HMI
untuk Rakyat
Muhammad Arief Rosyid Hasan ; Ketua Umum Pengurus Besar (PB)
Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) 2013-2015
|
KORAN
SINDO, 05 Februari 2014
Hari
ini, 5 Februari 2014, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menginjak usia 67 tahun.
Berdiri di Yogyakarta, ibu kota negara di masa darurat, kelahiran HMI hanya
terpaut delapan belas bulan lebih muda dari proklamasi republik Indonesia.
Agaknya bukan kebetulan sejarah jika Lafran Pane bergegas memelopori pendirian sebuah organisasi dengan basis mahasiswa muslim, saat republik di usia mudanya membutuhkan tenaga segar untuk menahan rongrongan agresi Belanda. Nurcholish Madjid (1968) yang lahir belakangan, menyebut seniornya, Lafran Pane, sebagai tokoh besar dengan pandangan yang melenting jauh ke depan, karena memandu kesadaran keindonesiaan dan keislaman di kalangan inteligensia muda, tanpa mempertentangkan keduanya. Berbekal kesadaran ini, silih berganti generasi HMI bersaksi atas jatuh dan bangunnya republik. HMI ikut memanggul senjata saat revolusi pasca-kemerdekaan, ikut mendukung demokrasi parlementer, dan berseteru dengan PKI saat mereka di atas angin. HMI mendirikan dan menjaga negara Orde Baru, namun juga berdiri di barisan depan demonstrasi mahasiswa yang memaksa Soeharto berhenti sebagai presiden, mengawali era Reformasi. Lingkungan yang Berubah HMI terdiri dari suatu realitas majemuk yang berisi sejumlah besar anak muda terdidik. Memiliki 400 ribu kader yang beraktivitas di hampir 200 cabang dari Papua hingga Aceh, sejak sunyi pelosok desa sampai ingar-bingar kota metropolitan. Secara organis, kader-kader HMI adalah pemuka bagi mobilitas sosial di lingkungannya masing-masing. Namun, sekian lama menjadi karib negara dalam rezim developmentalisme Orde Baru, membuat kekuasaan (power) menjadi nalar utama yang bekerja dalam tubuh organisasi. Model mobilitas ini semakin subur di era demokratisasi, ketika sumber daya politik terbagi-bagi dan kesempatan untuk berkuasa semakin terbuka. Yang disayangkan adalah seringkali kehendak untuk berkuasa malah menabrak prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Kentalnya ikatan historis yang dilembagakan melalui tradisi kekeluargaan di dalam organisasi, membuat HMI terasa lamban bergerak, saat desakan perubahan memergoki setiap saat. Padahal kondisi yang berubah cepat, dengan berbagai warna dan dinamikanya, menuntut kemampuan adaptasi dan menciptakan peran serta kiprah baru yang relevan dan produktif. Kita tentu tak ingin terjebak dalam suatu skenario dinosaurus, di mana HMI semakin meraksasa, namun bergerak makin lamban. Saat segalanya di seputar HMI telah berubah, ia tetap bersikukuh mempertahankan cara-cara lama yang tunaproduktif, sambil menunggu giliran untuk digilas zaman. Mengawal Demokrasi Usman Hamid (2012) menyebut Indonesia saat ini sudah selayaknya diberi nama Indonesia pasca-Reformasi. Impianimpian Reformasi 1998 sudah berakhir. Periode perubahan rezim sudah berlalu dan menghasilkan banyak perubahan: kebebasan sipil-politik yang meluas, luruhnya supremasi militer, dan bangkitnya politik sipil melalui sistem multipartai. Perubahan rezim kekuasaan dilaksanakan melalui jalan damai yang terencana dan dilaksanakan secara berkala. Indonesia telah berada di jalur konsolidasi demokrasi. Pun sering dipuji sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan negara muslim demokratis terbesar di dunia. Namun posisi itu bukan jaminan bahwa bangsa Indonesia akan sampai pada cita-cita bersama. Menurut Robert Dahl (1998) tantangan terbesar menuju demokrasi yang bermutu tinggi adalah masalah pembagian sumber daya politik yang tidak merata. Secara ideal mestinya setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan kebijakankebijakan penting yang diambil negara. Celakanya, sumber daya politik yang tersumbat di kalangan elit membuat demokrasi tak bisa memenuhi janji sebagai sistem sosial di mana rakyat (demos) adalah pemegang daulat (kratos) yang sebenarnya. Demokrasi kita belakangan malah ditengarai kental bercorak elitis, memisahkan para pelaku dan pegiat demokrasi berdasar peran fungsional, bukan substansial. Keganjilan praktek demokrasi kita ditandai dengan munculnya oligarki yang melulu melayani kepentingan segelintir elite di atas prioritas kebutuhan rakyat. Kinerja lembaga-lembaga demokrasi yang semakin rendah sejalan dan sebangun dengan merosotnya harapan rakyat terhadap prosedur demokrasi, menjurus ketidakpercayaan seperti terlihat pada peningkatan jumlah golput dalam banyak pilkada. Jika tak ada kesungguhan melakukan introspeksi dan beranjak menuju penguatan kelembagaan demokrasi, bukan tidak mungkin cita-cita konsolidasi demokrasi menuju kesejahteraan rakyat ke depan hanya hidup di angan-angan. Salah satu simpul kritis dalam tahapan konsolidasi demokrasi adalah tampilnya kelas pembaharu yang berperan sebagai pendorong dan pengawal demokratisasi. Demokrasi harus diukur secara substantif dan tak sebatas aspek prosedural seperti pemilihan umum. Tanpa kehadiran kelas pembaharu, proses demokratisasi hanya akan menghasilkan demokrasi yang berjalan tanpa sukma keadilan. Konsolidasi demokrasi melalui penguatan kelembagaan demokratis dan pembagian sumber daya politik rakyat melalui kerja-kerja emansipasi adalah medan perjuangan HMI yang mendesak untuk dilaksanakan. Karena itu inilah saatnya mobilitas HMI dikembalikan ke tengah-tengah rakyat. Kehendak untuk mendorong keluarga besar HMI ke tampuk kekuasaan, harus diimbangi dengan rasionalisasi mengapa kekuasaan itu perlu diperjuangkan, yaitu keberpihakan pada perbaikan nasib rakyat kebanyakan. Dalam hal ini HMI dapat bekerja memperkuat masyarakat madani (civil society) sebagai pengimbang kekuasaan negara dan pasar. Turunannya adalah upaya meningkatkan kapasitas warga, sehingga mampu berdaya dalam mobilitas ekonomi-politik. Dengan mengisi ruang kosong dalam sistem demokrasi, tentunya peran HMI semakin menemukan relevansinya dengan keinginan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Selaras dengan ini, HMI akan tetap hidup dan terus mampu menjalankan tugas sejarahnya, jika secara sungguh-sungguh mengonsentrasikan diri pada aktivitas perkaderan yang ditujukan kepada lahirnya kelas pembaharu yang mempunyai kedalaman akademik-intelektual, kemahiran komunikasi sosial, keterampilan teknokratis, serta komitmen sosial-politik yang memadai. Generasi HMI yang hadir belakangan tentu tak bisa mengelak dari tugas sejarah ini. Yaitu, untuk menegaskan kembali bahwa HMI selalu berjodoh dengan rakyat. Kerja HMI adalah berjuang demi yang benar, bukan sekedar kekuasaan an sich. Kebenaran yang akan memandu bangsa ini pada cita-cita keadilan dan kemakmuran yang diridai Allah SWT. Yakin Usaha Sampai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar