Jumat, 07 Februari 2014

Pertarungan Politik Banjir dan Pemimpin Masa Depan

Pertarungan Politik Banjir dan Pemimpin Masa Depan

Musa Maliki   ;   Pengajar FISIP UPN Veteran Jakarta
OKEZONENEWS,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Menjelang Pemilu 2014 ini, perpolitikan Indonesia semakin gaduh dan gundah gulana. Akrobat politik mewarnai sirkus pemilihan presiden dan wakil rakyat di gedung MPR/DPR. Momen penting menjadi ajang dramaturgi (tontonan) rakyatnya.

Banjir adalah satu momen penting bagi para politisi untuk mengambil hati rakyatnya. Namun, para politisi kali ini tampaknya lebih sepi dalam berkampanye di daerah korban bencana, khususnya banjir dibadingkan yang lalu. Hal ini mungkin tidak diekspose media atau memang mereka mempunyai strategi lain.

Memang beberapa yang muncul di info memberitakan bahwa, bantuan dari politisi datang tanpa adanya politisinya (Metrotvnews.com, 14/1/2014) dan ada yang cuma menempelkan atau nebeng ke sembako kementrian sosial. Namun ada juga politisi, seperti dari Demokrat, Syarif Hassan yang berkunjung ke korban banjir di Cawang, sedangkan temen separtainya, Andi Nurpati ke Jakarta Barat dan politisi Golkar, Aburizal Bakrie ke Jakarta pusat. Jadi tidak semua partai hadir dan secara tegas kampanye.

Ini fenomena wajar menjelang kampanye. Ini fenomena jualan dagangan yang sesuai dengan tempat dan waktu yang tepat. Fenomena ini tidak pula melanggar peraturan sistem perpolitikan di Indonesia.

Namun yang tetap menjadi sentral agar partai dan calon presidennya dapat kesempatan, adalah dengan menyerang langsung lawan politiknya yang kuat, bila perlu main keroyok, serang di segala sisi, depan-belakang, kanan-kiri, atas bawah.

Karena Jokowi adalah pusatnya, maka jika tidak menyerang Jokowi, bencana bagi partai politik non-PDIP. Serangan adalah pertahanan yang utama. Begitulah salah satu prinsip perang dalam pertempuran.

Misalnya anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Hanura, Saleh Husin yang menegaskan bahwa semua pihak sudah paham kalau Jakarta setiap tahun selalu langganan banjir yang sampai saat ini belum dapat diatasi pemecahannya (Tribunnews.com; sorotnews.com, 15/1/14). Terkait dengan pernyataan ini, maka Jokowi bukanlah juru selamat banjir bagi Jakarta. Bahasa ekstrimnya dikalangan para pengkritiknya, “orang baru tahu apa tentang Jakarta?” 

Demikian juga politisi Demokrat, Ruhut dan Syarif Hassan yang mengatakan bahwa Jokowi tidak bisa menyelesaikan banjir (merdeka.com, 15/1/14). Sama halnya, PKS yang biasanya rajin kasih bantuan merata, sekarang lebih fokus pada kritik Jokowi. Wasekjen PKS Fahri Hamzah berpendapat bahwa para pendukung Jokowi sebaiknya koreksi diri dengan kejadian banjir ini yang belum bisa dicegah oleh Jokowi. Dia mengatakan hanya orang-orang yang merugilah, orang yang memilih Jokowi menjadi capres (beritasatu.com, 14/1/2014).

Selaras dengan serang-serang di atas, Sekjen PPP, Romahurmuzy menilai bahwa Jokowi selama ini belum menghasilkan kerja yang signifikan. Hal itu terbukti dengan adanya banjir yang masih melanda Jakarta. Misalnya banjir besar yang terjadi 1997 lalu masih terjadi di 2014 ini.

Hemat penulis, banjir itu bisa saja dijadikan masyarakat Indonesia sebagai contoh dan bukti peta politik untuk memilih 2014 ini. Di situ, kita tahu mana wakil yang tulus membantu dan mana yang hanya ‘anget-anget tai kucing’.  Banjir adalah salah satu ukuran untuk kita mencari calon-calon elit yang waras atau yang songong (cari untung sendiri). Banjir adalah alat takar bagi kita untuk sadar betul bahwa hak milih kita ini bukan untuk disogok dengan murah, tapi kita yang punya kuasa menentukan pemerintahan dan wakil kita selama 5 tahun ke depan. 

Kedaulatan rakyat perlu secara sadar dimiliki dan dipakai rakyat agar jika pemimpin yang kita pilih salah, maka hak kita untuk mengoreksinya dan bila perlu menurunkannya. Sebaliknya, siapapun yang golput, maka dia sama sekali tidak pantas demo atau mengkritik pemerintahan dan wakil rakyat 5 tahun ke depan, sebab mereka yang golput tidak memberi apapun untuk perubahan bangsa ini.

Semakin mendekati pemilu, ada dua pergerakan kubu politik menuju pusat potensi kekuasaan baru di panggung perpolitikan Indonesia: kubu yang akan menyerang Jokowi sampai akhir dan kubu yang akan menjilat PDIP sampai akhir.

Yang menyerang Jokowi sepertinya akan mulai mengelus-elus dan merapat PDIP dan membungkuk sementara agar dapat jatah di pemerintahan. Misalnya PKS yang mulai melancarkan pergerakan politik santunnya ke Megawati. Partai Islam yang terkenal militan dan Islami serta berbasis organisasi KAMMI 1999, ternyata sudah mulai banting setir pro partai sekuler. Ini pragmatisme politik Indonesia dimana ideologi telah mati.
Saya kira satu-satunya partai yang terus menghidupi ideologi adalah PDIP, sebab basisnya sangat kuat sampai sekarang dan konsisten dengan garis perjuangan Soekarnoisme dan Marhaenisme.

Generasi Jokowi dan Ganjar sepertinya konsisten dengan gerakan blusukannya yang memang sesuai dengan prinsip ideologi Marhaenisme.
Namun, perlu diwaspadai generasi di bawahnya yang masih menggunakan pendekatan elitis (cybernetic), yakni blusukan hanya menemui pentolan partai di daerah, diskusi dan pulang lagi ke Jakarta. Lalu dia akan berkata “Saya sudah blusukan di lapangan, khususnya daerah-daerah kecil”. Kenyataanya, dia cuma bertemu beberapa orang saja untuk kemudian menggerakkan massa yang lebih besar. Artinya, pemimpin seperti ini kurang mewarisi blusukan Marhaenisme sejati seperti layaknya Jokowi dan Ganjar.

Untuk pemilihan 2014, masyarakat sebaiknya memilih pemimpin yang secara perasaan, waktu, dan tenaganya untuk masyarakat, bukan yang bagi-bagi uang, khususnya serangan fajar dan Cuma nemui satu atau dua orang temennya saja di kampong-kampung.

Memang banyak juga rakyat yang masih tangan di bawah, miskin pengetahuan, miskin ekonomi, miskin psikologi dan mental, tapi bagi yang tidak, sebaiknya “add friends” agar bertambahlah pemilih-pemilih yang waras, sehat, tidak mabuk oleh serangan fajar atau secarik ratusan ribu rupiah saja, karena bisa menghilangkan perubahan 5 tahun ke depan. Dan pula disetir oleh pemimpin desa, kyia-kyianya atau sesepuh desa yang sudah terbeli. Jika terus menerus seperti ini, maka kapal Indonesia lama kelamaan akan tenggelam, tidak hanya oleh badai, tapi jarahan penumpangnya sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar