Suriah
Pasca-Jenewa II
Ibnu Burdah ; Pemerhati masalah Timur Tengah dan
Dunia Islam,
Dosen
Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 05 Februari 2014
KONFERENSI damai Jenewa II
(22-31/1/14) tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Memang ada agenda
untuk kembali melanjutkan negosiasi pada 10 Februari mendatang, tetapi proses
negosiasi selama sepekan lalu tersebut telah memperlihatkan lebarnya jurang perbedaan
persoalan inti bagi kedua belah pihak. Sungguh tinggi pesimisme untuk
melanjutkan kembali konferensi tersebut.
Fakta memperlihatkan bahwa
konferensi awal pun gagal menghasilkan kesepakatan terbatas, berupa
pembebasan sebagian tahanan, gencatan senjata lokal sementara guna memberi
jalan bagi distribusi bantuan kemanusiaan, dan mengevakuasi sebagian korban.
Tiga masalah itu dianggap memiliki perbedaan ‘’ringan’’ sehingga didahulukan
dalam agenda perundingan. Tapi itu pun gagal menemukan titik temu.
Kedua pihak sama-sama kaku pada
posisi masing-masing. Kubu oposisi bersikeras Assad harus turun, serta tak
terlibat dalam pemerintahan transisi dan proses demokrasi di Suriah ke depan.
Tuntutan itu hampir tak banyak berubah sejak menjelang konferensi damai
Jenewa I hingga akhir perundingan Jenewa II. Tuntutan ini jelas tak masuk
akal menilik paritas kekuatan kedua pihak di lapangan.
Kubu Assad yang masih cukup
kuat, mudah ditebak, menolak mentah-mentah, sebagaimana berulang kali
disampaikan, dan hampir tanpa perubahan. Menerima tuntutan itu bagi mereka
bukan hanya berarti kehilangan kekuasaan melainkan juga ancaman. Mereka bukan
hanya akan diseret ke pengadilan dengan tuntutan kejahatan kemanusiaan
melainkan juga menjadi antagonis baru Suriah. Sebuah hal yang sangat tidak
mereka inginkan.
Penyebab Kegagalan
Namun, penyebab kegagalan
sejauh ini bukan karena semata alotnya sikap oposisi melainkan juga kekakuan
sikap kubu Assad. Mereka menginginkan Assad sepenuhnya masih memimpin
transisi dan berhak ikut dalam proses demokrasi. Ini tentu sama dengan bohong
bagi kubu oposisi. Apa pun konsesi lain yang diberikan kepada mereka, tak
banyak membawa arti jika hal itu tak dinegosiasikan. Pasalnya, tujuan politik
dari gerakan rakyat dan militer oposisi Suriah adalah menjatuhkan rezim
Assad.
Kondisi di lapangan sebenarnya
sudah sangat memaksa untuk berdamai. Mereka pasti sadar tak bakal memperoleh
kemenangan telak, sekali pun dengan pengorbanan lebih besar lagi. Tetapi ada
faktor lain yang memperkuat kengototan dua kubu itu, yakni peranan
aktor-aktor luar yang mendukung mereka.
Beberapa negara Teluk seperti
menyediakan cek kosong kepada oposisi, baik sayap politik maupun militer,
asalkan mereka mati-matian menjatuhkan rezim Assad. Ini membuat logistik
mereka begitu kuat sehingga bisa bertahan sangat lama. Beberapa negara Eropa
dan AS, kendati tidak sengotot negara-negara Teluk, juga terus mendorong agar
perjuangan mereka bisa menjatuhkan Assad. Minimal hingga saat ini, oposisi
berpikir bahwa mereka tetap mampu melanjutkan perang sebab logistik cukup
tersedia.
Sementara pendukung Assad,
seperti Iran dan Hizbullah, menunjukkan sikap konsisten seolah-olah siap mati
bersama andai rezim Assad dihancurkan. Ini membuat rezim ini merasa lebih
tenang menghadapi pasukan militer oposisi dan juga di meja perundingan.
Dukungan politik dan militer Rusia yang makin naik daun di bawah Putin juga
membuat rezim ini tak mau memberikan konsesi besar dalam perundingan.
Korban Kemanusiaan
Kegagalan perundingan damai
berarti keberlanjutan perang. Faktanya, perang berkobar makin kejam begitu
perundingan ini tak menghasilkan kesepakatan. Pasukan rezim langsung menabuh
genderang perang besar di wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi, terutama di
kota Aleppo. Kita melihat korban kemanusiaan semakin tak terhindarkan.
Entah sampai kapan perang keji
ini akan berakhir menilik paritas kedua pihak yang relatif seimbang. Kapan
perang berakhir adalah misteri seperti misteri kematian seseorang. Akan
tetapi, skenario yang mengkhawatirkan adalah perang akan berlangsung lama dan
berisiko makin destruktif.
Sebenarnya banyaknya korban
nyawa yang jatuh, korban terluka, destruksi masif, dan penderitaan panjang
jutaan warga Suriah seharusnya sudah cukup membuat pemimpin pihak-pihak yang
berseteru untuk ìmemaksakanî ada hasil minimal dalam perundingan tersebut.
Hasil minimal itu adalah penghentian perang (gencatan senjata) meski
sementara.
Para aktor kawasan yang begitu
ambisius, baik yang mendukung rezim maupun oposisi, seharusnya punya hati
melihat yang terjadi di Suriah. Senjata dan uang yang mereka berikan telah
menjadi bola-bola api yang membunuh banyak orang, termasuk anak-anak dan
orang tua, dan menghancurkan kehidupan.
Perlu terus menggelorakan
harapan supaya sesi II perundingan bisa digelar. Idealnya, negosiasi itu jangan
dilakukan dalam sorot kamera saja. Beban para perunding terhadap ìbosnyaî
ataupun para pendukung, terlalu besar. Para perunding sedikit-sedikit jumpa
pers ìpribadiî yang bukan cari solusi melainkan ìcari mukaî dari para
pendukung. Perundingan harus dilakukan melalui multijalur, multipendekatan,
dan dengan tekanan besar kepada masing-masing pihak untuk segera mengambil
kesepakatan positif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar