Sekali
Lagi, Pendidikan Karakter
Dody Wibowo ;
Pengajar Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik;
Peneliti Pusat Studi
Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Februari 2014
“BU, semua sampah di depan kelas-kelas sudah benar terpisah
sesuai tempatnya, sampah basah dan sampah kering, tetapi sampah di depan
ruang guru kok masih salah tempatnya ya, Bu?“ begitu pertanyaan
seorang murid kepada gurunya seusai melakukan tugas mengawasi penempatan
sampah di lingkungan sekolahnya. Sang guru hanya tersenyum dan mencari
jawaban untuk `melindungi' kesalahan rekan-rekan gurunya.
Di suatu pelatihan
pengolahan sampah yang pesertanya ialah guru dan murid, ketika sampai di
tahap praktik, hanya para murid yang aktif melakukan pembuatan kompos.
Guru-gurunya hanya menonton sambil sesekali memberi petunjuk kepada murid,
padahal ketika ditanya apakah para guru itu pernah melakukan kegiatan serupa,
ternyata mereka belum pernah melakukannya. Mereka menganggap bahwa hal-hal
yang berkaitan dengan praktik ialah kegiatan untuk murid saja.
Contoh-contoh cerita
tadi akhirnya bisa menjawab pertanyaan saya mengenai mengapa sampai saat ini
penerapan pendidikan karakter di sekolah-sekolah masih sering mengalami
hambatan. Ternyata guru-gurunya sendiri tidak memberikan contoh seperti apa
praktik pelaksanaan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Guru
berhenti pada sebatas menyampaikan melalui pesan dan nasihat.
Menjadi contoh
Guru dalam bahasa Jawa
diartikan sebagai digugu lan ditiru
(diperhatikan dan dicontoh). Dalam pendidikan untuk membentuk karakter murid,
guru tidak hanya punya kewajiban untuk mampu menyampaikan materi atau pesan
mengenai perilaku kepada murid. Guru juga wajib menghidupi pesan yang dia
sampaikan dalam perilaku sehari-hari. Bagaimana guru berinteraksi dengan
murid di kelas dan luar kelas, bagaimana berinteraksi dengan sesama kolega
guru maupun unsur manajemen sekolah yang lain, bahkan bagaimana perilaku guru
di lingkungan luar sekolah.
Seorang guru menjadi model di sekolah dan juga
dalam kehidupan di luar sekolah.
Namun, kemudian guru
sekarang ini sepertinya tidak terlalu sempat memikirkan hal-hal seperti itu, abai
dengan kenyataan bahwa dia ini adalah model bagi muridmuridnya, dan lebih
jauh lagi para guru belum memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi diri
apakah dirinya telah menjadi contoh yang baik untuk muridnya. Guru masih
sibuk mengejar target capaian akademik yang dituntut untuk dipenuhi, guru
masih mengedepankan prestasi-prestasi akademik sebagai komponen utama yang
harus ditonjolkan sehingga bagaimana muridnya berperilaku tidak mendapat
perhatian yang serius.
Jika ada murid yang
punya permasalahan dengan perilakunya, guru tidak mencoba berefleksi untuk
mengetahui apa sumbangan yang telah dia berikan sehingga si murid mempunyai
perilaku yang demikian. Yang sering terjadi, kesalahan ditimpakan kepada
murid dan si murid diberi cap `produk gagal'. Sang murid tidak memiliki
kemampuan untuk membentuk perilaku yang baik tanpa pernah dicari tahu
penyebab sebenarnya yang menjadikan murid tersebut `gagal'.
Guru juga masih banyak
yang memahami bahwa pendidikan karakter merupakan sesuatu yang terpisah dan
berbeda dari kegiatan belajar-mengajar yang mereka lakukan sehari-hari. Masih
banyak guru yang menganggap pembentukan karakter adalah tanggung jawab mata
pelajaran-mata pelajaran tertentu seperti agama, pendidikan kewarganegaraan,
dan ilmu pengetahuan sosial. Guru masih banyak yang bingung ketika diminta
mencoba mengintegrasikan nilai toleransi dalam mata pelajaran matematika,
atau nilai kerja sama dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan alam. Ketika
pemahaman seperti ini masih ada, dapat dipastikan usaha membentuk karakter
murid yang baik tidak akan berjalan dengan baik.
Di dalam kelas, guru
hanya fokus pada materi pelajaran. Ketika ada murid yang memiliki perilaku
tidak baik, hukuman-yang biasanya berupa hukuman fisik--ialah hal termudah
yang bisa diambil untuk merespons perilaku sang murid. Seusai kelas, sang
guru hanya bisa mengeluh mengenai perilaku muridnya, akan tetapi tidak bisa
melihat apakah kegiatan belajar-mengajar yang dia lakukan di kelas sudah
mampu mendorong sang murid untuk berperilaku seperti yang diharapkan.
Kompetensi
Dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru telah
dinyatakan bahwa seorang guru wajib memiliki empat kompetensi utama, yaitu
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional. Untuk mengawal jalannya pendidikan karakter, kita harus
memperhatikan bagaimana kompetensi kepribadian sosial yang dimiliki guru.
Kompetensi kepribadian
berkaitan dengan bagaimana seorang guru mempunyai nilai-nilai karakter yang
baik yang tecermin dalam perilaku sehari-hari, dan secara sadar selalu
menjaganya karena tahu bahwa seorang guru ialah seorang teladan.
Kompetensi sosial
berkaitan dengan bagaimana seorang guru mampu membangun hubungan yang baik
dengan pihak lain di sekitarnya. Kompetensi kepribadian dan sosial saling
terkait karena melalui pengamalan nilai karakter yang baik dalam dirilah
seorang guru mampu membangun dan menjaga hubungan sosial yang baik pula.
Untuk meningkatkan
kompetensi kepribadian dan sosial guru, setidaknya ada dua hal yang bisa
dilakukan. Pertama, dengan melakukan refleksi diri. Guru yang ingin muridnya
cinta lingkungan harus mampu menunjukkan bahwa dia juga cinta lingkungan,
bahwa dia selalu membuang sampah di tempat yang semestinya, kapan pun dan di mana
pun. Guru yang ingin menanamkan nilai tanggung jawab kepada murid harus
menunjukkan bahwa dia melaksanakan tanggung jawab sebagai pembina kelompok
kompos dengan melakukan pendampingan kepada muridmuridnya pada jadwal yang
telah ditentukan. Menyadari diri bahwa guru adalah contoh bagi murid, maka
guru wajib melakukan refleksi diri untuk melihat apakah dia sudah menjadi
contoh yang baik bagi murid-muridnya, apakah dia sudah menghidupi nilai-nilai
yang selama ini dia sampaikan dan ingin agar muridnya melaksanakan dalam
kehidupan.
Kedua, untuk
meningkatkan kompetensi sosial, guru perlu melatih diri untuk awas dalam
melihat keadaan sekeliling, baik di lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat
sekitar sekolah, maupun lingkungan keluarga murid. Guru melakukan observasi
dan pemetaan masalah untuk kemudian mengidentifikasi nilai-nilai karakter apa
saja yang perlu ditanamkan dan dibiasakan kepada murid sebagai respons
terhadap masalahmasalah yang ada.
Interaksi dengan
berbagai pihak harus lebih sering dilakukan. Menanyakan kabar murid di awal pertemuan
di kelas harus selalu dilakukan. Bukan untuk basa-basi, melainkan untuk
mengetahui apakah murid mempunyai masalah atau tidak. Awas dan peduli dengan
kejadian-kejadian di seputar sekolah maupun lingkungan luar sekolah dan
melihat apa dampaknya bagi murid. Misal, terjadi penghakiman massa kepada
pencuri yang terjadi di dekat sekolah. Guru perlu mendiskusikan peristiwa
tersebut dengan murid-muridnya dan mengambil pelajaran agar kemudian murid
tidak mengambil kesimpulan sendirisendiri yang mungkin malah bertentangan
dengan nilai-nilai karakter yang baik.
Guru yang memiliki
kompetensi kepribadian dan sosial yang baik akan memberi dampak yang luas.
Menurut Jennings dan Greenberg (2009), guru yang memiliki kompetensi
kepribadian dan sosial yang baik akan mampu membentuk suasana kelas yang
kondusif melalui kemampuannya dalam membangun hubungan dengan murid;
mendukung dan mendorong perkembangan murid dalam belajar, merancang
pembelajaran yang berdasar pada kekuatan dan kemampuan murid, membangun dan
menerapkan pedoman perilaku yang mampu mendorong motivasi intrinsik murid
untuk menghidupi nilai-nilai karakter yang baik, melatih murid untuk
menghadapi konflik dengan cara nirkekerasan, mendorong kerja sama antarmurid,
dan menjadi model dalam melakukan komunikasi yang penuh penghormatan juga
bagaimana perilaku prososial dilakukan. Pada akhirnya, dampak dari kompetensi
kepribadian dan sosial yang dimiliki guru tidak hanya membangun karakter
murid, tetapi juga membangun karakter guru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar