Miskinkan
Koruptor Bukan Mimpi
Marwan
Mas ; Guru Besar
Ilmu Hukum dan Pengajar
Hukum Acara MK
Universitas 45, Makassar
|
SINAR HARAPAN, 18 Februari 2014
“Salah satu cara memiskinkan koruptor adalah melipatgandakan hukuman
pembayaran uang pengganti.”
Jika menyelisik sepak terjang mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dalam mengatur perkara sengketa
pemilihan kepala daerah dengan imbalan uang, rasanya kita bergidik sekaligus
meradang.
Begitu pula, kasus Bank Century yang
menimbulkan kerugian keuangan negara Rp 6,7 triliun, tetapi belum ditemukan
pelaku intelektualnya, yang menurut pemberitaan bercokol di ranah kekuasaan.
Ditemukan pula kongkalikong pada kasus-kasus
korupsi yang melingkari episentrum politik dan kekuasaan.
Itu misalnya kasus Gubernur Banten Ratu Atut
Chosyiah dan keluarganya, korupsi kasus Hambalang yang menjerat mantan mantan
Menteri Pemuda dan Olahraha (Menpora) Andi Alifian Mallarangeng dan mantan
Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, hingga kasus SKK Migas yang
menyeret banyak nama elite politik dan kekuasaan.
Tentu masih banyak kasus lain dengan pola yang
mirip, mengakali uang rakyat untuk kepentingan sendiri dan keluarga. Data
yang dikemukakan ini hanya menunjukkan, betapa negeri ini diurus orang-orang
yang sakit jiwa. Namun, separah itukah penyakit aparat hukum dan
penyelenggara negara yang seenaknya mempermainkan hukum?
Besarnya kerugian keuangan negara yang
ditimbulkan tentu saja menyakiti hati rakyat yang masih banyak hidup di bawah
garis kemiskinan. Tetapi, secanggih apa pun modus yang dirancang mengakali
anggaran, akhirnya terendus juga oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau
kepolisian dan kejaksaan.
Jangan Pesimistis
Intinya tetap sama, para koruptor tidak punya
hati nurani dan rasa malu lantaran menzalimi hak-hak rakyat. Kritikan dan
kampanye antikorupsi hanya dilakukan aktivis antikorupsi, akademikus
antikorupsi, media antikorupsi, dan sebagian elemen civil society. Jadi, wajar
banyak kalangan yang pesimistis bahwa perang terhadap korupsi tidak akan
pernah dimenangkan.
Namun, kita tidak boleh pesimistis sebab KPK
giat memburu dan menyita harta tersangka dengan menggunakan Undang-Undang
(UU) Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU).
Setidaknya, ini cukup efektif memburu harta
hasil korupsi yang disamarkan atau dialihkan kepada pihak lain. Kita
berharap, kejaksaan dan kepolisian juga melakukan hal yang sama agar ada efek
takut bagi calon koruptor untuk mewujudkan niatnya.
Memang istilah “memiskinkan koruptor” tidak
dikenal dalam ranah hukum, seperti kritikan advokat senior, Adnan Buyung
Nasution, saat wawancara dalam acara Indonesia
Lawyes Club di TV One, Selasa (21/1). Tetapi, itu perlu dilakukan sebagai
langkah progresif bagaimana koruptor dibuat tobat dengan menyita semua uang
dan harta negara yang ditilapnya.
Istilah memiskinkan koruptor menggema di ruang
publik karena dipopulerkan para aktivis, akademikus, dan media antikorupsi.
Ia adalah pakem sosial bagi koruptor yang begitu serakah mencuri uang rakyat.
Rakyat sudah muak oleh ulah mereka sehingga upaya memiskinkan hanyalah kata
lain dari penjatuhan sanksi maksimal. Tetapi tidak boleh melanggar hukum
sehingga langkah KPK dan aparat hukum lainnya harus tetap diawasi dan
dikritik jika mulai melenceng.
Hakim agung Artidjo Alkostar (Tempo.com, 2/1/2014) menyebutkan,
salah satu cara memiskinkan koruptor adalah melipatgandakan hukuman
pembayaran uang pengganti.
Artidjo sering menggandakan hukuman dengan
membetulkan atau meluruskan pasal yang diterapkan pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi. Sebagai contoh, mereka memakai pasal suap pasif, padahal
yang tepat pasal suap aktif. Contoh koruptor yang diberatkan hukumannya
adalah Angelina Sondakh dengan pidana uang pengganti Rp 12,58 miliar dan US$
2,35 juta.
Namun, upaya ini bisa “hanya mimpi” atas adanya Surat Edaran Jaksa Agung Nomor
B-113/F/Fd.1/05/2010, tertanggal 18 Mei 2010, yang meminta kejaksaan tinggi
agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat yang dengan kesadarannya telah
mengembalikan “kerugian keuangan negara” yang nilainya kecil perlu
dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice (Media Indonesia, 28/1/2014). Surat
edaran itu bukan hanya merusak tatanan hukum, melainkan juga menodai rasa
keadilan masyarakat.
Alasan itu berseberangan dengan Pasal 4 UU
Nomor 31/1999, diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU Korupsi). Pasal tersebut menegaskan, pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya
pelaku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pengembalian kerugian keuangan negara
hanya salah satu faktor yang meringankan. Pasal 12A ayat (2) UU
Korupsi malah tetap mengancam penjara tiga tahun dan denda Rp 50 juta bagi
pelaku korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5 juta. Itu jika melanggar Pasal
5 sampai Pasal 12 UU Korupsi yang berkaitan dengan suap dan penggelapan uang
negara.
Bukan Dendam
Upaya KPK kerap dipandang hanya menarik
simpati publik. KPK dianggap momok oleh sebagian penyelenggara negara atas
langkah radikalnya menyita harta tersangka. Padahal, penyitaan ada dasarnya,
dibuktikan dalam sidang pengadilan. Tak satu pun kasus yang ditangani KPK
dibebaskan, dan harta yang disita dianggap sah karena terdakwa tidak mampu
membuktikan diperoleh secara sah.
Lantaran korupsi sudah masuk kategori “penyakit menular” dari satu pejabat
ke pejabat lainnya, dari pejabat kepada pengawas, mimpi koruptor dimiskinkan
harus menjadi realitas. Jika meniru China yang berani menjatuhkan pidana
mati, boleh jadi korupsi surut, meski banyak pengamat hukum yang menyebut
hukuman mati tidak memiliki korelasi dengan menurunnya tingkat kejahatan.
Namun yang pasti, Negeri Tirai Bambu sudah membuktikan,
hukuman mati bagi koruptor membawa dampak signifikan terhadap menurunnya
perilaku korupsi.
Para pejabat China mulai takut berkorupsi.
Memang ini akan membuat banyak kalangan merasa ngeri, seolah ada dendam pada
koruptor dan lebih memilih mendahulukan pengembalian keuangan negara. Hal
yang ideal adalah menjatuhkan pidana penjara yang tegas sekaligus
mengembalikan kerugian keuangan negara.
Gagasan memiskinkan koruptor bukanlah mimpi,
apalagi upaya balas dendam. Ini bertujuan koruptor menyadari kesalahannya,
yang dilakukan itu melanggar hak-hak sosial ekonomi rakyat. Sekiranya, uang
negara diurus dengan benar, dipastikan rakyat lebih efektif merasakan
sentuhan bagaimana menikmati uang yang dikorup itu untuk kesejahteraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar