Membaca
Pikiran Megawati
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di
Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
05 Februari 2014
”Megawati adalah lembar tak terbuka diiringi diam dan hemat
kata. Semakin keputusan dinanti, semakin akhir kata terang biasanya didapati.
Orang-orang belajar dari sikapnya, lebih banyak dari perkataan dan
retorikanya. Cukup lama dia geming membatu, menyindir kekuasaan yang penuh
ragu. Visinya tak selalu mudah dimengerti, gagasannya lebur di dalam aksi
partai. Megawati hidup di era kesaksian, bukan pengumbar jurus pencitraan. Di
kala partai ramai-ramai berkoalisi, Megawati sedikit dari yang tak terbeli.
Kini keputusan Megawati dinanti, apakah akan maju kembali atau mengucap
permisi.”
Untaian kata yang amat
indah itu diutarakan Najwa Shihab di akhir bincang-bincangnya dengan Megawati
Soekarnoputri pada acara Mata Najwa di Metro TV, Rabu, 22 Januari 2014.
Kata-kata puitis itu sungguh menggambarkan bagaimana sosok Megawati
Soekarnoputri.
Mega memang sosok
pribadi yang tegas dan selalu melangkah dalam perhitungan politik yang sulit
ditebak. Ia bicara dan bertindak sesuai dengan hati nuraninya, bukan karena
perhitungan politiknya semata, melainkan juga didukung oleh pengalaman-pengalaman
politiknya yang kelam di masa lalu. Ia bukan sosok pemimpin politik yang
bodoh karena hanya lulusan SMA. Tak banyak orang tahu bahwa ia dipaksa untuk
tidak kuliah lagi di sebuah universitas ternama di kota kembang oleh seorang
rektor yang kebetulan sama-sama berideologi nasionalis.
Mega mengalami
manisnya kekuasaan saat ayahnya menjadi presiden pertama RI atau saat ia
sendiri menjadi wakil presiden dan kemudian menjadi presiden ke-5 RI. Namun,
ia juga mengalami betapa pedihnya saat ayahnya dan ia sendiri menjadi target
operasi dari tangan-tangan penguasa di negeri ini, baik pada era Orde Baru
maupun era Reformasi. Karena itu, jangan heran jika Mega tidak jarang
melangkah secara hati-hati.
Mega tentunya tak akan
pernah lupa isi surat wasiat yang ditulis Bung Karno di tahanan rumah di
Wisma Yaso (kini Museum Tentara Nasional Indonesia Satria Mandala, Jakarta),
Februari 1970. Bunyinya: ”Anakku,
simpan segala yang kau tahu. Jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada
rakyat, biarlah aku yang menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu. Ini
kulakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa. Jadikanlah
deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seseorang Presiden ada
batasnya karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas
segalanya adalah kekuasaan Tuhan yang Maha Esa”.
Bagi Mega, persatuan,
kesatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa adalah segalanya. Ia tentunya juga
tak lupa bait lagu ”Indonesia Raya” yang mengajak seluruh bangsa Indonesia
agar ”bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya untuk Indonesia Raya”. Tidaklah mengherankan jika keinginan,
cita-cita, dan mata hati Mega, seperti yang diungkapkannya kepada Najwa
Shihab, adalah Indonesia Raya.
Dua untaian kata,
Indonesia Raya, sungguh merasuk kembali ke dalam kalbu rakyat Indonesia. Ini
bisa dilihat dari resonansi yang terjadi setelah Mata
Najwa ditayangkan 22 dan 23 Januari 2014. Hitungan dengan Twetreach
menunjukkan ada lebih dari 1.600 tweets yang mengutip Indonesia
Raya, menjangkau 6,4 juta akun Twitter dan menghasilkan 8,7 juta terpaan
balik. Tayangan ulang pada 25 Januari menambah kembali 800 resonansi
pembicaraan mengenai Indonesia Raya, menjangkau 700.000 Twitter, dan
menghasilkan 3 juta terpaan balik.
Tahun penentuan
Mega juga sadar 2014
adalah tahun penentuan bagi masa depan bangsa
Indonesia apakah kita mampu menyatukan langkah untuk Indonesia Raya atau kita akan tetap menjadi ”Bangsa Kuli” yang sebagian elite politik dan pengusahanya menjadi komprador asing. Karena itu, menentukan siapa calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung PDI-P bukan persoalan gampang bagi dirinya.
Ketika tak sedikit
lembaga survei menyatakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menduduki
peringkat teratas sebagai bakal capres pilihan rakyat, Mega tetap bergeming.
Demokrasi bukan hanya hitungan angka, melainkan juga memilih pemimpin yang
berkarakter kebangsaan. Bagi Mega, tampaknya memilih presiden bukan seperti
memilih bintang sinetron atau penyanyi pilihan pemirsa televisi.
Seorang pemimpin
bangsa yang berkarakter bukan saja memiliki hati nurani, mampu menggerakkan
rakyat untuk Indonesia Raya, mau bekerja keras untuk rakyat, mau dekat dengan
rakyat, melainkan juga harus memiliki ideologi nasionalisme yang kuat dan
paham betul Trisakti-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, berdikari
secara ekonomi, dan berkepribadian bangsa).
Tak heran apabila Mega
dalam banyak kesempatan selalu mengajak Jokowi menyambangi rakyat di sejumlah
wilayah, bukan saja sebagai bagian dari pendidikan politik buat Jokowi,
melainkan juga untuk menilai apakah Jokowi siap memimpin bangsa ini. Jokowi
memang terlalu cepat menjadi capres karena itu harus didampingi seorang
negarawan senior yang dapat diterima seluruh bangsa Indonesia. Dari
berbagai pilihan, bukan mustahil Jusuf Kalla adalah pendamping Jokowi yang
paling tepat.
Mengapa Mega belum
mendeklarasikan capres/cawapres PDI-P? Ada beberapa penyebab, antara lain,
Mega tidak ingin capres/cawapres PDI-P akan menjadi sasaran tembak dari
berbagai upaya kecurangan pemilu. Kecurangan dapat saja dilakukan aparat
pelaksana dan pendukung pemilu seperti dari Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), birokrasi pemerintahan dari pusat sampai
daerah, aparat pertahanan dan keamanan negara (TNI, Polri dan intelijen
negara), dan panitia pemilu di TPS-TPS.
Tahun pemilu ini bukan
hanya tahun penentuan, melainkan juga tahun saat kita sebagai bangsa dapat
membangun kembali karakter bangsa, termasuk aparat negara untuk berani
menyerempet bahaya (vivere pericoloso)
sesuai dengan hati nuraninya menyingkirkan semua yang jadi penghalang (rawe-rawe rantas, malang-malang putung)
bagi berkembangnya demokrasi dan kejayaan negeri ini.
Tak mau menodai pemilu
Kita tidak sedang
hidup dalam suasana yang berbahaya atau menakutkan seperti yang digambarkan
penulis Australia, Christopher Koch, dalam buku (kemudian difilmkan) The Year of Living Dangerously mengenai
situasi Indonesia menjelang 30 September 1965. Kita juga tidak dalam situasi
politik yang memperhadapkan ideologi Pancasila dan Islam seperti pada era
1950-an dan era Orde Baru.
Dalam konteks itu,
Megawati mirip dengan Bung Karno yang tak mendikotomikan nasionalisme dan
Islam. Apabila Soekarno dulu memberi kesempatan kepada tokoh Masyumi,
Mohammad Natsir, untuk membentuk kabinet pada 1950, Megawati selalu
memikirkan bagaimana memberi peran kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
dalam politik Indonesia kini dan masa depan. Megawati juga mirip dengan PM
Burhanuddin Harahap yang, ketika berada di puncak kekuasaannya, tak ingin
menodai pemilihan umum yang demokratis pada 1955 dan 2004 hanya demi
kelanggengan kekuasaan diri atau partainya.
Apabila bacaan penulis
atas pikiran politik Megawati benar, bukan mustahil pada saat yang tepat ia
memutuskan ”bukan untuk maju kembali”,
melainkan ”mengucap permisi” dan
memberi jalan bagi Jokowi memimpin negeri ini. Semua ini demi Indonesia Raya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar