Binatangisme
dan Politik Kita
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional,
Jakarta
|
TEMPO.CO,
07 Februari 2014
Man is by
nature a social animal; an individual who is unsocial naturally and not
accidentally is either beneath our notice or more than human. (Aristotle, Politics)
Ketika foto seekor singa mati tergantung di kandangnya di Kebun Binatang Surabaya beredar di media massa baru-baru ini, saya teringat akan novel George Orwell, Animal Farm. Tetapi, lebih dari itu, lebih teringat judul terjemahannya oleh Mahbub Djunaidi, Binatangisme (1983). Judul yang terakhir itu tampak lebih provokatif ketimbang aslinya, walaupun pesan utama Orwell tak jauh pula dari upayanya mengingatkan kita semua akan ekspresi-ekspresi politik kebinatangan dan bahaya totalitarianisme. Tapi tentu semua itu merupakan sindiran belaka bagi politik manusia yang sering kali lebih kejam. Mahbub Djunaidi banyak mengajak kita membandingkan politik dengan binatang. Tulisannya yang berjudul "Dinamisasi via Binatang" (Tempo, 26 Maret 1972), barangkali merupakan kolomnya yang pertama kali menyinggung peran binatang dalam modernisasi, isu yang populer ketika itu. Namun kolomnya, "Ibarat Hewan Apakah Kita Ini?" (Tempo, 9 Juni 1973), tampak lebih menukik. Dalam tulisan ini, ia mencatat perumpamaan W. Trotter (1916), bahwa orang Jerman itu bak serigala, sedangkan orang Inggris melantik singa sebagai simbol nasionalnya. Tapi, G.J. Renier (1931) mencatat orang Inggris lebih garang di negeri jajahan, bukan kampung halaman. Soal simbol binatang ini, kata Mahbub lagi, Cina dimisalkan naga, dan bagaimana pula dengan bangsa kita? Seumpama hewan apakah dia? Dia menulis, dari sudut beranak-pinak, Indonesia lazim diumpamakan marmut, walau sebenarnya babi lebih gawat dalam hal angka kelahiran. Dari sudut kepatuhannya yang serampangan, lebih tepat bebek, walau tidak selamanya perlambang buruk. Kalimat "bebek pulang sore ke kandang sendiri", isyarat masyarakat makmur adanya. Lagi pula, kata Mahbub, UUD tak menyinggung nama hewan. Tidak garuda, tidak pula banteng. Garuda, kata Yamin (almarhum), "sebenarnya lambang pembangun dan pemelihara". Katanya pula, kitab Morawangsa dari kerajaan Kedah dan kerajaan Merina di Madagaskar memandang hewan ini sebagai lambang pemelihara. Kalau banteng, secara resmi bukan perlambang bangsa, seperti singa Inggris atau naga Cina, melainkan lambang demokrasi "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Kalimat-kalimat Mahbub itu segera kita tangkap bahwa tidaklah politik itu lepas sama sekali dari simbol-simbolnya. Binatang pun tak selalu berkonotasi negatif sebagai simbol politik. Soal perilaku binatang yang perlu dipelajari tersendiri, Mahbub sebagai kolumnis berlatar belakang politikus, menulis saran menarik dalam artikelnya, "Buku Petunjuk Pendidikan Politik Sejak Dini" (Kompas, 18 Maret 1981). Dalam artikelnya tersebut, pendekar kolom yang telah wafat pada 1995 itu menulis begini: Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V sekolah dasar, paling lambat di kelas VI, ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu menginjak pintu gerbang, segera bisikkan di kupingnya, "Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, kan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia." Ya, Mahbub mengajak kita ke rumusan klasik filsuf Yunani, Aristoteles, bahwa manusia itu sejatinya "binatang sosial". Kalau tidak ada rem atau batasan-batasan aturan main yang ketat, yang tidak sekadar etika, bisa jadi naluri kebinatangan sosial inilah yang merambah ke ranah politik kita. Apalagi sistem kepolitikan yang ada demikian longgar bagi praktek-praktek pragmatisme-transaksional yang menjangkau lapisan-lapisan masyarakat secara luas. Masih dalam kolom Buku Petunjuk, mungkin petuah Mahbub agar kita barang setengah jam berdiri di depan kandang monyet-barangkali bisa menjadi inspirasi untuk memilih pemimpin. Kata dia, "Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar. Tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan." Dalam pemilu atau pilpres, tentu kita tidak sedang memilih monyet. Tapi tidak ada salahnya kalau ranah karakter kepolitikan binatang sedemikian, jadi bahan pertimbangan. Calon pemimpin yang akan kita pilih, pun belum tentu yang "paling perkasa dan paling mampu membanting lainnya". Mungkin yang paling cerdas, kendatipun definisi cerdas itu luas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar