Soebagijo
IN : Sejarawan Pers Indonesia
Parni
Hadi ; Wartawan, Aktivis
sosbudling, Pendiri Dompet Dhuafa Republika
|
SINAR
HARAPAM, 18 Februari 2014
Menjadi
wartawan, sastrawan, dan seniman pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945)
harus pandai menyamarkan maksud sesungguhnya apa yang ingin disampaikan.
Jika
tidak, nyawa adalah taruhannya. Itulah yang dilakukan Soebagijo Ilham
Notodijojo (5 Juli 1924-17 September 2013), yang terkenal dengan nama pena
Pak SIN (singkatan namanya).
Untuk
menyampaikan kerinduannya pada kemerdekaan Indonesia, Soebagijo menggubah
sebuah syair dalam bahasa Jawa berjudul “Kekasihku”, yang dimuat Panji
Pustaka No 17, 1 September 1944. Dengan bahasa yang mendayu-dayu sebagaimana
layaknya pemuda sedang dimabuk cinta, bait terakhir puisinya berbunyi sebagai
berikut:
Ing telenging pangangen-angen
Banget anggonku kapang kangen
Kepengin weruh wujudmu kang sanyata,
Dhuh kekasihku,
Kamardikaning bumi Nusantara!!!
(Di lubuk hatiku//sangat saya rindu//ingin
tahu wujudmu yang nyata//Dhuh kekasihku//Kemerdekaan bumi Indonesia).
Kekasihku yang dimaksud dalam puisi ini adalah kemerdekaan Indonesia. Ia
menulis puisi ini pada usia 20 tahun. Sungguh satu keberanian dan kepiawaian
luar biasa! Jika penguasa Jepang tahu maksud sesungguhnya, nyawa Soebagijo
ditentukan samurai Kempetai (polisi militer Jepang).
Seorang
seniman ludruk (teater tradisional Jawa Timur), Cak Durasim, mengalami nasib
itu. Gara-gara parikan (pantun dalam bahasa Jawa), yang berbunyi : “Pagupon omah dara, melu Nipon tambah
sengsara” (Pagupon rumah burung
dara, ikut Nipon tambah sengsara), lehernya dipenggal Kempetai.
Peran
Sastra Daerah
Jangan
anggap remeh peran penerbitan dan sastra dalam bahasa daerah! Pada zamannya
pers dalam bahasa Jawa dan Sunda, misalnya, sangat berpengaruh dalam
menggelorakan semangat perjuangan menuju Indonesia merdeka dan mempertahankan
kemerdekaaan Republik Indonesia.
Majalah
Panyebar Semangat yang terbit di
Surabaya adalah salah satu contohnya. Majalah ini terbit pertama pada 2
September 1933 atas prakrasa Dr Soetomo, seorang dokter, tokoh pergerakan,
guru, pendiri Boedi Oetomo, dan sekaligus wartawan. Majalah mingguan itu
masih terbit sampai sekarang atau sudah berusia 81 tahun.
Karena
jasa besar Dr Soetomo yang lahir di Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, kepada
perkembangan jurnalistik di Indonesia, namanya diabadikan menjadi Lembaga
Pendidikan Dokter Soetomo (LPDS), yang dikelola PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia).
Soebagijo
muda menerjunkan dirinya menjadi wartawan Panyebar Semangat. Ia pernah
menjadi pengasuh rubrik anak-anak “Taman Putera”. Maklum, seperti ayahnya, ia
berpendidikan guru. Pada 1946, ia menjadi pemimpin redaksi majalah Api
Merdeka dan Jiwa Islam. Pada tahun yang sama, ia bergabung dengan Kantor
Berita Antara di Yogyakarta. Ia pembela Pancasila dan anggota Manifesto
Kebudayaan.
Sejak
di bangku sekolah, Soebagijo, yang lahir di Blitar, Jawa Timur, rajin menulis
puisi, cerita pendek, cerita spionase, dan artikel yang dikirim ke berbagai
majalah dan surat kabar daerah dan nasional. Banyak buku telah ditulisnya,
termasuk biografi tokoh-tokoh nasional, seperti Bung Karno dan Bung Hatta.
Profesi
sebagai wartawan dan pengarang ini digelutinya sampai ia wafat pada usia 89
tahun. Soebagijo yang hidup sederhana selalu merasa bersyukur atas rezeki
yang diterimanya. Selalu cukup, katanya.
Pustakawan
dan Sejarawan Pers
Pada
1957, Soebagijo diundang menghadiri Sidang Umum PBB bersama dua wartawan
Indonesia lainnya, yakni Djamaludin Adinegoro dan Gusti Emran. Setelah
sidang, mereka diberi kesempatan mengunjungi berbagai negara bagian AS.
Sebuah kesempatan langka untuk wartawan Indonesia saat itu.
Soebagijo
dipercaya menjadi kepala perwakilan Antara di Beograd, ibu kota Yugoslavia,
tahun 1966-1968. Sepulang dari Beograd, ia menjadi Kepala Bagian
Perpustakaan, Riset, dan Dokumentasi Antara sampai pensiun tahun 1981.
Di
sini lah Pak SIN mengembangkan hobinya sebagai kolektor dan dokumentator
risalah tentang pers dan tentu saja penulis buku. Rumahnya pun penuh dengan
koleksi ribuan buku dengan berbagai macam topik dan judul.
Salah
satu karya monumentalnya adalah buku Jagat
Wartawan, ensiklopedia pers
Indonesia yang berisi riwayat tokoh-tokoh pers dan penerbitan sejak
sebelum zaman kemerdekaan.
Di
buku itu ada nama Saeroen, Mas Marco, dan Sam Ratoelangie. Buku inilah yang
menobatkan Pak SIN sebagai sejarawan pers Indonesia. Ia tempat bertanya
tentang sejarah pers nasional dan sastra Jawa bagi penyusun tesis dan
disertasi dari dalam dan luar negeri.
Salah
satu nasihatnya kepada wartawan-wartawan muda yang selalu saya ingat adalah: “Jangan hanya menjadi wartawan, tapi juga
pengarang buku.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar