Kamis, 06 Februari 2014

Legitimasi Konstitusional Pemilu 2014

Legitimasi Konstitusional Pemilu 2014

Abdul Hakim G Nusantara   ;  Ketua Komnas-HAM  2002-2007
KOMPAS,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
PADA 23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan sejumlah pasal UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945.

MK menegaskan bahwa amar putusan itu, yang antara lain menyatakan pelaksanaan pemilu harus dilaksanakan serentak, berlaku bagi penyelenggaraan Pemilu 2019 dan pemilu seterusnya. Putusan MK ini segera mengundang berbagai tanggapan dari politisi, pengamat hukum, dan ahli konstitusi.

Mereka yang pro umumnya menerima dan menyatakan siap menaati putusan bijak itu. Pihak lain, yakni para pengamat dan pakar hukum tata negara, memandang putusan itu janggal. Sebab, pada satu sisi MK menyatakan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945, yang bermakna penyelenggaraan pemilu anggota DPR dan pemilihan presiden yang tidak serentak atau terpisah bertentangan dengan UUD 1945. Namun, pada sisi lain, MK menyetujui penggunaan pasal-pasal yang menyatakan tak punya kekuatan hukum mengikat itu  untuk Pemilu 2014, yang memisahkan pemilu anggota DPR dan pemilu presiden (pilpres).

Dengan demikian, menurut para pengamat dan pakar konstitusi, penyelenggaraan Pemilu 2014 inkonstitusional. Proses penyelenggaraan dan hasil Pemilu 2014 dijalankan dengan melanggar UUD 1945. Itu berarti Pemilu  2014 tidak lagi punya legitimasi konstitusional.

Ini jelas merupakan isu hukum dan politik yang serius. Sebab, legitimasi di sini bermakna penerimaan keabsahan otoritas kekuasaan negara oleh rakyat dan kerelaan mereka untuk menaatinya. Tanpa legitimasi konstitusional, tindakan penguasa tidak sah dan rakyat berhak untuk tidak mematuhinya.

Isu tiadanya legitimasi konstitusional itu selalu dapat digunakan pihak-pihak tertentu, biasanya pihak yang kalah, untuk menuntut pembatalan proses dan hasil Pemilu 2014 (legislatif dan pilpres). Apabila tuntutan pembatalan itu diajukan kepada MK, boleh jadi akan ditolak karena menurut penalaran hukum MK, pemilihan serentak anggota legislatif dan presiden baru akan terjadi pada 2019.

Namun, apa yang akan terjadi jika gugatan atas legitimasi konstitusional pemilu itu didukung oleh sebagian besar masyarakat, termasuk (terutama) parpol- parpol papan atas dan tengah? Jelas hal itu dapat mengguncang stabilitas politik nasional dan institusi demokrasi.

Tiga konsep legitimasi

Berkenaan dengan itu, para pakar konstitusi biasanya merujuk pada tiga konsep legitimasi untuk menguji adanya legitimasi konstitusional. Pertama, legitimasi hukum, yaitu bahwa tindakan penyelenggara negara sesuai dengan norma hukum konstitusi. Hal ini berarti berbagai tindakan penyelenggara negara, baik berupa UU maupun lainnya, yang melanggar konstitusi secara hukum tidak wajib ditaati.

Kedua, legitimasi sosiologis, yang berarti tindakan atau kebijakan penyelenggara negara itu dinilai bermanfaat dan diterima oleh masyarakat luas.

Ketiga, legitimasi moral, yakni bahwa tindakan dan kebijakan penyelenggara negara dilakukan untuk mencapai tujuan yang dapat dibenarkan secara moral. Misalnya, mewujudkan kehidupan publik yang lebih baik atau bentuk keadilan lainnya.

Tiga konsep legitimasi itu berkaitan satu sama lain menjadi batu penguji keberadaan legitimasi konstitusional. Sebagaimana dikatakan RH Fallon, legitimasi konstitusional tidak bersandar pada satu batu karang, tetapi ia bersandar pasir yang kadang bergeser (RH Fallon, 2005: 1793).  

Menggunakan tiga konsep legitimasi untuk menguji legitimasi konstitusional penyelenggaraan Pemilu 2014, kita akan memperoleh gambar seperti ini.
Pertama, putusan MK tersebut di atas disandarkan, antara lain, pada metode penafsiran original intent, yaitu keterangan anggota DPR yang turut dalam proses amandemen UUD 1945. Metode ini pada dirinya bermasalah, yaitu anggota DPR itu tak mewakili pandangan seluruh anggota DPR yang turut dalam proses memutuskan amandemen UUD 1945. Karena itu, sangat boleh jadi apa yang diklaim sebagai original intent itu pendapat pribadi yang bersangkutan. Sangat mungkin anggota DPR lainnya punya pendapat berbeda. Sangat mungkin pula apabila MK menggunakan metode penafsiran lain, misalnya pendekatan konstitusi sebagai dokumen hidup (living constitution) yang maknanya terus berkembang, putusannya akan berbeda.

Dengan demikian, apa yang konstitusional atau tidak adalah pendapat MK, bukan karena UUD 1945 menyatakan demikian. Terlepas dari adanya kontroversi tersebut, putusan MK itu harus diterima karena merupakan kenyataan hukum (lex lata), di mana di situ dinyatakan pemilu dan pilpres serentak akan berlaku 2019. Akibat hukumnya adalah pemilu dan pilpres (2014) yang tidak serentak, menurut MK, konstitusional.

Kedua, putusan MK itu tampaknya memperoleh sambutan hangat dari parpol-parpol papan atas, seperti Golkar, PDI-P, dan Demokrat. Itu menunjukkan putusan MK tersebut memenuhi kebutuhan dan kepentingan hukum sebagian besar masyarakat politik kita, yang berarti terpenuhinya legitimasi sosiologis.

Ketiga, putusan MK yang memberlakukan pemilu dan pilpres serentak pada 2019 di dasarkan pada pertimbangan untuk menghindari kekacauan dan ketidakpastian hukum penyelenggaraan Pemilu 2014, yang persiapannya sedang berjalan. Itu berarti, menurut MK, demi kemaslahatan umum, penyelenggaraan Pemilu 2014 yang tidak serentak adalah sah dan konstitusional.

Syarat legitimasi terpenuhi

Tampaknya yang hendak dituju oleh putusan MK tersebut adalah suatu proses perubahan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu dan pilpres serentak demi memperkuat sistem presidensial, sistem check and balance, dan efisiensi biaya demi kesejahteraan umum dan sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui  proses konstitusional tanpa perlu menimbulkan keributan besar. Tujuan ini terang dapat dibenarkan secara moral.  

Dengan terpenuhinya syarat- syarat legitimasi hukum, sosiologis, dan moral, tidak ada alasan untuk meragukan legitimasi konstitusional Pemilu 2014. Tantangan terhadap legitimasi akan muncul jika penyelenggaraan pemilu dan pilpres penuh kecurangan yang masif dan sistemik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar