Akal-akalan
Dana Saksi Parpol
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum
dan
Pengamat Pemilu Universitas 45, Makassar
|
KORAN
SINDO, 04 Februari 2014
Ada yang menyebut demokrasi prosedural adalah seni bagaimana
merebut kekuasaan. Sedangkan demokrasi substansial merupakan seni memakai
kekuasaan untuk kepentingan umum.
Keduanya bisa sejalan asalkan dilakukan sesuai tujuannya, bukan membengkokkan etika dan aturan hukum yang menyertainya. Demokrasi substansial tidak akan mungkin terpenuhi jika dari hulunya demokrasi prosedural sekadar dijalankan, apalagi jika diakal-akali. Tetapi, fenomena yang mencuat di ruang publik belakangan ini adalah gagasan memberikan bantuan bagi partai politik (parpol) untuk membiayai honor saksi yang bertugas di tempat pemungutan suara (TPS). Kehadiran saksi tentu penting untuk mencegah manipulasi dan kecurangan, baik saat penjeblosan, penghitungan suara, maupun saat penetapan suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Alasan pemberian dana bagi saksi parpol untuk mencegah pelanggaran di TPS adalah sesuatu yang keliru. Dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, kecil peluang terjadi pelanggaran karena banyak warga masyarakat yang ikut menyaksikan. Justru sebelum dan sesudah pemungutan biasanya terjadi pelanggaran seperti saat suara berpindah dari TPS ke kecamatan dan kabupaten. Di situlah fungsinya pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mengawasi perpindahan surat suara. Jangan sampai pemberian dana saksi menjadi skandal hukum yang justru akan menjadi noda bagi Pemilu 2014. Pemerintah dan DPR seharusnya berpikir jernih atas penggunaan anggaran sebab kebijakan yang tibatiba muncul hanya untuk meloloskan keinginan partai tertentu yang kesulitan membayar honor saksi sudah pasti memberatkan anggaran negara. Jangan Jadi Benalu Memang Hanura, PDIP, dan Partai NasDem terang-terangan menolak pemberian dana saksi, tetapi parpol lain terkesan tutup mata. Dana saksi yang lagi-lagi dikeruk dari cadangan uang negara tentu saja tidak elegan. Sangat tidak bermartabat jika ada parpol yang tidak merasa bersalah menerima dan menggunakan anggaran saksi untuk kepentingan sendiri. Di era demokrasi yang begitu terbuka, sesungguhnya parpol berposisi sebagai salah satu pilar yang menopang berdirinya suatu negara. Maka itu, setiap parpol, apalagi telah lolos menjadi peserta pemilu, seharusnya memiliki manajemen modern, kuat dari aspek ideologi dan gagasan, sumber daya manusianya memadai, serta kuat pula dari aspek finansial. Kalau ada parpol yang tidak memiliki kapasitas sebagai peserta pemilu, apalagi selalu menetek pada negara soal pembiayaan, pada gilirannya negara akan keropos juga. Parpol seharusnya tidak menjadi ”benalu” bagi negara. Keinginan menerima uang negara untuk membiayai kepentingan politik bukan sekadar mendompleng atau benalu semata. Lebih dari itu, melukai hati rakyat yang saat ini dilanda bencana banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan gempa bumi di berbagai daerah. Akan lebih bijaksana sekiranya dana sebesar Rp700 miliar itu digunakan untuk meringankan beban para pengungsi dan membiayai perbaikan rumah mereka. Alasan bahwa pengawasan saksi parpol untuk menciptakan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, atau menjaga suara agar tidak dicuri atau digelembungkan, tetapi dibiayai negara, tentu saja tidak elegan. Jika begitu enteng mau menerima dana saksi dengan alasan yang tidak rasional dan tidak bijaksana, parpol tersebut layak dikoreksi di balik TPS. Apalagi kebijakan pemberian dana saksi tidak jelas dasar hukumnya. Kalaupun berlindung pada ketentuan UU Nomor 8/2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bahwa saksi di setiap TPS maksimal lima orang, tidak berarti honor saksi parpol menjadi tanggung jawab negara. Akal-akalan muncul lantaran melihat Bawaslu yang menyiapkan dua pengawas yang dibiayai negara sehingga muncul anggapan bahwa parpol juga boleh dibiayai saksinya. Karena ada 12 parpol peserta pemilu, setiap parpol mendapat dana saksi sebesar Rp58 miliar lebih dari anggaran yang disiapkan sebesar Rp700 miliar. Jika pemerintah mengucurkan dana itu, KPK, PPATK, dan BPK harus mengawasi ketat, tetapi akan lebih terhormat jika pemerintah membatalkannya. Lebih terhormat lagi jika semua parpol sepakat menolaknya. Kalau memang merasa dirinya mampu mengikuti pemilu, seharusnya sudah dipersiapkan semuanya. Termasuk menyiapkan saksi dari kader sendiri yang tidak harus dibiayai karena untuk kepentingan partainya sendiri. Jangan sampai setelah pemungutan suara banyak kader parpol atau calon anggota legislatif yang meringkuk di penjara hanya karena uang saksi. Saling Tuding Sesuai pemberitaan, munculnya anggaran dana saksi berawal dari keinginan Bawaslu yang membentuk Mitra Pengawas Pemilu Lapangan sebesar Rp800 miliar. Anggaran tersebut untuk membayar honor dua saksi dari Bawaslu di setiap tempat pemungutan suara yang kemudian berkembang pula usulan agar pemerintah mengalokasi anggaran Rp700 miliar untuk saksi parpol (KORAN SINDO, 27/1/2014). Dalam rapat antara Komisi I DPR, Komisi Pemilihan Umum, dan Bawaslu menyepakati pengadaan dana saksi parpol. Tetapi, pemerintah lewat menteri dalam negeri dalam wawancara di salah satu televisi swasta (28/1/2014) menyatakan bahwa pemerintah belum menyetujui penganggaran bagi saksi parpol. Tetapi, Ketua Bawaslu Muhammad membantah anggaran honorarium saksi parpol merupakan inisiatif pemerintah karena pihaknya tidak pernah mengajukan usul tersebut. Ide itu muncul dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Malah pemerintah mengusulkan Bawaslu selaku lembaga nonpemerintah mengelola dana itu. Sebaliknya, pemerintah melalui Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, usulan honorarium saksi parpol yang dibiayai pemerintah muncul dari Bawaslu. Rupanya saling tuding mulai menyeruak setelah heboh dipersoalkan di ruang publik. Inilah kebiasaan buruk pejabat di negeri ini, setelah kebijakannya dipersoalkan berupaya melepaskan diri dari persoalan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar