Jumat, 07 Februari 2014

Mendukung KPK dengan Hati dan Pikir

Mendukung KPK dengan Hati dan Pikir

A Patra M Zen   ;   Advokat
SINAR HARAPAN,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Teuku Kemal Fasyah dalam artikel bertajuk “Tak Henti Mendukung KPK” (Sinar Harapan, 1 Februari 2014) mengatakan, “Mengkritik berbeda dengan menghina.
Menghina bisa dilakukan kapan saja, untuk apa saja, asal mendapatkan kesalahan termasuk merendahkan pribadi (ad hominem). Menghina tidak terikat pada kaidah moral tertentu.
Sinonim menghina adalah menghujat, mencerca, merendahkan, mencela, dan lain-lain.” Seandainya saja keidealan tersebut benar-benar diteladani sehingga tercermin dalam keseluruhan isi artikelnya, saya tentu tidak perlu menulis artikel tanggapan ini.
Alih-alih menyajikan kritik yang jernih dan tajam, artikel Kemal penuh cercaan dan kerancuan yang sesungguhnya menggambarkan kesesatan berpikir.
Ada dua macam kesesatan. Pertama, kesesatan dalam memahami hukum logika. Kedua, kesesatan dalam memahami logika hukum. Artikelnya juga merefleksikan kedangkalan serta kerancuan pemahaman konseptual, terutama mengenai teori kritis dan postmodernisme.
Sesat Memahami
Kemal asal-asalan meposisikan Fahri Hamzah, Rizal Mallarangeng, Adnan Buyung Nasution, sebagai pengkritik KPK yang “asal hujat”, jauh dari model kritik elegan. Salah satu alasannya, “Suara (mereka) cenderung memaki”. Di sini, tampak kesesatan karena menyamakan suara lantang dengan hujatan.
Kemal–yang terkadang mengaku sebagai pengamat politik– tentunya memahami latar belakang ketiga tokoh tersebut, sehingga ia–yang kerap juga menyebut dirinya sebagai antropolog–semestinya menganggap wajar saja dan tidak serampangan menganggap tutur bicara orang Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Sumbawa yang umumnya memiliki vokal lantang sebagai hujatan atau tantangan. Inilah salah satu contoh kesesatan budaya (Hayon, 2012:95-103).
Kesesatan berpikir muncul kembali ketika ia mengaitkan kritik Adnan Buyung kepada KPK dengan kasus hukum almarhum putera sulungnya. Kemal tidak memberikan penalaran atas keberatannya terhadap sikap dan argumen Adnan Buyung yang keberatan atas ketidakjelasan surat panggilan KPK yang ditujukan kepada kliennya: Anas Urbaningrum. Kemal justru menyerang pribadi/keluarga.
Kesesatan karena menyerang pribadi/keluarga inilah yang disebut sebagai argumentum ad hominem. Kesesatan semacam ini bermakna upaya menyerang kebenaran dengan menunjuk sisi pribadi seseorang dengan kesesatan logika.
Di bagian lain artikelnya, Kemal mengatakan, “Para pakar hukum masih berdebat tentang filosofi dan mekanisme pemberlakuan TPPU yang terlihat kejam dalam praktiknya, seperti ketika menghukum Gayus Tambunan, Angelina Sondakh, Joko Susilo, dan LHI. Di sisi lain, publik mendapatkan ruang bernapas semakin sehat dan lepas dari penyakit sesak.” Dari situ terlihat, ia sebenarnya mengetahui masih terdapat pro kontra dalam pemberlakuan TPPU atau “pemiskinan koruptor”.
Namun, ia kemudian segera melompat pada kesimpulan lewat kalimat berkias yang tidak jelas. Ia sepertinya hendak menyampaikan, naluri atau selera publik mesti menjadi dasar tindakan, bukan hasil pemikiran para ahli di bidangnya.
Jika demikian, kembali terdeteksi adanya kesesatan Kemal dalam berpikir, yakni kesesatan argumentum ad populum. Itu adalah kesesatan saat ia meyakini pendapat orang banyak sudah pasti benar.
Logika Hukum
Kemal bukan yang pertama menelurkan ide “pemiskinan koruptor”. Ia hanya pengekor yang kurang berhasil memahami permasalahan seputar ide itu. Kemungkinan, bepangkal dari ketidakpahamannya mengenai filosofi pemidanaan yang sudah berevolusi sejak berabad lamanya.
Bangsa beradab sudah tidak lagi menerapkan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap pelaku (retributionist). Tantangan di masa kini adalah menerapkan model pemidanaan yang berkemanusiaan dan berkeadilan serta mampu mencegah dan memberantas kejahatan.
Kemal dan para pendukung “pemiskinan koruptor” lainnya mungkin lupa atau bahkan tidak mengetahui adagium yang amat dijunjung tinggi kalangan hukum: culpae poena par esto. Artinya, hukuman mesti setimpal dengan kesalahan. Itu demi kepastian hukum dan keadilan berdasarkan rasionalitas. Sementara itu, ide “pemiskinan koruptor” sangat tidak terukur dan tidak berkeadilan karena berdasarkan irasionalitas.
Kesalahan terbesar dalam ide “pemiskinan koruptor” yang didukung Kemal adalah hendak menjadikan pelaku kejahatan sebagai seorang miskin dan fakir dalam masyarakat.
Padahal, pemidanaan bertujuan menjadikan pelaku tindak pidana kembali sebagai manusia, anggota masyarakat, dan warga negara yang lebih baik, yang tidak merugikan orang lain dan bahkan dapat memberikan sumbangan bagi masyarakat. Ide “pemiskinan koruptor” juga bertentangan dengan konstitusi yang mengatur negara wajib memelihara fakir miskin.
Kemal juga menyimpan prejudice sehingga salah memahami hakikat dari profesi pengacara. Hal ini tampak dengan penggunaan istilah “pengacara koruptor”. Di sini, Kemal berusaha mengidentikkan advokat dengan kliennya. Upaya itu tentu saja sia-sia karena advokat sesungguhnya “pembela hukum”, bukan pembela maling, pembela pemerkosa, juga bukan pembela koruptor sebagaimana tuduhan yang amat ngawur itu.
Kemal harus paham, klien yang dibela advokat baru disangka atau didakwa sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Pendeknya, ketika saya membela Anas Urbaningrum, tentu saya bukan “pengacara koruptor” karena Anas sedang diproses. Ia belum terbukti melakukan kejahatan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam hal ini, Kemal tidak hanya gagal memahami logika hukum. Ia bahkan telah bertindak melampaui batas dan tidak adil ketika menyebut klien dengan sebutan “koruptor” dan advokat sebagai “pengacara koruptor”. Penggunaan istilah “pengacara koruptor” juga ekspresi pejorative yang bernada penghinaan atau pelecehan terhadap profesi mulia: advokat (officium nobile).
Pembelaan seorang advokat terhadap kliennya tersebut sesungguhnya juga untuk memenuhi hak tersangka atau terdakwa dalam memperoleh bantuan hukum. Itu sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan, Pasal 54 jo Pasal 56 KUHAP.
Satu lagi kekeliruan dalam artikel Kemal. Itu saat ia menyebut kasus Bank Century yang “macet” sebagai masalah minor atau kerikil. Kemal sebagai akademikus–apalagi mengutip teori neo-marxis segala-mestinya dapat melihat persoalan secara objektif dan kritis.
Kenyataannya, Kemal secara serampangan memasukkan kasus Bank Century yang pada kenyataannya adalah suatu megaskandal dengan kerugian negara yang triliunan rupiah nilainya ke dalam kategori “minor”. Di titik ini, saya meyakini dukungan Kemal kepada KPK bukanlah bentuk keberpihakan yang positif, melainkan lebih pada semacam taqlid buta atau penerimaan no reserve.
Kejujuran Jantung Kritisisme
Dalam artikelnya, Kemal menjelaskan, “Teori kritis adalah penilaian refleksif atas masyarakat dan kebudayaan menggunakan pendekatan pengetahuan sosial dan kemanusiaan.”
Meskipun ia tidak memberikan tanda kutipan dan menyertakan sumbernya, redaksional dari kalimatnya itu patut diduga adalah terjemahan langsung dari laman Wikipedia, Critical theory is a school of thought that stresses the reflective assessment and critique of society and culture by applying knowledge from the social sciences and the humanities.
Kemal mungkin alpa atau bisa jadi menganggapnya sebagai kesalahan minor. Namun, kejujuran intelektual ini sama sekali bukan hal sepele bagi kalangan akademikus. Kultur kejujuran di kalangan akademikus itu pula yang turut membentuk kritisisme dan objektivitas.
Kemal kembali tidak jujur atau—jika kita hendak berbaik sangka—tidaklah teliti ketika ngawur mengaitkan almarhum putra sulung Adnan Buyung Nasution dengan kasus lainnya di Kementerian Sosial (Kemensos), ketika almarhum sama sekali tidak bersangkut paut, misalnya kasus pengadaan mesin jahit dan sarung.
Tudingan kepada seseorang yang telah meninggal sesungguhnya amatlah keji karena yang bersangkutan tidak bisa lagi membela diri. Kemal perlu paham, salah satu landasan filosofis alasan penyidikan pidana dapat dihentikan adalah demi menghindarkan kewenangan dan fitnah terhadap almarhum/almarhumah yang tidak bisa lagi membela diri.
Dengan demikian, sebaiknya Kemal melakukan suatu otokritik yang mendalam sebelum menghakimi pihak lain secara ngawur dan semena-mena. Itu terutama kepada pihak yang tidak mungkin lagi membela diri secara langsung.
Akhirnya, kita semua pasti bersepakat, kejahatan korupsi perlu dibasmi dari Bumi Pertiwi. Namun, sebagai catatan penting, upaya memberantas korupsi harus selalu berada di jalur penegakan hukum. Itu dengan tetap menghormati prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
Lewat kritik, kita senantiasa berupaya mengevaluasi institusi-institusi yang kepadanya diembankan otoritas dan kewenangan, termasuk KPK. Saya percaya Adnan Buyung Nasution dan rekan-rekan lain mengkritik KPK karena pada dasarnya peduli dan bersetia pada cita-cita yang lebih mulia: tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia tercinta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar