Sterilisasi
Kebangsaan
Mochtar Pabottingi ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
06 Februari 2014
SULIT untuk tidak menyatakan bahwa indoktrinasi atau
ketetapan perundangan kontroversial (UU Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 34 Ayat
3b.a.) yang disebut ”empat pilar kebangsaan” itu ditandai oleh serentetan
ketakarifan.
Kita dapat menyebut ketakarifan
historis, ketakarifan filosofi, dan ketakarifan politik. ”Empat pilar
kebangsaan” sama sekali bukan ”persoalan semantik”, melainkan persoalan
kepandiran yang tak bisa dibiarkan. Semua itu sangat berpotensi bermuara
justru pada sterilisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika sehingga membuat semuanya tak berguna atau tak akan terwujud
menurut fungsi dan tujuan-nya masing-masing. Itulah sebabnya indoktrinasi
itu harus dihentikan dan ketetapan perundangannya harus dicabut.
Ketakarifan historisnya jelas.
Pancasila adalah monumen politik eenmalig luar bi- asa dari bangsa
kita. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)—yang
diprakarsai dan didukung oleh pemerintahan pendudukan Jepang—dibentuk di
sekitar awal 1945 dan sidang-sidangnya dilaksanakan sepenuhnya dengan
moralitas dan otoritas politik. Di situ tampil pemimpin-pemimpin sejati
bangsa kita dari semua kalangan dengan rekam jejak kepemimpinan yang terpuji
dalam hitungan integritas dan kompetensi. Di dalam BPUPKI tak ada koruptor,
politikus karbitan, apalagi pelawak dan preman.
Pada sidang-sidang BPUPKI juga
berla- ku deliberasi politik yang historically ex- emplary, baik
dalam hitungan Aristotelian (demi universalisasi kebajikan), dalam hitungan
Rawlsian (demi kesetaraan posisi awal dan posisi tanding), maupun dalam
hitungan Habermasian (demi keterbukaan agenda dan ”kartu-kartu” politik).
Keseluruhan sidang BPUPKI sepenuhnya bersih dari politik uang, pesan sponsor,
dan arriere pensee--motif-motif tak patut dan tersembunyi. Keabsahan
prosedural dan esensialnya sungguh prima.
Ketakarifan filosofinya pun jelas.
Pancasila yang disepakati bersama oleh para Bapak Pendiri Bangsa kita adalah
suatu filosofische grondslag, ’fundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya’, sebagai tempat
tegaknya bangunan republik kita. Dalam rumusan demikian, sudah pasti
Pancasila dimaksudkan sebagai landasan tunggal. Sebagai landasan tunggal, ia
tak bisa dipilar-pilarkan bersama yang lain agar sefungsi dengannya. Logika
jernih tak memungkinkan rekayasa demikian.
Perlu ditegaskan bahwa selain
berbeda fungsi, Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
pun berbeda tingkatan serta genus dan/atau spesies. Keempatnya hanya
akan berguna jika dipertahankan pada fungsi dan esensinya masing-masing.
Sebagai Weltanschauung, Pancasila adalah representasi atau jati
diri nation, bukan representasi atau jati diri negara. Dalam hitungan
itu, ia mustahil disandingkan dengan yang lain.
Di sinilah kita memasuki
ketakarifan politik dari indoktrinasi atau ketetapan perundangan ”empat pilar
kebangsaan” itu. Pancasila adalah induk, rel, pedoman, dan pengontrol atau
tolok ukur bagi aktualisasi ketiga yang lainnya. Laku memilar-milarkan
keempatnya seperti suatu himpunan bisa berdampak menghilangkan fungsi
Pancasila, terutama sebagai induk, rel, pedoman, serta pengontrol NKRI dan
UUD 1945 itu sendiri. Itu juga bisa menghilangkan fungsi kontrol UUD 1945
terhadap NKRI.
Tak ada korespondensi
Dalam hitungan politik, tak akan
pernah ada korespondensi atau kesejalanan langsung, penuh, otomatis, apalagi
permanen antara Pancasila dan negara kita. Nation, yang
direpresentasikan dengan Weltanschauung Pancasila, adalah yang
melahirkan negara. Bukan hanya ada asimetri mutlak di antara keduanya, negara
bahkan lahir dari nation. Korespondensi antara Pancasila dan negara
hanya bisa ada hingga tingkat tertentu jika pemerintah dan masyarakat bersama
berjuang mewujudkannya secara kumulatif setahap demi setahap melalui
kerja/bakti tegar serta konsisten dan jika semua hasil nyata yang sudah kita
capai dalam perjuangan itu bisa terus kita pertahankan dan lipatgandakan.
Justru karena menyadari tiadanya
ko- respondensi mutlak permanen itulah, kita perlu terus mengingatkan
masyarakat bangsa kita, terutama para pelaksana negara agar tak pernah
berhenti memperjuangkannya. Esensi Pancasila dan esensi negara kontras satu
sama lain. Para Bapak Pendiri Bangsa kita merumuskan Pancasila sebagai lima
patokan—panduan ideal murni dalam kerangka rasionalitas politik modern.
Sebagai perangkat ideal murni, ia pada dirinya—an sich—mustahil dikorupsi
ataupun dikompromikan.
Sebaliknya, hadir dan berkiprah di
alam nyata, negara yang selamanya diwakili oleh sekelompok manusia selalu
merupakan ajang pertandingan dari aneka kepentingan yang jumlahnya mustahil
dihitung, yang sebagian besarnya tak hanya berbeda, tetapi juga bertentangan
satu sama lain. Maka, sudah menjadi kodrat negara untuk selalu
terombang-ambing dan berubah-ubah arah menurut kehendak atau kepentingan para
penguasanya dari waktu ke waktu betapapun bagus konstitusinya.
Negara mustahil memiliki pedoman
ultimat pada atau dari dirinya sendiri. Pedoman ultimat bagi negara haruslah
sesuatu yang berada pada alam ideal atau apa yang disebut Aristoteles
”prinsip-prinsip rasional” dalam sinar kebajikan yang tidak berubah-ubah.
Pancasila adalah prinsip- prinsip demikian. Maka, ia harus terus
dipertahankan sebagai obor pemandu arah, penentu atau pendesak agenda
ekonomi, politik, dan kebudayaan, serta tolok ukur ultimat bagi setiap
perilaku negara. Di dunia tak ada ”negara paripurna” karena berkias pada
”Kota Sempurna” Sokrates, negara paripurna ”hanya ada di langit”.
Mewaspadai arah dan perilaku
Jauh sebelum Lord Acton dan para
teoris demokrasi modern, Machiavelli dalam Discourses sudah
mengingatkan kita tentang keniscayaan untuk terus mewaspadai arah dan
perilaku kalangan pengu- asa di dalam negara jika kita ingin tetap
mempertahankan kemerdekaan. Kita juga mewarisi peringatan terkenal John
Curran (1790), hakim dan tokoh politik Irlandia, bahwa ”syarat Tuhan
memberikan kemerdekaan kepada manusia adalah kewaspadaan abadi”. Pancasila
adalah medium nation—medium seluruh warga bangsa—untuk tetap
mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kewaspadaan abadi atas negara dan
konstitusi kita.
Di dalam Pancasila dan
Demitologi (Prisma, Agustus, 1977),
saya sudah mengutarakan empat peringatan setiap kali kita berwacana atau
menetapkan sesuatu atas nama Pancasila. Tiga puluh enam tahun silam itu,
keempat peringatan ini saya tujukan langsung ke jantung kekuasaan Orde Baru.
Pertama adalah keniscayaan untuk
”memberikan pengertian yang relatif riil, jelas, dan benar dari setiap
sebutan yang kita kenakan buat atau yang kita rangkaikan dengan Pancasila”.
Kedua adalah keniscayaan kehati-hatian setiap kali kita hendak menggunakan
”Pancasila sebagai alat”. Ketiga adalah keniscayaan ”menukar penerapan
doktriner yang cenderung tak mengenal batas, tertutup, dan monopolistis dari
Pancasila dengan penerapan rasional, terbuka, dan demokratis”. Keempat adalah
keniscayaan untuk ”mengoreksi
kecenderungan triumfalisme kita” setiap kali kita mengangkat Pancasila.
Indoktrinasi dan ketetapan
perundangan bernama ”empat pilar kebangsaan” itu secara telak melanggar atau
menafikan keempat peringatan ini. Dan alangkah kental aroma Orde Baru
padanya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar