk timur Indonesia, yaitu Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano, yang bukan hanya membuat Kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, memperoleh penghargaan Adipura 2013 karena kebersihan kotanya, melainkan juga amat peduli pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan pembentukan kepemerintahan yang baik (good governance). Hal demikian membuktikan bahwa putra daerah dari salah satu pulau di Teluk Yotefa, Papua, juga mampu memimpin daerahnya secara baik. Ini amat berbeda dengan Kota Manokwari, ibu kota Papua Barat, yang kotanya centang perenang dan sampah menjadi pemandangan yang biasa di kota itu.

Hak asasi yang jomplang

Kita sebagai bangsa sering kali bergerak dari satu kutub ke kutub ekstrem yang lain.  Apa yang penulis kemukakan ini hanya untuk mengingatkan kembali publik pada perubahan-perubahan politik di negeri ini. Kita pernah mengecap sistem mengecap sistem demokrasi parlementer yang kemudian ber ganti dengan sistem presidensial. Kita pernah menerapkan sistem demokrasi terpimpin yang kemudian diganti oleh demokrasi Pancasila, walau sistem otoriterisme tetap menjadi bagian dari kedua sistem demokrasi tersebut, hanya pemimpinnya yang berubah dari sipil ke militer.

Kita juga pernah mengalami `politik sebagai panglima' di masa Orde Lama yang kemudian berubah menjadi `ekonomi sebagai panglima' di era Orde Baru. Pada era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (economic, social and cultural rights) warga negara lebih dikedepankan ketimbang hak-hak sipil dan politik (civil and political rights).

Namun, patut dicatat bahwa atas nama persatuan dan kesatuan bangsa pun pada era Orde Baru bukan hak-hak sipil dan politik saja yang dibelenggu, melainkan juga sebagian hak-hak sosial dan budaya. Hal tersebut bisa dilihat dari sulitnya beberapa etnik di Indonesia, khususnya di Papua, untuk mengembangkan budaya dengan alasan amat terbelakang dan bertentangan dengan budaya utama (mainstream culture), atau karena ketakutan akan timbulnya separatisme dari gerakan-gerakan budaya yang berkembang itu. Kasus pembunuhan kurator Museum Universitas Cenderawasih, Arnold Aap, oleh anggota Kopassus pada 1983 menjadi salah satu penyebab sekitar 10 ribu orang melintasi perbatasan dari Irian Jaya ke Papua Nugini (PNG) pada 1984-1985. Musik-musik Papua yang dulu dilantunkan kelompok musik Mambesak, pimpinan Arnold Aap, hingga kini amat populer melewati batas Papua.

Di era reformasi, keadaan justru berbalik. Hak-hak sipil dan politik begitu diagungkan dan mengesampingkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Meski keamanan sosial masyarakat dalam bentuk asuransi kesehatan sudah menjadi kebijakan bersama antara eksekutif dan legislatif sejak 2010, diterapkan di berbagai daerah sejak 2012 dan mulai diterapkan secara nasional sejak 1 Januari 2014, adalah kenyataan bahwa anggaran untuk politik masih jauh lebih besar bila dibandingkan dengan anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana ekonomi, pelayanan sosial, dan penanggulangan kemiskinan serta pengangguran.

Lihatlah data-data ini. Jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2013 tercatat 28,07 juta jiwa atau sekitar 11,37%. Anak Indonesia rata-rata hanya mengenyam pendidikan 6,5 tahun-7,6 tahun. Panjang jalan di Indonesia hingga saat ini sekitar 350 ribu km, bandingkan dengan China yang mencapai 4,5 juta km.
Indonesia memang negara nomor ke-10 yang memiliki bandara sejumlah 673, dengan 186 bandara berlandasan halus, dan 487 berlandasan kasar atau tidak layak digunakan lagi. Namun, sebagian besar landasan utama yang digunakan penerbangan sipil dimiliki oleh TNI, apakah TNI-AU atau TNIAL. Sebagian lagi dimiliki perusahaan pertambangan seperti di Bontang, Kalimantan Timur, dan Timika, Papua. Anggaran negara untuk infrastruktur amatlah minim, hanya 3% dari keseluruhan APBN.

Dari sisi peningkatan kesejahteraan, Indonesia yang PDB per kapitanya, menurut Menko Ekonomi Hatta Radjasa, sebesar US$4.000, sesungguhnya sedang mengalami middle income trap (jebakan pendapatan menengah). Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih disebabkan konsumsi domestik dan bukan dari hasil peningkatan pendapatan ekonomi dari sektor manufaktur.

Kementerian Perdagangan yang baru saja ditinggalkan menterinya, Gita Wirjawan, terombang-ambing di tengah liberalisasi ekonomi internasional dan kebi jakan proteksi ekonomi domestik sebagai akibat dari kegagalan kebijakan ataupun penerapannya dalam bidang industri manufaktur dan perda gangan internasional. Ini yang menyebabkan Indonesia terjebak dalam situasi pendapatan per kapita yang stagnan dan sulit mening kat lagi akibat dari semakin tertekannya industri manufaktur Indonesia dari serbuan barang-barang impor.

Kecurangan politik

Kucuran dana saksi bukan ha nya menyebabkan tergerusnya partisipasi publik yang spontan, membengkaknya anggaran untuk memberikan hak-hak sipil dan politik, tetapi juga dapat menimbulkan kecurangan politik.

Kita tahu persis tidak ada satu pun parpol yang basis massa atau konstituennya atau konstituennya merata di seluruh wilayah Indone sia. Peta politik Indonesia memang akan berubah dari peta politik 2009. Namun, tetap saja peta politik itu tidak akan menimbulkan pemerataan dukungan massa karena setiap parpol me miliki wilayah kekuasaannya sendiri. Karena itu, pemberian dana saksi dari pemerintah kepada parpol tentunya akan menghilangkan kemandirian parpol.

Satu hal yang mungkin tidak terpikirkan oleh sebagian besar publik, bukan mustahil gagasan dana saksi ini bukan ditujukan agar semua parpol memiliki saksi di setiap TPS sehingga kecurangan politik bisa diminimalkan, melainkan, sebaliknya, justru dapat menjadi bagian dari kecurangan politik.

Modus operandinya ialah penguasa melalui tangan-tangan kekuasaannya dapat memanipulasi data hasil pemilu dan sulit untuk dibantah dengan alasan semua saksi parpol sudah tanda tangan. Padahal, seperti telah penulis kemukakan, belum tentu parpolparpol nonpenguasa memiliki saksi-saksi di daerah yang bukan konstituennya!  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar