Tatanan
Penerimaan Murid Baru di SMP/MTs
Darmaningtyas
; Aktivis Pendidikan
dari Taman Siswa, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 22 Februari 2014
“Tugas sekolah adalah
mengajar dan mendidik anak untuk menyiapkan diri menghadapi kehidupan riil.”
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuat
sebuah aturan baru, masuk ke sekolah menengah pertama (SMP) dan dan madrasah
tsanawiyah (MTs) kelak tidak lagi memakai tes atau nilai ujian nasional (UN),
tapi cukup nilai rapor dan ujian sekolah (US).
Ini karena mulai 2014 tidak ada lagi ujian nasional (UN) untuk
sekolah dasar (SD), yang ada US. Ini terkait perubahan kurikulum dari
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menjadi Kurikulum 2013. Perubahan
kurikulum yang ditandai perubahan pembelajaran itu disertai pula perubahan
penilaian. Jadi, UN untuk SD dirasa tidak relevan lagi, kecuali tidak ada UN.
Pada kurikulum ini, di SD juga tidak dikenal lagi konsep tinggal kelas atau tidak
naik kelas.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh,
meskipun masuk SMP dan MTs tanpa tes, tidak berarti siswa SD masuk SMP tanpa
seleksi. Seleksinya adalah rekam jejak prestasi siswa saat SD, yakni rapor
dan hasil US. Konsep ini disebut integrasi vertikal, yaitu rekam jejak
prestasi murid SD sebagai sarana masuk ke jenjang pendidikan di SMP.
Ini sejalan dengan konsep wajib belajar sembilan tahun. Jika
SD-SMP/MTs merupakan sepaket pendidikan dasar dan setiap anak berusia 7-15
tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, konsekuensinya tidak ada hambatan
bagi anak-anak lulusan SD untuk melanjutkan ke SMP. Sekarang ini, masih ada
nilai evaluasi murid (NEM) sehingga tidak semua lulusan SD dapat melanjutkan
ke SMP/MTs.
Setiap kebijakan pasti menimbulkan pro dan kontra karena selalu
ada sisi positif dan negatif atau plus dan minusnya. Oleh karena itu, wajar
bila kedua kebijakan tersebut juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Namun dalam konteks ini, penulis termasuk orang yang mendukung
aturan tersebut. Hal itu karena aturannya sejalan gagasan yang
sudah lebih dari dua dekade penulis coba perjuangkan untuk diimplementasikan.
Ada beberapa sisi positif dari aturan tersebut.
Pertama, konsep pendidikan dasar sembilan tahun akan terimplementasi
secara penuh karena tidak ada hambatan bagi lulusan SD untuk melanjutkan ke
SMP/MTs. Selama ini, anak-anak yang tidak cerdas selalu terhambat masuk ke
SMP/MTs terdekat karena nilai UN mereka tidak memenuhi syarat.
Pilihan berikutnya adalah mereka terpaksa harus di SMP/MTs
swasta pinggiran yang jauh dari rumahnya. Untuk mencapainya, memerlukan
ongkos transportasi. Padahal, orang tua tidak mampu. Akhirnya, mereka memilih
tidak bersekolah atau bersekolah di SMP/MTs terbuka yang kualitasnya tidak terjamin.
Peraturan baru yang mengombinasikan seleksi penerimaan murid di
SMP/MTs berdasarkan rekam jejak murid (nilai rapor dan US) serta zonasi ini
akan menolong lulusan SD yang kurang mampu dan kurang cerdas untuk dapat
mengakses pendidikan di SMP/MTs terdekat.
Bisa saja, seorang lulusan SD itu rekam jejaknya tidak memenuhi
syarat untuk diterima di SMP/MTs, tapi berdasarkan zonasi (berada di sekitar
zona SMP/MTs) dapat diterima. Sistem penerimaan murid baru berdasarkan zonasi
ini sudah lama diterapkan di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara maju
lainnya untuk menjamin terselenggaranya pendidikan dasar bagi semua warga.
Sistem tersebut juga telah diterapkan di DKI Jakarta mulai tahun
ajaran 2013/2014, dengan komposisi 45 persen berbanding 65 persen. Artinya,
45 persen murid baru diterima dengan memperhatikan asal murid dari sekitar
lingkungan SMP, sedangkan 65 persen diterima berdasarkan nilai UN di SD.
Diakui oleh Kepala Dinas sebelumnya, Taufik Yudianto, kebijakan
tersebut ada atas dorongan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
berdasarkan masukan penulis. Ternyata, kebijakan tersebut disambut gembira
oleh masyarakat.
Jika pada tingkat lokal, seperti Jakarta, kebijakan tersebut
dapat terimplementasikan secara baik, tanpa gejolak, kebijakan yang sama
dapat diterapkan secara nasional tanpa gejolak pula. Masyarakat di
daerah-daerah yang jauh dari gedung SMP/MTs tentu akan senang dengan
kebijakan tersebut karena mereka memiliki optimisme diterima di SMP/MTs
terdekat.
Kedua, konsep baru yang mengombinasikan seleksi rapor dan nilai
US serta zonasi dapat menghilangkan dikotomi antara SMP/MTs favorit dan tidak
favorit. Munculnya dikotomi sekolah favorit versus nonfavorit bersumber
menumpuknya orang-orang pintar di suatu sekolah sehingga meskipun diajar guru
yang tidak berkualitas, mereka tetap pintar karena pada dasarnya memang sudah
pintar.
Terjadinya penumpukan orang-orang pintar di suatu sekolah
tersebut akibat seleksi penerimaan murid baru di SMP/MTs berdasarkan nilai
UN. Namun dengan memperhatikan zonasi tersebut, orang yang tidak pintar pun
berprobabilitas diterima di SMP/MTs yang dikenal favorit, lantaran tempat
tinggal mereka dekat sekolah tersebut.
Implikasi dari tidak adanya SMP/MTs favorit adalah terciptanya
keadilan antarguru karena setiap guru akan berjuang sama keras demi
menghasilkan kualitas pendidikan yang tinggi. Selama ini, guru yang mengajar
di sekolah-sekolah favorit tidak perlu kerja keras karena murid-muridnya
cepat menerima bila diterangkan. Jadi, yang pandai sesungguhnya bukan guru,
tapi muridnya.
Sebaliknya, bagi guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta
pinggiran, mereka harus bekerja keras membuat muridnya paham. Itu karena
diajari berulang kali pun belum tentu mengerti, sementara imbalan yang mereka
terima kecil. Ini jelas bentuk ketidakadilan antarguru yang disebabkan
dikotomi sekolah favorit versus sekolah tidak favorit.
Di kota besar seperti Jakarta, hilangnya dikotomi sekolah
favorit versus sekolah tidak favorit tersebut dapat berkontribusi mengurangi
tingkat kemacetan lalu lintas. Itu karena masyarakat tidak perlu
menyekolahkan anaknya jauh dari tempat tinggalnya untuk mendapatkan sekolah
yang baik.
Mereka dapat menyekolahkan anaknya di SMP/MTs terdekat dengan
rumahnya yang dapat dijangkau dengan jalan kaki atau sepeda. Dengan kata
lain, tatanan penerimaan murid baru di SMP/MTs tanpa tes itu memiliki sisi
positif dari aspek keadilan maupun lalu lintas.
Ketiga, dengan tidak ada UN di SD dan tidak ada tes masuk ke
SMP, diharapkan menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan karena
orientasi pembelajaran bukan untuk tes (teaching
to test), tapi untuk tahu, memahami, dan melaksanakannya dalam kehidupan.
Telah terbukti, pembelajaran yang semata-mata diarahkan mencapai
nilai UN tinggi telah mereduksi fungsi pendidikan yang sebenarnya. Pola yang
seperti itu menyebabkan anak-anak cenderung mempelajari materi pelajaran yang
diujiannasionalkan saja, sedangkan pelajaran lain yang juga diperlukan dalam
kehidupan nyata,
seperti seni dan olahraga, cenderung diabaikan. Namun dengan
aturan baru tersebut, mereka diharapkan tetap mempelajari semua materi
pelajaran secara berimbang.
Tentu banyak pula yang menolak kebijakan tersebut dengan alasan
memerosotkan mutu pendidikan. Mereka ini berasal dari kelompok yang
memercayai UN/tes masuk SMP/MTs sebagai salah satu pendorong (motivasi) untuk
belajar lebih giat. Mereka meyakini, tanpa UN/tes murid-murid malas belajar.
Bila hipotesis ini betul, sesungguhnya hal tersebut merupakan
kegagalan pendidikan nasional karena tidak mampu melahirkan manusia-manusia
pembelajar, tapi hanya melahirkan manusia-manusia yang mau belajar jika ada
UN/tes. Padahal, UN/tes masuk itu hanya salah satu sarana untuk semangat
belajar, bukan tujuan. Sebagai sarana, hal itu sewaktu-waktu dapat
ditinggalkan bila sudah tidak relevan.
Oleh karena itu, kebijakan tidak ada tinggal kelas dan UN di SD,
serta tidak ada tes masuk SMP/MTs bukan suatu kekeliruan, melainkan kewajaran
yang dapat diterima akal sehat.
Tugas sekolah adalah mengajar dan mendidik anak-anak untuk
menyiapkan diri menghadapi kehidupan riil, bukan hanya untuk menghadapi
UN/tes. Sering ditemukan ada tekanan menyiapkan anak untuk menghadapi UN/tes
masuk, lalu mengabaikan hakikat pendidikan pada umumnya, yaitu pencerdasan
dan pemerdekaan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar