Pemilu
2014 dan Kualitas Tata Kelola Parpol
Bawono
Kumoro ; Peneliti Politik The Habibie Center
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Februari 2014
DALAM waktu kurang dari
dua bulan ke depan bangsa Indonesia akan menggelar hajatan besar Pemilu 2014.
Selain menjadi momen transformasi kepemimpinan nasional pascasatu dasawarsa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemilu kali ini juga
diharapkan dapat melahirkan perbaikan dan peningkatan kualitas kehidupan
demokrasi di Indonesia.
Namun, harapan mulia itu
bukan hal mudah untuk diwujudkan mengingat eksistensi partai politik (parpol)
sebagai salah satu pilar penting kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini
justru tengah menuai badai kritik publik. Hal itu disebabkan parpol memiliki
sejumlah problem akut organisasi, yaitu persoalan tata kelola sebagai
institusi penting penopang kehidupan demokrasi.
Gerakan reformasi 1998
telah melahirkan keterbukaan dan kebebasan untuk mendirikan parpol. Namun,
keterbukaan politik dan kebebasan mendirikan parpol ternyata tidak diiringi
peningkatan kualitas tata kelolanya. Tidak mengherankan jika kemudian publik
memandang parpol sebagai salah satu institusi politik paling tidak dapat dipercaya.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia pertengahan tahun lalu menunjukkan
kepercayaan publik terhadap parpol hanya 31%.
Tidak dapat dimungkiri
kualitas tata kelola parpol masih terbilang sangat rendah. Hal itu dapat
dilihat dari belum teraktualisasikannya empat dimensi institusionalisasi
parpol. Parpol dapat dikatakan telah terinstitusionalisasi dengan baik bila
memiliki ketangguhan, daya tahan, mampu menghadapi krisis, dan menyuguhkan
pemerintahan alternatif dapat dipercaya rakyat (Netherlands Institute for Multiparty Democracy, 2004: 12)
Sementara itu, menurut
Scott Mainwaring, ada empat dimensi institusionalisasi parpol. Pertama, di
dalam partai yang telah mengalami institusionalisasi terdapat pola kompetisi
politik yang stabil. Tidak ada dominasi personal dari seorang elite politik.
Kedua, di dalam sistem yang telah mengalami institusionalisasi parpol miliki
akar kuat di masyarakat. Ketiga, adanya pengakuan dari elite dan warga negara
bahwa parpol ialah hal mendasar dan penting bagi kehidupan demokrasi. Keempat,
di dalam sistem yang telah mengalami ins titusionalisasi par ins
titusionalisasi parpol memiliki struktur internal, prosedur, dan rutinitas
jelas (Mainwaring, 1998: 67-81).
Dominasi
personal
Dengan merujuk empat
dimensi itu, mari kita perhatikan kualitas institusionalisasi parpol di
Indonesia. Ciri pertama dari belum kuatnya institusionalisasi parpol ialah
dominasi personal dari seorang elite politik. Dominasi personal seorang tokoh
melanda hampir seluruh parpol. Partai Demokrat sangat bergantung terhadap
tuah dan petunjuk SBY selaku pendiri partai. Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) memiliki ketergantungan tinggi terhadap Megawati
Soekarnoputri. Pengaruh sosok Prabowo Subianto sangat kuat mewarnai setiap
derap langkah Partai Gerindra.
Ketiadaan ikatan kuat di
tingkat akar rumput merupakan ciri kedua dari belum kuatnya
institusionalisasi parpol. Hal itu pun juga dapat dengan mudah kita temukan
dalam diri partai-partai politik di Indone sia. Hasil survei Pol Tracking Institute tentang
Kecenderungan sikap dan perilaku pemilih dalam Pemilu Legislatif 2014
mengonfirmasikan hal tersebut. Melalui survei itu terungkap 64% pemilih
merasa tidak memiliki kedekatan dengan parpol tertentu.
Ideologi parpol di
Indonesia yang cenderung tidak jelas juga menjadi sebab dari ketiadaan ikatan
kuat terhadap parpol di tingkat akar rumput. Hampir tidak ada perbedaan
menonjol dalam hal garis ideologi antara satu parpol dan parpol lain. Akibat
hal tersebut, pemilih terlampau mudah untuk berpindah-pindah pilihan da lam
setiap pemilu sesuai dengan dinamika sosial politik saat itu.
Dari Pemilu Legislatif
1999 hingga Pemilu Legislatif 2004, PDIP mengalami penurunan perolehan suara
15,5%. Partai Demokrat dari 0% langsung melejit menjadi 7%. Demikian pula dengan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari 1% menjadi sekitar 7%. Lalu dari Pemilu
Legislatif 2004 hingga Pemilu Legislatif 2009, Partai Golkar mengalami
penurunan suara sekitar 8%. Tidak jauh berbeda Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) juga mengalami penurunan suara sekitar 5,5% dan PDIP turun 4,5%.
Sebaliknya, Partai Demokrat melesat naik sebesar 14%.
Ciri ketiga
institusionalisasi parpol berupa adanya pengakuan dari elite dan warga negara
bahwa parpol merupakan hal penting dan mendasar bagi kehidupan demokrasi. Dalam
konteks politik Indonesia mutakhir hal itu mulai terlihat rapuh. Di masa-masa
awal reformasi publik sangat menaruh ekspektasi tinggi terhadap parpol
sebagai harapan bagi perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju arah
lebih baik, tapi kini publik justru merasa sangat kecewa terhadap kinerja
parpol.
Tingkat partisipasi
pemilih yang terus mengalami penurunan dalam setiap pelaksanaan pemilu pada
1999-2009 merupakan cerminan dari hal tersebut. Tingkat partisipasi pada
Pemilu 1999 sebesar 92,6%. Tingkat partisipasi itu kemudian turun pada Pemilu
2004 menjadi 84,1%. Lalu kembali mengalami penurunan pada Pemilu 2009 menjadi
70,9%.
Di samping itu, hasil
survei Indikator Politik Indonesia bahwa kepercayaan publik terhadap parpol
hanya sebesar 31% juga dapat dilihat sebagai gambaran akumulasi rasa kecewa
publik terhadap kinerja partai-partai politik. Alih-alih menjadi harapan bagi
perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara, parpol kini justru lebih menjadi
sumber masalah akibat perilaku korup sejumlah elite dan kader-kader mereka.
Kisruh
internal
Ciri keempat
institusionalisasi parpol berupa kejelasan struktur internal, prosedur, dan
rutinitas parpol belum tampak jelas di Indonesia. Organisasi internal parpol
belum dapat dikatakan baik mengingat cukup banyak terdapat kasus perselisihan
internal yang kemudian berujung pada pemisahan kubu dan pembentukan parpol
baru.
Partai politik yang
seharusnya menjadi institusi utama bagi pembangunan dan pematangan
pengembangan demokrasi sering kali mengalami konflik internal sebagai akibat
tidak berjalannya mekanisme demokrasi di internal setiap parpol. Parpol di
Indonesia belum memiliki tradisi kuat untuk menjalankan organisasi secara
rasional dan demokratis.
Pemaparan itu menunjukkan
parpol di Indonesia belum mengalami institusionalisasi secara baik.
Diperlukan perbaikan-perbaikan mendasar untuk mencapai hal tersebut. Dalam
konteks itu, hemat penulis, penyempurnaan secara terus-menerus terhadap paket
Undang-Undang Partai Politik menjadi penting untuk dilakukan. Di masa
mendatang harus ada UU Parpol yang dapat `memaksa' parpol untuk memperbaiki
berbagai kelemahan struktural mereka selama ini.
UU Parpol harus secara
jelas, terang, dan eksplisit mengenai sanksi menguraikan sanksisanksi yang
akan dikenakan kepada parpol apabila tidak menjalankan amanat UU. Dengan
demikian, ada tekanan kuat kepada parpol untuk serius memperbaiki
kelemahankelemahan struktural mereka. Selain itu, UU Parpol harus memiliki
kesesuaian dengan sistem pemerintahan, sistem pemilu, sistem perwakilan, dan
sistem kepartaian berlaku. Jika dua hal itu dapat diakomodasi UU Parpol di
masa mendatang, harapan untuk memiliki parpol dengan kapasitas
institusionalisasi mumpuni tidak lagi sekadar mimpi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar