Sabtu, 08 Februari 2014

Teror Banjir dan Caleg Pro Lingkungan

Teror Banjir dan Caleg Pro Lingkungan

Eri Rura   ;   Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup
SINAR HARAPAN,  07 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Indonesia darurat bencana, demikian judul headline salah satu stasiun televisi swasta. Kata-kata itu memang layak disematkan untuk Ibu Pertiwi tahun ini. Hujan deras yang menguyur Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia menelan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit.

Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN) mendata, selama Januari 2014, sementara telah terjadi 182 bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan angin putting beliung.

Dampaknya, 137 orang tewas dan 1,1 juta jiwa mengungsi dan menderita, 1.234 rumah rusak berat, 273 rumah rusak sedang, 2.586 rumah rusak ringan, serta kerusakan infrastruktur, lahan pertanian, dan lainnya (Antara).
Di Jakarta, meski sedang dihitung angka pasti dari dampak banjir awal tahun ini, satu hal yang pasti tentang tragedi banjir yang melumpuhkan Ibu Kota Jakarta beberapa waktu lalu, ini menjadi mimpi buruk bagi penduduk Ibu Kota. Hujan deras yang mengguyur Jakarta beberapa jam itu sudah cukup membuat aktivitas kota ini lumpuh total.
Terlepas dari itu semua, jelas banjir setiap tahun tetap menjadi momok bagi penduduk Ibu Kota. Banjir menyebabkan orang hidup dalam bayang ketakutan, cemas, tidak nyaman karena takut kehilangan harta benda, bahkan nyawa terancam. Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau banjir yang menghantui penduduk Ibu Kota menjadi bentuk teror lingkungan.
Paradoks Ibu Kota Negara
Banjir yang melanda Ibu Kota memang bukan berita baru. Setiap tahun saat musim hujan, Jakarta selalu digenangi banjir. Bila menelisik atau melihat rekam jejak banjir di Jakarta, banjir besar pernah terjadi pada 12 Februari 1970, sekitar 43 tahun lalu.
Kala itu, hujan deras yang mengguyur Jakarta membuat aktivitas Ibu Kota macet total. Banjir besar juga terjadi pada 1996, 2002, 2006, dan dua tahun terakhir (2013 dan 2014).
Pertanyaannya, mengapa banjir besar selalu datang tiap tahun di Jakarta yang notabene ibu kota Negara Republik Indonesia?
Padahal, kita tahu, bila menyandang nama besar, misalnya saja Jakarta sebagai ibu kota Negara, wajah Indonesia ada di mata dunia, Jakarta memiliki banyak predikat, seperti pusat pemerintahan, bisnis, pendidikan, kota jasa, kota dengan pergelaran berbagai even internasional, dan berbagai predikat lainnya sehingga layak menyadangannya sebagai kota megapolitan.
Ironisnya, berbagai atribut yang melekat itu kurang bermakna saat Jakarta berhadapan dengan banjir dan kemacetan.
Di samping wajah anggun, memesona, dan terbilang wah itu, ternyata sekujur tubuh Jakarta menyimpan masalah yang tak kunjung selesai. Bisa jadi, berbagai label nama besarnya itu yang justru membuat kota ini terkesan semrawut sehingga timbul masalah lingkungan, seperti banjir, macet, dan krisis air bersih.
Cerdas Memilih
Lantas apa pesan ekologis yang mau disampaikan dari banjir bagi warga Jakarta tahun ini? Tanggal 9 April nanti, kita akan memilih wakil rakyat, baik DPR dan DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kita akan menentukan 19.697 anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/ kota, 560 anggota DPR, dan 132 anggota DPD. Adapun caleg DPRD DKI Jakarta 1267 orang.
Banjir, macet, serta berbagai persoalan lain yang melilit Jakarta selama ini hendaknya menjadi momentum awal bagi penduduk Jakarta untuk memilih wakilnya yang benar-benar peduli dengan berbagai persoalan lingkungan yang dihadapi selama ini, di antaranya, masalah banjir dan macet.
Masyarakat DKI harus lebih cerdas memilih dan memilah figur yang memiliki komitmen serius menuntaskan persoalan lingkungan. Masyarakat seharusnya tidak tergiur dan terjebak dengan penampilan, pencitraaan figur lewat reklame, baliho, atau media cetak dan elektornik dengan janji politik.
Tidak hanya itu, ini sangat penting, apa isu yang akan diusungnya. Apakah mereka mengusung isu lingkungan? Sejauh mana para caleg itu mengusung isu lingkungan, seperti banjir, macet, krisis air bersih, tata ruang, dan berbagai persoalan lingkungan lainnya di Jakarta sebagai dalam kampanye politiknya?
Mana dari mereka yang benar-benar pejuang lingkungan dan mana yang hanya bunglon lingkungan, cerdik memanfaatkan isu banjir dan macet hanya untuk mendulang suara yang banyak?
Bukan tidak mungkin, menjelang pemilihan legislatif (pileg) nanti, dua isu seksi lingkungan Jakarta saat ini, yakni banjir dan macet, akan dimanfaatkan para bunglon lingkungan. Di sinilah masyarakat Jakarta harus lebih jeli melihat dan mengenal caleg agar tidak lagi terjebak memilih kucing dalam karung.
Kontrak Politik Lingkungan
Janji politis saja tidak cukup kalau tidak dibuat semacam kontrak politik dengan masyarakat di daerah pemilihan (dapil ) masing-masing.
Caleg harus mendatangi konstituen untuk membicarakan bersama-sama mengenai persoalan lingkungan yang dihadapi konstituen. Lalu, apa solusi yang ditawarkan? Ini yang akan diperjuangkan bila terpilih nanti. Kesepakatan bersama ini harus dibuat kontrak politik sebagai suatu jaminan bagi masyarakat sehingga bisa menagihnya bila caleg itu terpilih.
Tentu saja, kontrak politik itu dilengkapi sanksi politis bila caleg itu mangkir. Kontrak politik dapat diinisiasi tokoh masyarakat atau NGO, yakni LSM lingkungan, seperti Walhi.
Saatnya para LSM, aktivis lingkungan, dan dunia perguruan tinggi bergerak menjadi agen perubahan lingkungan dengan cara mengarahkan konstistuen memilih wakilnya yang pro lingkungan, yang dapat membebaskan Jakarta bebas dari banjir dan macet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar