Teror
Banjir dan Caleg Pro Lingkungan
Eri Rura ; Bekerja
di Kementerian Lingkungan Hidup
|
SINAR
HARAPAN, 07 Februari 2014
Indonesia darurat
bencana, demikian judul headline salah satu stasiun televisi swasta.
Kata-kata itu memang layak disematkan untuk Ibu Pertiwi tahun ini. Hujan
deras yang menguyur Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia menelan
korban jiwa dan harta yang tidak sedikit.
Badan Penanggulangan
Bencana Nasional (BPBN) mendata, selama Januari 2014, sementara telah terjadi
182 bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan angin putting
beliung.
Dampaknya, 137 orang
tewas dan 1,1 juta jiwa mengungsi dan menderita, 1.234 rumah rusak berat, 273
rumah rusak sedang, 2.586 rumah rusak ringan, serta kerusakan infrastruktur,
lahan pertanian, dan lainnya (Antara).
Di Jakarta, meski sedang dihitung angka pasti
dari dampak banjir awal tahun ini, satu hal yang pasti tentang tragedi banjir
yang melumpuhkan Ibu Kota Jakarta beberapa waktu lalu, ini menjadi mimpi
buruk bagi penduduk Ibu Kota. Hujan deras yang mengguyur Jakarta beberapa jam
itu sudah cukup membuat aktivitas kota ini lumpuh total.
Terlepas dari itu semua, jelas banjir setiap
tahun tetap menjadi momok bagi penduduk Ibu Kota. Banjir menyebabkan orang
hidup dalam bayang ketakutan, cemas, tidak nyaman karena takut kehilangan
harta benda, bahkan nyawa terancam. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau
banjir yang menghantui penduduk Ibu Kota menjadi bentuk teror lingkungan.
Paradoks Ibu Kota Negara
Banjir yang melanda Ibu Kota memang bukan
berita baru. Setiap tahun saat musim hujan, Jakarta selalu digenangi banjir.
Bila menelisik atau melihat rekam jejak banjir di Jakarta, banjir besar
pernah terjadi pada 12 Februari 1970, sekitar 43 tahun lalu.
Kala itu, hujan deras yang mengguyur Jakarta
membuat aktivitas Ibu Kota macet total. Banjir besar juga terjadi pada 1996,
2002, 2006, dan dua tahun terakhir (2013 dan 2014).
Pertanyaannya, mengapa banjir besar selalu
datang tiap tahun di Jakarta yang notabene ibu kota Negara Republik
Indonesia?
Padahal, kita tahu, bila menyandang nama
besar, misalnya saja Jakarta sebagai ibu kota Negara, wajah Indonesia ada di
mata dunia, Jakarta memiliki banyak predikat, seperti pusat pemerintahan,
bisnis, pendidikan, kota jasa, kota dengan pergelaran berbagai even
internasional, dan berbagai predikat lainnya sehingga layak menyadangannya
sebagai kota megapolitan.
Ironisnya, berbagai atribut yang melekat itu
kurang bermakna saat Jakarta berhadapan dengan banjir dan kemacetan.
Di samping wajah anggun, memesona, dan
terbilang wah itu, ternyata sekujur tubuh Jakarta menyimpan masalah yang tak
kunjung selesai. Bisa jadi, berbagai label nama besarnya itu yang justru
membuat kota ini terkesan semrawut sehingga timbul masalah lingkungan,
seperti banjir, macet, dan krisis air bersih.
Cerdas Memilih
Lantas apa pesan ekologis yang mau disampaikan
dari banjir bagi warga Jakarta tahun ini? Tanggal 9 April nanti, kita akan
memilih wakil rakyat, baik DPR dan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Kita akan menentukan 19.697 anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/ kota, 560
anggota DPR, dan 132 anggota DPD. Adapun caleg DPRD DKI Jakarta 1267
orang.
Banjir, macet, serta berbagai persoalan lain
yang melilit Jakarta selama ini hendaknya menjadi momentum awal bagi penduduk
Jakarta untuk memilih wakilnya yang benar-benar peduli dengan berbagai
persoalan lingkungan yang dihadapi selama ini, di antaranya, masalah banjir
dan macet.
Masyarakat DKI harus lebih cerdas memilih dan
memilah figur yang memiliki komitmen serius menuntaskan persoalan lingkungan.
Masyarakat seharusnya tidak tergiur dan terjebak dengan penampilan,
pencitraaan figur lewat reklame, baliho, atau media cetak dan elektornik
dengan janji politik.
Tidak hanya itu, ini sangat penting, apa isu
yang akan diusungnya. Apakah mereka mengusung isu lingkungan? Sejauh mana
para caleg itu mengusung isu lingkungan, seperti banjir, macet, krisis air
bersih, tata ruang, dan berbagai persoalan lingkungan lainnya di Jakarta
sebagai dalam kampanye politiknya?
Mana dari mereka yang benar-benar pejuang
lingkungan dan mana yang hanya bunglon lingkungan, cerdik memanfaatkan isu
banjir dan macet hanya untuk mendulang suara yang banyak?
Bukan tidak mungkin, menjelang pemilihan
legislatif (pileg) nanti, dua isu seksi lingkungan Jakarta saat ini, yakni
banjir dan macet, akan dimanfaatkan para bunglon lingkungan. Di sinilah
masyarakat Jakarta harus lebih jeli melihat dan mengenal caleg agar tidak
lagi terjebak memilih kucing dalam karung.
Kontrak Politik Lingkungan
Janji politis saja tidak cukup kalau tidak
dibuat semacam kontrak politik dengan masyarakat di daerah pemilihan (dapil )
masing-masing.
Caleg harus mendatangi konstituen untuk
membicarakan bersama-sama mengenai persoalan lingkungan yang dihadapi
konstituen. Lalu, apa solusi yang ditawarkan? Ini yang akan diperjuangkan
bila terpilih nanti. Kesepakatan bersama ini harus dibuat kontrak politik
sebagai suatu jaminan bagi masyarakat sehingga bisa menagihnya bila caleg itu
terpilih.
Tentu saja, kontrak politik itu dilengkapi
sanksi politis bila caleg itu mangkir. Kontrak politik dapat diinisiasi tokoh
masyarakat atau NGO, yakni LSM lingkungan, seperti Walhi.
Saatnya para LSM, aktivis lingkungan, dan
dunia perguruan tinggi bergerak menjadi agen perubahan lingkungan dengan cara
mengarahkan konstistuen memilih wakilnya yang pro lingkungan, yang dapat
membebaskan Jakarta bebas dari banjir dan macet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar