Selasa, 04 Februari 2014

Sekali Lagi, Pendidikan Karakter

Sekali Lagi, Pendidikan Karakter

Dody Wibowo  ;   Pengajar Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik;
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  03 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
“BU, semua sampah di depan kelas-kelas sudah benar terpisah sesuai tempatnya, sampah basah dan sampah kering, tetapi sampah di depan ruang guru kok masih salah tempatnya ya, Bu?“ begitu pertanyaan seorang murid kepada gurunya seusai melakukan tugas mengawasi penempatan sampah di lingkungan sekolahnya. Sang guru hanya tersenyum dan mencari jawaban untuk `melindungi' kesalahan rekan-rekan gurunya.

Di suatu pelatihan pengolahan sampah yang pesertanya ialah guru dan murid, ketika sampai di tahap praktik, hanya para murid yang aktif melakukan pembuatan kompos. Guru-gurunya hanya menonton sambil sesekali memberi petunjuk kepada murid, padahal ketika ditanya apakah para guru itu pernah melakukan kegiatan serupa, ternyata mereka belum pernah melakukannya. Mereka menganggap bahwa hal-hal yang berkaitan dengan praktik ialah kegiatan untuk murid saja.

Contoh-contoh cerita tadi akhirnya bisa menjawab pertanyaan saya mengenai mengapa sampai saat ini penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah masih sering mengalami hambatan. Ternyata guru-gurunya sendiri tidak memberikan contoh seperti apa praktik pelaksanaan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Guru berhenti pada sebatas menyampaikan melalui pesan dan nasihat.

Menjadi contoh

Guru dalam bahasa Jawa diartikan sebagai digugu lan ditiru (diperhatikan dan dicontoh). Dalam pendidikan untuk membentuk karakter murid, guru tidak hanya punya kewajiban untuk mampu menyampaikan materi atau pesan mengenai perilaku kepada murid. Guru juga wajib menghidupi pesan yang dia sampaikan dalam perilaku sehari-hari. Bagaimana guru berinteraksi dengan murid di kelas dan luar kelas, bagaimana berinteraksi dengan sesama kolega guru maupun unsur manajemen sekolah yang lain, bahkan bagaimana perilaku guru di lingkungan luar sekolah. 

Seorang guru menjadi model di sekolah dan juga dalam kehidupan di luar sekolah.
Namun, kemudian guru sekarang ini sepertinya tidak terlalu sempat memikirkan hal-hal seperti itu, abai dengan kenyataan bahwa dia ini adalah model bagi muridmuridnya, dan lebih jauh lagi para guru belum memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi diri apakah dirinya telah menjadi contoh yang baik untuk muridnya. Guru masih sibuk mengejar target capaian akademik yang dituntut untuk dipenuhi, guru masih mengedepankan prestasi-prestasi akademik sebagai komponen utama yang harus ditonjolkan sehingga bagaimana muridnya berperilaku tidak mendapat perhatian yang serius.

Jika ada murid yang punya permasalahan dengan perilakunya, guru tidak mencoba berefleksi untuk mengetahui apa sumbangan yang telah dia berikan sehingga si murid mempunyai perilaku yang demikian. Yang sering terjadi, kesalahan ditimpakan kepada murid dan si murid diberi cap `produk gagal'. Sang murid tidak memiliki kemampuan untuk membentuk perilaku yang baik tanpa pernah dicari tahu penyebab sebenarnya yang menjadikan murid tersebut `gagal'.

Guru juga masih banyak yang memahami bahwa pendidikan karakter merupakan sesuatu yang terpisah dan berbeda dari kegiatan belajar-mengajar yang mereka lakukan sehari-hari. Masih banyak guru yang menganggap pembentukan karakter adalah tanggung jawab mata pelajaran-mata pelajaran tertentu seperti agama, pendidikan kewarganegaraan, dan ilmu pengetahuan sosial. Guru masih banyak yang bingung ketika diminta mencoba mengintegrasikan nilai toleransi dalam mata pelajaran matematika, atau nilai kerja sama dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan alam. Ketika pemahaman seperti ini masih ada, dapat dipastikan usaha membentuk karakter murid yang baik tidak akan berjalan dengan baik.

Di dalam kelas, guru hanya fokus pada materi pelajaran. Ketika ada murid yang memiliki perilaku tidak baik, hukuman-yang biasanya berupa hukuman fisik--ialah hal termudah yang bisa diambil untuk merespons perilaku sang murid. Seusai kelas, sang guru hanya bisa mengeluh mengenai perilaku muridnya, akan tetapi tidak bisa melihat apakah kegiatan belajar-mengajar yang dia lakukan di kelas sudah mampu mendorong sang murid untuk berperilaku seperti yang diharapkan.

Kompetensi

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru telah dinyatakan bahwa seorang guru wajib memiliki empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Untuk mengawal jalannya pendidikan karakter, kita harus memperhatikan bagaimana kompetensi kepribadian sosial yang dimiliki guru.

Kompetensi kepribadian berkaitan dengan bagaimana seorang guru mempunyai nilai-nilai karakter yang baik yang tecermin dalam perilaku sehari-hari, dan secara sadar selalu menjaganya karena tahu bahwa seorang guru ialah seorang teladan.

Kompetensi sosial berkaitan dengan bagaimana seorang guru mampu membangun hubungan yang baik dengan pihak lain di sekitarnya. Kompetensi kepribadian dan sosial saling terkait karena melalui pengamalan nilai karakter yang baik dalam dirilah seorang guru mampu membangun dan menjaga hubungan sosial yang baik pula.

Untuk meningkatkan kompetensi kepribadian dan sosial guru, setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, dengan melakukan refleksi diri. Guru yang ingin muridnya cinta lingkungan harus mampu menunjukkan bahwa dia juga cinta lingkungan, bahwa dia selalu membuang sampah di tempat yang semestinya, kapan pun dan di mana pun. Guru yang ingin menanamkan nilai tanggung jawab kepada murid harus menunjukkan bahwa dia melaksanakan tanggung jawab sebagai pembina kelompok kompos dengan melakukan pendampingan kepada muridmuridnya pada jadwal yang telah ditentukan. Menyadari diri bahwa guru adalah contoh bagi murid, maka guru wajib melakukan refleksi diri untuk melihat apakah dia sudah menjadi contoh yang baik bagi murid-muridnya, apakah dia sudah menghidupi nilai-nilai yang selama ini dia sampaikan dan ingin agar muridnya melaksanakan dalam kehidupan.

Kedua, untuk meningkatkan kompetensi sosial, guru perlu melatih diri untuk awas dalam melihat keadaan sekeliling, baik di lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat sekitar sekolah, maupun lingkungan keluarga murid. Guru melakukan observasi dan pemetaan masalah untuk kemudian mengidentifikasi nilai-nilai karakter apa saja yang perlu ditanamkan dan dibiasakan kepada murid sebagai respons terhadap masalahmasalah yang ada.

Interaksi dengan berbagai pihak harus lebih sering dilakukan. Menanyakan kabar murid di awal pertemuan di kelas harus selalu dilakukan. Bukan untuk basa-basi, melainkan untuk mengetahui apakah murid mempunyai masalah atau tidak. Awas dan peduli dengan kejadian-kejadian di seputar sekolah maupun lingkungan luar sekolah dan melihat apa dampaknya bagi murid. Misal, terjadi penghakiman massa kepada pencuri yang terjadi di dekat sekolah. Guru perlu mendiskusikan peristiwa tersebut dengan murid-muridnya dan mengambil pelajaran agar kemudian murid tidak mengambil kesimpulan sendirisendiri yang mungkin malah bertentangan dengan nilai-nilai karakter yang baik.

Guru yang memiliki kompetensi kepribadian dan sosial yang baik akan memberi dampak yang luas. Menurut Jennings dan Greenberg (2009), guru yang memiliki kompetensi kepribadian dan sosial yang baik akan mampu membentuk suasana kelas yang kondusif melalui kemampuannya dalam membangun hubungan dengan murid; mendukung dan mendorong perkembangan murid dalam belajar, merancang pembelajaran yang berdasar pada kekuatan dan kemampuan murid, membangun dan menerapkan pedoman perilaku yang mampu mendorong motivasi intrinsik murid untuk menghidupi nilai-nilai karakter yang baik, melatih murid untuk menghadapi konflik dengan cara nirkekerasan, mendorong kerja sama antarmurid, dan menjadi model dalam melakukan komunikasi yang penuh penghormatan juga bagaimana perilaku prososial dilakukan. Pada akhirnya, dampak dari kompetensi kepribadian dan sosial yang dimiliki guru tidak hanya membangun karakter murid, tetapi juga membangun karakter guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar