Kompromi
terhadap Korupsi
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas 45, Makassar
|
KOMPAS,
06 Februari 2014
SURAT Edaran Jaksa Agung
bertanggal 18 Mei 2010 kepada seluruh kejaksaan tinggi menunjukkan betapa
lemah kepekaan lembaga ini terhadap pemberantasan korupsi.
Surat edaran itu berisi imbauan
kepada jajaran kejaksaan agar dalam kasus dugaan korupsi, kasus koruptor yang
dengan kesadarannya telah mengembalikan ”kerugian keuangan negara” yang
nilainya kecil, perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atau
berlaku asas restorative justice.
Ini patut dicermati secara kritis agar tidak menjadi preseden buruk dalam
memberantas korupsi.
Indonesia
Corruption Watch
(ICW) berhasil melacak surat itu yang boleh jadi sudah banyak diikuti
kejaksaan di daerah. Dalam catatan ICW, akibat surat itu setidaknya 13 kasus
dugaan korupsi di daerah dihentikan di tengah jalan. Bisa dilihat, misalnya,
pada penanganan dugaan penyelewengan dana bantuan sosial tahun 2008 di
Sulawesi Selatan sebesar Rp 8,8 miliar.
Yang dijerat kejaksaan tinggi
hanya pejabat pemerintah provinsi, sedangkan penerima dana yang menggunakan
organisasi masyarakat fiktif dari kalangan anggota DPRD provinsi tidak
disentuh. Salah satu alasan yang terungkap di media adalah dana yang diterima
telah dikembalikan.
Harus kita katakan bahwa kebijakan
Kejaksaan Agung yang kompromistis dengan korupsi sulit dipahami akal waras.
Sulit lantaran mengecilkan semangat pemberantasan korupsi, suatu kebijakan
yang kontroversial dari sudut mana pun. Surat edaran itu merusak tatanan
hukum dan mencederai rasa keadilan.
Mencederai UU antikorupsi
Setidaknya tiga aspek yang
dicederai. Pertama, alasan bahwa kerugian negara yang nilainya kecil dan dikembalikan
dengan kesadaran sendiri tidak perlu diproses justru bertentangan dengan
Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu menegaskan bahwa
”pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3”. Pengembalian kerugian keuangan negara hanya salah satu faktor yang
meringankan.
Bahkan, Pasal 12A Ayat (2) UU
tersebut tetap mengancam tiga tahun penjara dan denda Rp 50 juta bagi pelaku
korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5 juta (jika melanggar Pasal 5 sampai
Pasal 12 yang berkaitan dengan suap dan penggelapan uang negara). Alasan
untuk tak memproses pelaku yang mengembalikan kerugian keuangan negara yang
jumlahnya kecil merupakan alasan yang tak rasional.
Kedua, penggunaan
asas restorative justice juga salah kaprah karena asas ini hanya
ditujukan untuk tindak pidana ringan. Tujuannya memulihkan kerugian korban
dengan melibatkan semua yang terkait tindak pidana itu. Misalnya, pencurian
ringan atau penghinaan ringan, tetapi atas kesepakatan dengan korban.
Pola pikir dalam surat edaran itu
justru mengingkari Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013, yang
menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Konsep restorative
justice atau penyelesaian secara damai di luar pengadilan tidak tepat
diterapkan pada kasus korupsi karena termasuk kejahatan luar biasa, serius,
dan melanggar hak sosial ekonomi rakyat.
Ketiga, dikhawatirkan akan terjadi
jual beli hukum dan penyalahgunaan wewenang. Setiap kasus korupsi akan
dicocok-cocokkan dengan maksud surat edaran itu bahwa kerugian negara kecil.
Padahal, berapa pun jumlah uang yang dikorupsi, korupsi tetap saja korupsi
namanya dan tetap sebagai musuh besar rakyat yang harus diberantas.
Arena baru
Lantaran kebijakan itu tidak
secara tegas menyebutkan berapa kecil nilai kerugian
negara yang dikorupsi
untuk diputihkan, terbuka ruang bagi para jaksa untuk menyelewengkan
wewenang. Setidaknya akan terbentuk ”arena baru” bagi mereka untuk bermain
mata dengan tersangka. Ia akan dijadikan ATM berjalan, dengan sengaja
menyudutkannya dari sisi jumlah kerugian negara.
Selama ini publik berharap kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dibentuk pada 2004, lantaran
buruknya kredibilitas kejaksaan dan kepolisian menangani kasus korupsi. Saat
KPK dipercaya publik karena mengungkap kasus besar semestinya kejaksaan ikut
tergelitik dan bangkit secara bersama untuk memerangi korupsi. Harapan itu
jauh panggang dari api akibat kebijakan kompromistis yang membuat wajah
kejaksaan tetap buruk.
Kejaksaan sepertinya belum
menunjukkan keseriusan melepaskan negeri ini dari ancaman bangkrut. Ibarat
adu lari, kejaksaan tetap tertatih-tatih di belakang koruptor yang begitu
lihai memanfaatkan kelemahan hukum. Akibatnya, korupsi terus menggurita.
Padahal, kejaksaan selaku institusi hukum, yang boleh disebut sudah mapan,
mengambil langkah cepat agar tidak dipecundangi koruptor.
Ini harus disikapi para aktivis
antikorupsi dan masyarakat luas yang jadi korban pencurian uang negara. Sulit
disangkal kebijakan itu sebagai bentuk kompromi terhadap korupsi yang banyak
dilakukan orang politik. Malah ini bisa mendorong calon koruptor yang antre
di institusi negara untuk tak perlu takut menilap uang rakyat. Jika ketahuan,
kembalikan dan semua beres.
Publik perlu melacak apakah
kebijakan itu membuat penanganan kasus korupsi di kejaksaan lebih banyak yang
tak sampai ke pengadilan. Surat Edaran Jaksa Agung itu harus segera dicabut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar