Perilaku
Pemilih Dalam Pemilu 2014
Umar S Bakry ; Direktur
Eksekutif Lembaga Survei Nasional (LSN),
Sekjen Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI)
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Februari 2014
PEMILU 2014 sudah di
depan mata. Berbagai pesimisme tentang pelaksanaan Pemilu 2014 berkembang di
masyarakat. Tidak sedikit yang menduga angka golput akan lebih tinggi
daripada Pemilu 2009 mengingat apatisme masyarakat yang meningkat plus berbagai
kendala yang ada di tubuh KPU. Bahkan ada yang mewacanakan sebaiknya
pelaksanaan Pemilu 2014 diundur hingga tuntasnya masalah DPT.
Benarkah kualitas
Pemilu 2014 akan lebih buruk daripada Pemilu 2009 dan 2004? Benarkah
masyarakat tidak lagi memiliki ekspektasi tinggi, hingga membengkaknya angka
golput? Tulisan ini mencoba membahas bagaimana perilaku pemilih (voters behavior) dalam menghadapi
Pemilu 2014 dan prakiraan angka golput pada pemilu legislatif dan pilpres.
Kategori pemilih
Kita harus memahami
dulu tipologi pemilih. Berdasarkan pendekatan tipologi ini, pemilih (voters)
dapat dikelompokkan ke empat golongan, yaitu pemilih rasional (rational voter), pemilih kritis (critical voter), pemilih tradisional (traditional voter), dan pemilih
skeptis (skeptic voter).
Pemilih rasional
adalah pemilih yang punya perhatian tinggi terhadap program kerja partai
politik (parpol) atau kontestan pemilu. Ia melihat kinerja di masa lalu (backward looking) dan tawaran program
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi (forward looking). Pemilih rasional tidak begitu mementingkan
ideologi parpol/kontestan. Faktor seperti asas, asal usul, nilai tradisional,
budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan, tetapi tidak signifi
kan buat mereka. Pemilih jenis itu sangat mudah berganti-ganti pilihan.
Pemilih kritis adalah
yang concern pada program kerja
parpol/kontestan. Namun, dalam melihat program kerja itu mereka menggunakan
paradigma sistem nilai yang mereka yakini. Program kerja parpol atau capres
tidak saja harus sesuai dengan ekspektasi dan permasalahan yang mereka
hadapi, tetapi juga harus selaras dengan ideologi atau sistem nilai mereka. Menurut
Downs, pemilih akan cenderung memberikan suara mereka kepada parpol atau
kontestan yang menawarkan suatu program yang memiliki kesamaan (similarity)
dan kedekatan (proximity) dengan
sistem nilai dan keyakinan mereka.
Pemilih tradisional
adalah pemilih yang memiliki orientasi ideologi dan sistem keyakinan sangat
tinggi. Pemilih jenis itu sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai
(values), asal usul (primordial), agama, dan paham sebagai ukuran untuk
memilih parpol atau capres dalam pemilu. Mayoritas konstituen PKB dan PDIP
dapat dikategorikan ke tipologi pemilih tradisional.
Pemilih skeptis adalah
pemilih yang tidak memiliki orientasi baik kepada ideologi atau sistem nilai
dan program kerja yang ditawarkan. Mereka ialah kelompok masyarakat yang
skeptis terhadap pe milu. Di mata mereka, parpol atau capres yang menang
pemilu tidak akan mengubah keadaan.
Mereka itu potensial menjadi golput politis dalam pemilu.
Newcomb mengintroduksi
sebuah model psikologis untuk menjelaskan perilaku memilih (voting behavior). Menurutnya, ada tiga
variabel yang berhubungan dengan perilaku memilih, yaitu proximity, similarity, dan
attraction. Artinya, ketertarikan (attraction)
seseorang terhadap partai dipengaruhi faktor kedekatan (proximity) dan kesamaan (similarity).
Kedekatan mengacu kepada faktor-faktor ideologis, sedangkan similarity berori
entasi pada program.
Secara umum, studi
mengenai perilaku pemilih di negaranegara demokratis, dapat dibagi ke dua
kelompok, yaitu pendekatan psikologis dan sosiologis. Model psikologis menya
takan perilaku politik para pemilih merupakan cerminan dari tanggapan mereka
terhadap berbagai rangsangan ataupun tekanan psikologis pada saat tertentu
dalam jang ka dekat. Dengan demikian, pendekatan psikologis ini melihat bahwa
pada dasarnya pilihan politik seseorang bisa mengalami pergeseran yang
mendasar dari waktu ke waktu, bergantung pada stimulan apa yang merangsang
atau menekan dia dalam jangka dekat. Bisa jadi, pada waktu seseorang menjadi
pemilih pemula, identifikasi kepartaian seseorang lebih merujuk ke pilihan
orangtuanya, tetapi berubah saat dewasa.
Model sosiologis
mengkaji masyarakat berdasar hierarki status dengan masyarakat adalah sebuah
sistem yang berjenjang. Perilaku politik seseorang sangat ditentu kan posisi
dan kelas sosialnya. Misalnya posisi laki laki atau perempuan ; tua atau muda.
Termasuk di dalamnya ialah ia tergabung dalam kelompok apa, misalnya agama,
ideologi, posisi di masyarakat dan bidang pekerjaan, dan posisi dalam
keluarga. Singkat kata, pendekatan sosiologis berasumsi bahwa kecenderungan
aspirasi atau pilihan politik seseorang dipengaruhi kedudukannya di masyarakat.
Sementara itu, Saiful
Mujani pernah menguji enam faktor yang memengaruhi perilaku memilih, yaitu
kepemimpinan, identifikasi partai, orientasi religius, ekonomi politik,
sosiologis, dan demografis dalam Pemilu 1999 dan 2004 di Indonesia. Menurut
kesimpulannya, faktor identifikasi partai dan kepemimpinan signifikan
memengaruhi perilaku pemilih dalam menentukan pilihan pada pemilu legislatif
dan pilpres.
Hasil survei
Lembaga Survei
Nasional (LSN) secara spesifik telah mengamati perilaku pemilih menghadapi
Pemilu 2014 sejak Juni 2012. Dalam setiap survei nasional yang dilakukan LSN
selalu ditanyakan kepada responden faktor-faktor yang memengaruhi pilihan
mereka terhadap parpol dan capres dalam Pemilu 2014. Dalam serangkaian survei
tersebut ditemukan sejumlah variabel yang memengaruhi pilihan res ponden
terhadap parpol dan capres, di antaranya pro gram kerja parpol/capres, faktor
kepemimpinan, ideologi atau sistem nilai, dan faktorfaktor sosial ekonomi.
Survei LSN 10-12 Desem
ber 2013 menemukan fakta bahwa mayoritas publik (49,7%) mengaku akan memilih
parpol dalam Pemilu 2014 lebih karena faktor program kerja yang ditawarkan.
Kemudian 11,2% mengaku lebih tertarik menyoroti rekam jejak atau kinerja
parpol di masa lalu. Survei LSN di sejumlah dapil sejak September 2013 yang
di antaranya ditujukan untuk mengetahui alasan responden dalam memilih caleg,
52,4% mengaku lebih mempertimbangkan program kerja dari para caleg.
Temuan tersebut
menunjukkan pemilih sebenarnya dapat dikategorikan ke dalam pemilih rasional.
Keputusan mereka untuk menjatuhkan pilihan akan lebih banyak dipengaruhi
sejauh mana parpol dan capres menawarkan program kerja yang memiliki similarity dan proximity dengan ekspektasi dan permasalahan yang mereka hadapi.
Temuan lain ialah
14,5% publik mengaku lebih tertarik pada ideologi, asas atau sistem nilai
yang diusung parpol. Sementara itu, sebanyak 18,5% mengaku lebih tertarik
pada figur yang memimpin parpol. Itu berarti bahwa sekitar 33% calon pemilih
Indonesia dalam Pemilu 2014 nanti masih tergolong pemilih tradisional. Faktor
lainnya, seperti ekonomi, tampak tidak cukup signifikan meskipun banyak
sinyalemen mengatakan banyak pemilih kita hanya mau datang ke TPS untuk
memilih jika ada imbalan nyata seperti uang atau sembako.
Jika mengacu ke hasil-hasil
survei itu, dapat diperkirakan bahwa faktor program kerja yang ditawarkan
parpol, caleg, dan capres akan dominan memengaruhi perilaku pemilih dalam
Pemilu 2014. Namun, realitasnya banyak parpol, caleg, dan capres yang
memersepsikan secara keliru terminologi ‘program kerja’ tersebut. Banyak
parpol, caleg, dan capres menghadapi Pemilu 2014 menampilkan program kerja
yang terlalu abstrak dan umum serta tidak bersentuhan langsung dengan
problem-problem nyata yang dihadapi masyarakat.
Meskipun secara potensial
pemilih Indonesia ialah pemilih rasional, dalam Pemilu 2014 sangat mungkin
mayoritas dari mereka akan bergeser menjadi pemilih tradisional, bahkan
mungkin pemilih transaksional dan skeptis. Pemberlakuan sistem suara
terbanyak dalam penentuan kursi parlemen akan memperkuat berkembangnya pola
transaksional antara caleg parpol dan pemilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar