Sinabung
dan Pangan Pengungsi
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara;
Pendiri dan
Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
|
KORAN
SINDO, 05 Februari 2014
Gunung Sinabung menelan korban
jiwa. Gunung yang tidur selama 400 tahun ini memuntahkan awan panas dan
menewaskan lebih dari 15 orang pada Sabtu, 1 Februari 2014.
Gunung Sinabung sejak September
2013 kembali aktif. Sulit diprediksi kapan lereng dan lembah Gunung Sinabung
kembali aman. Para ahli hanya bisa terus memantau aktivitas Sinabung dari
alat yang dipasang di perut gunung tersebut. Informasi tentang aktivitas Gunung
Sinabung secara rutin setiap enam jam dilaporkan Badan Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi kepada Pemerintah Kabupaten Karo dan Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara sebagai bahan pertimbangan menangani 23.510 pengungsi
yang saat ini masih tertahan di tempat-tempat penampungan sementara.
Kerugian
besar
Warga yang tinggal dalam radius
enam kilometer dari puncak Gunung Sinabung sudah mengalami kerugian yang
tidak sedikit dan belum diperbolehkan kembali ke rumah mereka. Gunung
Sinabung masih berpotensi meletus lagi setelah bangkit dari “tidur” selama
ratusan tahun. Masyarakat patut dibiasakan bersahabat dengan aktivitas gunung
berapi di lingkungan mereka lewat pembekalan informasi dan prosedur memadai
untuk mitigasi bencana.
Masyarakat yang telah lama
menikmati kehidupan damai di sana patut mendapatkan pelatihan terus menerus
tentang evakuasi dan penanganan bencana letusan gunung berapi. Semburan
erupsi Gunung Sinabung sudah membuat banyak pihak kewalahan, mulai warga yang
menjadi korban, pemerintah yang kedodoran menangani, hingga masyarakat umum
yang terkena dampaknya. Warga yang seharihari menjadi petani di seputar
lereng Sinabung, secara kumulatif sudah mengalami kerugian sangat besar meski
sebenarnya tak mudah mengalkulasi nilainya.
Umumnya kerugian yang bisa
dilaporkan biasanya tak sampai 50% dari kerugian sebenarnya. Berapa kerugian
materi yang dialami warga pertanian akibat letusan Gunung Sinabung? Lahan
pertanian pangan dan hortikultura yang mengalami puso seluas 10.000 hektare
yang menimbulkan kerugian sekitar Rp1 triliun. Jika dibandingkan dengan
bencana lain, seperti kerugian tsunami Aceh (2004) sekitar Rp40 triliun dan
gempa Yogyakarta (2006) sebesar Rp 21 triliun, jumlah kerugian Gunung
Sinabung masih relatif lebih sedikit.
Namun diperkirakan, erupsi Gunung
Sinabung masih berlanjut dan kerugian masih bisa membengkak sehingga patut
dipetakan lebih konkret. Banyak lahan pertanian dan peternakan yang
ditinggalkan warga dan sudah pasti mendatangkan kerugian material yang besar.
Selain kerusakan fisik dan kerugian material, jatuhnya korban jiwa pada Sabtu
lalu patut membuat pemerintah bekerja lebih profesional untuk memberi
pelayanan yang terbaik pada pengungsi di tempattempat pengungsian.
Bantuan kebutuhan dasar seperti
makanan bergizi tinggi harus diupayakan secara berkelanjutan agar pengungsi
terhindar dari kelaparan tersembunyi (hidden
hunger). Tubuhnya tampak normal, tetapi mereka sebenarnya sedang
mengalami defisit zat gizi mikro (vitamin dan mineral).
Pangan
Darurat
Bencana gunung meletus menjadi
bagian dari realitas hidup sebagian besar warga di berbagai daerah. Di
Indonesia tercatat ada 127 gunung api aktif dan 19 di antaranya berstatus
waspada (level II). Hanya ada satu berstatus awas (level IV), yaitu Gunung
Sinabung. Makna dari status waspada adalah adanya kenaikan aktivitas di atas
level normal. Dari bencana Gunung Sinabung, kita diajak belajar bagaimana
membantu meringankan penderitaan korban bencana alam di kamp pengungsian.
Selain air mata kesedihan akibat kehilangan
harta benda, para korban acap terjebak dalam situasi yang mengancam
keselamatan hidup akibat defisit pangan dan gizi. Banyak dari mereka dalam
kondisi lemas karena kurang makan. Jika tidak ada upaya serius dan sistematis
mengurus makanan pengungsi, dapat dipastikan pengungsi anak-anak, ibu hamil
dan ibu menyusui akan mengalami kekurangan gizi dan kelaparan.
Masalah kelaparan di pengungsian
harus diatasi dengan pemberian pangan darurat (Emergency Food Product, EFP). Pemberian pangan darurat yang bersifat
ready to eat diperlukan pada kondisi hidup tidak normal. Produk tersebut
tidak sekedar pengganjal perut tetapi mampu memasok energi dan gizi dalam
jumlah yang cukup seperti makanan lengkap. Sayangnya, mi instan acap menjadi
makanan “pokok” bagi para pengungsi. Satu takaran mi instan mengandung energi
sekitar 300 kalori.
Jumlah kalori ini hanya memenuhi
sekitar 10 hingga 15% dari kalori yang dibutuhkan oleh para pengungsi orang
dewasa. Pemberian mi instan pada korban yang mengalami beban fisik dan
kelelahan mental akan menurunkan daya tahan dan vitalitas pengungsi. Ditambah
lagi dengan kandungan bahan aditif seperti zat penyedap dan pengawet dapat
berdampak buruk bagi kesehatan mereka. Tidak menutup kemungkinan bahwa mi
instan yang diberikan sudah kedaluwarsa karena faktor distribusi yang cukup
jauh dari sumber bantuan ke lokasi pengungsian.
Hal ini bisa menambah beban
masalah bagi pengungsi karena bisa mengakibatkan diare akibat keracunan
makanan. Secara definitif, pangan darurat adalah produk pangan olahan yang
dirancang khusus untuk dikonsumsi pada situasi yang tidak normal seperti
perang, gunung meletus, gempa bumi, banjir, tsunami, dan kejadian lain yang
mengakibatkan warga tidak dapat hidup secara normal. Produk pangan darurat
tidak dikonsumsi pada keadaan normal. Selain karena komposisi gizinya yang
khusus dan harganya yang relatif mahal, pangan darurat berbeda secara gizi
dengan makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Komposisi gizi pangan darurat
harus diformulasikan secara inovatif untuk memenuhi kebutuhan gizi harian
para pengungsi. Yang patut diperhatikan dalam inovasi dan pengembangan pangan
darurat adalah sifat produknya yang padat gizi dan mampu mengembalikan
kebugaran akibat kelelahan fisik dan mental.
Spesifikasi mutu pangan darurat harus
memenuhi tujuh syarat berikut, yakni 1) dapat diterima oleh semua etnik dan
semua agama; 2) dapat dikonsumsi langsung tanpa perlu proses memasak; 3)
memenuhi kebutuhan kalori untuk usia di atas enam bulan dengan acuan 2100
kal/hari; 4) mempunyai gizi makro (karbohidrat, protein, dan lemak) dan gizi
mikro (vitamin, mineral dan antioksidan) yang memadai; 5) tidak menggunakan
bahan yang dapat menimbulkan alergi pada orang tertentu; 6) dapat dijatuhkan
dari udara tanpa merusak produk; 7) memiliki kestabilan dalam rasa dan aman
dikonsumsi.
Indonesia yang kerap dilanda
bencana, di masa datang harus memiliki pangan darurat berbahan baku lokal.
Pangan lokal yang dapat diandalkan untuk direformulasi antara lain adalah ubi
jalar, pisang, singkong, dan sagu. Dengan inovasi lewat sentuhan teknologi
pangan, produk ini bisa diperkaya dengan kandungan lemak, protein, mineral
dan vitamin antioksidan.
Hasilnya
dapat menjelma menjadi pangan darurat siap santap dan bisa diandalkan untuk
makanan fungsional bagi pengungsi yang kerap mengalami stres oksidatif
tingkat tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar