Kamis, 06 Februari 2014

Kompromi terhadap Korupsi

Kompromi terhadap Korupsi

Marwan Mas   ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KOMPAS,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SURAT Edaran Jaksa Agung bertanggal 18 Mei 2010 kepada seluruh kejaksaan tinggi menunjukkan betapa lemah kepekaan lembaga ini terhadap pemberantasan korupsi.
Surat edaran itu berisi imbauan kepada jajaran kejaksaan agar dalam kasus dugaan korupsi, kasus koruptor yang dengan kesadarannya telah mengembalikan ”kerugian keuangan negara” yang nilainya kecil, perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice. Ini patut dicermati secara kritis agar tidak menjadi preseden buruk dalam memberantas korupsi.

Indonesia Corruption Watch (ICW) berhasil melacak surat itu yang boleh jadi sudah banyak diikuti kejaksaan di daerah. Dalam catatan ICW, akibat surat itu setidaknya 13 kasus dugaan korupsi di daerah dihentikan di tengah jalan. Bisa dilihat, misalnya, pada penanganan dugaan penyelewengan dana bantuan sosial tahun 2008 di Sulawesi Selatan sebesar Rp 8,8 miliar.

Yang dijerat kejaksaan tinggi hanya pejabat pemerintah provinsi, sedangkan penerima dana yang menggunakan organisasi masyarakat fiktif dari kalangan anggota DPRD provinsi tidak disentuh. Salah satu alasan yang terungkap di media adalah dana yang diterima telah dikembalikan.

Harus kita katakan bahwa kebijakan Kejaksaan Agung yang kompromistis dengan korupsi sulit dipahami akal waras. Sulit lantaran mengecilkan semangat pemberantasan korupsi, suatu kebijakan yang kontroversial dari sudut mana pun. Surat edaran itu merusak tatanan hukum dan mencederai rasa keadilan.

Mencederai UU antikorupsi

Setidaknya tiga aspek yang dicederai. Pertama, alasan bahwa kerugian negara yang nilainya kecil dan dikembalikan dengan kesadaran sendiri tidak perlu diproses justru bertentangan dengan Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu menegaskan bahwa ”pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”. Pengembalian kerugian keuangan negara hanya salah satu faktor yang meringankan.

Bahkan, Pasal 12A Ayat (2) UU tersebut tetap mengancam tiga tahun penjara dan denda Rp 50 juta bagi pelaku korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5 juta (jika melanggar Pasal 5 sampai Pasal 12 yang berkaitan dengan suap dan penggelapan uang negara). Alasan untuk tak memproses pelaku yang mengembalikan kerugian keuangan negara yang jumlahnya kecil merupakan alasan yang tak rasional.

Kedua, penggunaan asas restorative justice juga salah kaprah karena asas ini hanya ditujukan untuk tindak pidana ringan. Tujuannya memulihkan kerugian korban dengan melibatkan semua yang terkait tindak pidana itu. Misalnya, pencurian ringan atau penghinaan ringan, tetapi atas kesepakatan dengan korban.

Pola pikir dalam surat edaran itu justru mengingkari Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013, yang menetapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Konsep restorative justice atau penyelesaian secara damai di luar pengadilan tidak tepat diterapkan pada kasus korupsi karena termasuk kejahatan luar biasa, serius, dan melanggar hak sosial ekonomi rakyat.

Ketiga, dikhawatirkan akan terjadi jual beli hukum dan penyalahgunaan wewenang. Setiap kasus korupsi akan dicocok-cocokkan dengan maksud surat edaran itu bahwa kerugian negara kecil. Padahal, berapa pun jumlah uang yang dikorupsi, korupsi tetap saja korupsi namanya dan tetap sebagai musuh besar rakyat yang harus diberantas.

Arena baru

Lantaran kebijakan itu tidak secara tegas menyebutkan berapa kecil nilai kerugian 
negara yang dikorupsi untuk diputihkan, terbuka ruang bagi para jaksa untuk menyelewengkan wewenang. Setidaknya akan terbentuk ”arena baru” bagi mereka untuk bermain mata dengan tersangka. Ia akan dijadikan ATM berjalan, dengan sengaja menyudutkannya dari sisi jumlah kerugian negara.

Selama ini publik berharap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dibentuk pada 2004, lantaran buruknya kredibilitas kejaksaan dan kepolisian menangani kasus korupsi. Saat KPK dipercaya publik karena mengungkap kasus besar semestinya kejaksaan ikut tergelitik dan bangkit secara bersama untuk memerangi korupsi. Harapan itu jauh panggang dari api akibat kebijakan kompromistis yang membuat wajah kejaksaan tetap buruk.

Kejaksaan sepertinya belum menunjukkan keseriusan melepaskan negeri ini dari ancaman bangkrut. Ibarat adu lari, kejaksaan tetap tertatih-tatih di belakang koruptor yang begitu lihai memanfaatkan kelemahan hukum. Akibatnya, korupsi terus menggurita. Padahal, kejaksaan selaku institusi hukum, yang boleh disebut sudah mapan,  mengambil langkah cepat agar tidak dipecundangi koruptor.

Ini harus disikapi para aktivis antikorupsi dan masyarakat luas yang jadi korban pencurian uang negara. Sulit disangkal kebijakan itu sebagai bentuk kompromi terhadap korupsi yang banyak dilakukan orang politik. Malah ini bisa mendorong calon koruptor yang antre di institusi negara untuk tak perlu takut menilap uang rakyat. Jika ketahuan, kembalikan dan semua beres.

Publik perlu melacak apakah kebijakan itu membuat penanganan kasus korupsi di kejaksaan lebih banyak yang tak sampai ke pengadilan. Surat Edaran Jaksa Agung itu harus segera dicabut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar