Kritik
dan Kekuasaan
Andi Irawan ; Peminat Telaah Ekonomi Politik
|
TEMPO.CO,
22 Februari 2014
Umumnya, manusia tidak suka dikritik dan, sebaliknya, gandrung
akan pujian. Dan derajat ketidaksukaan akan kritik semakin tinggi ketika
seseorang punya kekuatan untuk membendung kritik terhadapnya. Karena itu,
tidak salah kalau kita katakan kekuasaan itu cenderung antikritik.
Kalau Anda mengunjungi museum, bacalah terjemahan tulisan-tulisan
pada prasasti-prasasti yang dibuat pada era Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Prasasti itu mengisahkan puji dan puja yang sangat tinggi kepada para
penguasa.Para raja era itu digambarkan sebagai sosok yang suci. Mereka adalah
titisan dewa dengan kemampuan kepemimpinan yang sangat prima dan sangat
dicintai rakyatnya.
Pada kurun yang sama, orang di semua belahan dunia menempatkan
penguasa pada kedudukan yang sangat sakral dan, tentu saja, jauh dari kritik
serta penuh dengan puja hampir setara dengan Tuhan. Di Jepang, kaisar
dipercayai sebagai turunan Dewa Matahari. Di Cina, jangankan mengkritik para
kaisar, memandang wajahnya pun tak boleh, dan rakyat harus sujud kepada sang
raja sebagai bentuk penghormatan kepadanya.
Pemimpin-pemimpin kabilah di Arab pada era Nabi Muhammad punya
penyair khusus yang akan menciptakan syair yang penuh dengan puja dan puji
terhadap kehebatan pemimpin mereka. Dan di Romawi, pada Abad Pertengahan
Eropa, perkataan raja adalah hukum yang mengikat semua rakyatnya. Pada zaman
itu, penguasa adalah kebenaran absolut, dan kritik terhadapnya adalah
kemustahilan.
Pada era Renaissance di Eropa (mulai abad ke-13 Masehi),
kekuasaan para penguasa memang tidak lagi seabsolut Abad Pertengahan,
melainkan tetap dominan. Dalam era ini mulai penting apa yang dinamakan
tindakan preventif terhadap kemungkinan penguasa mendapatkan oposisi yang
kuat dari lawan-lawan politiknya.
Sang penguasa harus diopinikan di hadapan rakyat sebagai sosok
yang mulia, sehingga kritik dari musuh-musuhnya menjadi mentah. Kita bisa
melihat hal ini dalam pandangan Machiavelli (1469-1527) tentang pentingnya
pencitraan seorang penguasa sebagaimana yang disampaikan dalam bukunya, The Prince, Bab 18: ...Seorang pangeran harus menjaga dirinya…,
yang mana orang harus melihat dan
mendengarnya sebagai sosok pemurah, beriman, manusiawi, jujur, dan agamais.
Setiap orang melihat bagaimana Anda tampil, walaupun hanya sedikit dari
mereka yang tahu bagaimana Anda ini sesungguhnya. Mereka yang sedikit itu tak
berani menempatkan diri mereka menentang pendapat orang banyak.
Tentu saja, era penguasa yang mempunyai kekuasaan absolut bak
Tuhan atau dominan telah ditinggalkan Eropa dan berbagai belahan dunia sejak
Rousseau (1712-1748) mempublikasi pemikirannya tentang Kontrak Sosial (Contract Social) dan Montesquieu
(1688-1755) dengan Trias Politica-nya.
Rousseau mengintroduksi konsep tentang kedaulatan rakyat. Kepentingan umum
yang merefleksikan kedaulatan rakyat harus menjadi utama dibanding
kepentingan khusus (pribadi atau golongan). Rakyat menyerahkan tugas untuk
mewujudkan kepentingan umum kepada raja. Dan kepentingan umumnya dirumuskan
dalam kesepakatan bersama yang bernama undang-undang. Raja atau kaisar harus
menjalankan kedaulatan rakyat tersebut. Inilah bentuk kontrak sosial antara
rakyat dan rajanya.
Montesquieu, berdasarkan pengalaman dan pengamatan dalam
interaksi dengan banyak kehidupan bernegara di Eropa, mengoreksi kekuasaan
dominan para penguasa ketika itu melalui pemikirannya tentang bahaya ketika
kekuasaan negara dipegang oleh satu tangan (raja). Kekuasaan harus dipilah
menjadi tiga kekuatan. Pertama, kekuatan membuat undang-undang yang dipegang
oleh lembaga yang merepresentasikan kehendak rakyat. Kedua, kekuasaan
eksekutif yang melaksanakan undang-undang tersebut. Ketiga, kekuasaan
yudikatif yang menegakkan hukum dan tata tertib masyarakat. Paradigma
Montesquieu dan Rousseau tentang manajemen bernegara yang sedemikian itulah
yang kemudian menjadi mainstream di dunia modern yang kita kenal dengan
sebutan terminologi negara demokrasi.
Dalam negara demokrasi, kritik terhadap kekuasaan menjadi
niscaya. Mengapa? Pertama, ia sarana atau alat yang mutlak harus dihadirkan
agar masyarakat madani bisa menyoroti secara gamblang kinerja semua lembaga
pendukung demokrasi, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kedua, menjadi alat koreksi ketika ada kebijakan-kebijakan yang
antipublik diimplementasikan oleh para penguasa. Ketiga, menjadi media
kontestasi gagasan, kebijakan, bahkan perilaku para politikus dan partai
politik. Ia berguna untuk menguji di hadapan publik apakah gagasan,
kebijakan, dan perilaku penguasa yang dipercaya publik atau alternatif yang
ditawarkan oleh kompetitor politiknya lebih dipercaya.
Tidak ada kritik yang terasa manis dan indah, tapi ia adalah keniscayaan
prosedur yang memastikan bahwa demokrasi tetap hadir secara benar. Semakin
berkualitas kritik kita dan semakin lapang dada kita menerima kritik, kian
berkualitas demokrasi yang kita jalankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar