Mendukung
KPK dengan Hati dan Pikir
A Patra M Zen ; Advokat
|
SINAR
HARAPAN, 06 Februari 2014
Teuku
Kemal Fasyah dalam artikel bertajuk “Tak Henti Mendukung KPK” (Sinar Harapan,
1 Februari 2014) mengatakan, “Mengkritik berbeda dengan menghina.
Menghina
bisa dilakukan kapan saja, untuk apa saja, asal mendapatkan kesalahan
termasuk merendahkan pribadi (ad hominem). Menghina tidak terikat pada kaidah
moral tertentu.
Sinonim
menghina adalah menghujat, mencerca, merendahkan, mencela, dan lain-lain.”
Seandainya saja keidealan tersebut benar-benar diteladani sehingga tercermin
dalam keseluruhan isi artikelnya, saya tentu tidak perlu menulis artikel
tanggapan ini.
Alih-alih
menyajikan kritik yang jernih dan tajam, artikel Kemal penuh cercaan dan
kerancuan yang sesungguhnya menggambarkan kesesatan berpikir.
Ada
dua macam kesesatan. Pertama, kesesatan dalam memahami hukum logika. Kedua,
kesesatan dalam memahami logika hukum. Artikelnya juga merefleksikan
kedangkalan serta kerancuan pemahaman konseptual, terutama mengenai teori
kritis dan postmodernisme.
Sesat Memahami
Kemal
asal-asalan meposisikan Fahri Hamzah, Rizal Mallarangeng, Adnan Buyung
Nasution, sebagai pengkritik KPK yang “asal hujat”, jauh dari model kritik
elegan. Salah satu alasannya, “Suara (mereka) cenderung memaki”. Di sini,
tampak kesesatan karena menyamakan suara lantang dengan hujatan.
Kemal–yang
terkadang mengaku sebagai pengamat politik– tentunya memahami latar belakang
ketiga tokoh tersebut, sehingga ia–yang kerap juga menyebut dirinya sebagai
antropolog–semestinya menganggap wajar saja dan tidak serampangan menganggap
tutur bicara orang Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Sumbawa yang umumnya
memiliki vokal lantang sebagai hujatan atau tantangan. Inilah salah satu
contoh kesesatan budaya (Hayon,
2012:95-103).
Kesesatan
berpikir muncul kembali ketika ia mengaitkan kritik Adnan Buyung kepada KPK
dengan kasus hukum almarhum putera sulungnya. Kemal tidak memberikan penalaran
atas keberatannya terhadap sikap dan argumen Adnan Buyung yang keberatan atas
ketidakjelasan surat panggilan KPK yang ditujukan kepada kliennya: Anas
Urbaningrum. Kemal justru menyerang pribadi/keluarga.
Kesesatan
karena menyerang pribadi/keluarga inilah yang disebut sebagai argumentum ad hominem. Kesesatan
semacam ini bermakna upaya menyerang kebenaran dengan menunjuk sisi pribadi
seseorang dengan kesesatan logika.
Di
bagian lain artikelnya, Kemal mengatakan, “Para
pakar hukum masih berdebat tentang filosofi dan mekanisme pemberlakuan TPPU
yang terlihat kejam dalam praktiknya, seperti ketika menghukum Gayus
Tambunan, Angelina Sondakh, Joko Susilo, dan LHI. Di sisi lain, publik
mendapatkan ruang bernapas semakin sehat dan lepas dari penyakit sesak.” Dari
situ terlihat, ia sebenarnya mengetahui masih terdapat pro kontra dalam
pemberlakuan TPPU atau “pemiskinan koruptor”.
Namun,
ia kemudian segera melompat pada kesimpulan lewat kalimat berkias yang tidak
jelas. Ia sepertinya hendak menyampaikan, naluri atau selera publik mesti
menjadi dasar tindakan, bukan hasil pemikiran para ahli di bidangnya.
Jika
demikian, kembali terdeteksi adanya kesesatan Kemal dalam berpikir, yakni
kesesatan argumentum ad populum.
Itu adalah kesesatan saat ia meyakini pendapat orang banyak sudah pasti
benar.
Logika Hukum
Kemal
bukan yang pertama menelurkan ide “pemiskinan koruptor”. Ia hanya pengekor
yang kurang berhasil memahami permasalahan seputar ide itu. Kemungkinan,
bepangkal dari ketidakpahamannya mengenai filosofi pemidanaan yang sudah
berevolusi sejak berabad lamanya.
Bangsa
beradab sudah tidak lagi menerapkan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan
terhadap pelaku (retributionist).
Tantangan di masa kini adalah menerapkan model pemidanaan yang berkemanusiaan
dan berkeadilan serta mampu mencegah dan memberantas kejahatan.
Kemal
dan para pendukung “pemiskinan koruptor” lainnya mungkin lupa atau bahkan
tidak mengetahui adagium yang amat dijunjung tinggi kalangan hukum: culpae
poena par esto. Artinya, hukuman mesti setimpal dengan kesalahan. Itu demi
kepastian hukum dan keadilan berdasarkan rasionalitas. Sementara itu, ide
“pemiskinan koruptor” sangat tidak terukur dan tidak berkeadilan karena
berdasarkan irasionalitas.
Kesalahan
terbesar dalam ide “pemiskinan koruptor” yang didukung Kemal adalah hendak
menjadikan pelaku kejahatan sebagai seorang miskin dan fakir dalam
masyarakat.
Padahal,
pemidanaan bertujuan menjadikan pelaku tindak pidana kembali sebagai manusia,
anggota masyarakat, dan warga negara yang lebih baik, yang tidak merugikan
orang lain dan bahkan dapat memberikan sumbangan bagi masyarakat. Ide
“pemiskinan koruptor” juga bertentangan dengan konstitusi yang mengatur
negara wajib memelihara fakir miskin.
Kemal
juga menyimpan prejudice sehingga
salah memahami hakikat dari profesi pengacara. Hal ini tampak dengan
penggunaan istilah “pengacara koruptor”. Di sini, Kemal berusaha
mengidentikkan advokat dengan kliennya. Upaya itu tentu saja sia-sia karena
advokat sesungguhnya “pembela hukum”, bukan pembela maling, pembela pemerkosa,
juga bukan pembela koruptor sebagaimana tuduhan yang amat ngawur itu.
Kemal
harus paham, klien yang dibela advokat baru disangka atau didakwa sebagai
pelaku tindak pidana korupsi. Pendeknya, ketika saya membela Anas
Urbaningrum, tentu saya bukan “pengacara koruptor” karena Anas sedang
diproses. Ia belum terbukti melakukan kejahatan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam
hal ini, Kemal tidak hanya gagal memahami logika hukum. Ia bahkan telah
bertindak melampaui batas dan tidak adil ketika menyebut klien dengan sebutan
“koruptor” dan advokat sebagai “pengacara koruptor”. Penggunaan istilah
“pengacara koruptor” juga ekspresi pejorative yang bernada penghinaan atau
pelecehan terhadap profesi mulia: advokat (officium nobile).
Pembelaan
seorang advokat terhadap kliennya tersebut sesungguhnya juga untuk memenuhi
hak tersangka atau terdakwa dalam memperoleh bantuan hukum. Itu sebagaimana
diamanatkan peraturan perundang-undangan, Pasal 54 jo Pasal 56 KUHAP.
Satu
lagi kekeliruan dalam artikel Kemal. Itu saat ia menyebut kasus Bank Century
yang “macet” sebagai masalah minor atau kerikil. Kemal sebagai
akademikus–apalagi mengutip teori neo-marxis segala-mestinya dapat melihat
persoalan secara objektif dan kritis.
Kenyataannya,
Kemal secara serampangan memasukkan kasus Bank Century yang pada kenyataannya
adalah suatu megaskandal dengan kerugian negara yang triliunan rupiah
nilainya ke dalam kategori “minor”. Di titik ini, saya meyakini dukungan
Kemal kepada KPK bukanlah bentuk keberpihakan yang positif, melainkan lebih pada
semacam taqlid buta atau penerimaan no reserve.
Kejujuran Jantung Kritisisme
Dalam
artikelnya, Kemal menjelaskan, “Teori kritis adalah penilaian refleksif atas
masyarakat dan kebudayaan menggunakan pendekatan pengetahuan sosial dan
kemanusiaan.”
Meskipun
ia tidak memberikan tanda kutipan dan menyertakan sumbernya, redaksional dari
kalimatnya itu patut diduga adalah terjemahan langsung dari laman Wikipedia, Critical theory is a school of thought
that stresses the reflective assessment and critique of society and culture
by applying knowledge from the social sciences and the humanities.
Kemal
mungkin alpa atau bisa jadi menganggapnya sebagai kesalahan minor. Namun,
kejujuran intelektual ini sama sekali bukan hal sepele bagi kalangan
akademikus. Kultur kejujuran di kalangan akademikus itu pula yang turut
membentuk kritisisme dan objektivitas.
Kemal
kembali tidak jujur atau—jika kita hendak berbaik sangka—tidaklah teliti
ketika ngawur mengaitkan almarhum putra sulung Adnan Buyung Nasution dengan
kasus lainnya di Kementerian Sosial (Kemensos), ketika almarhum sama sekali
tidak bersangkut paut, misalnya kasus pengadaan mesin jahit dan sarung.
Tudingan
kepada seseorang yang telah meninggal sesungguhnya amatlah keji karena yang
bersangkutan tidak bisa lagi membela diri. Kemal perlu paham, salah satu
landasan filosofis alasan penyidikan pidana dapat dihentikan adalah demi
menghindarkan kewenangan dan fitnah terhadap almarhum/almarhumah yang tidak
bisa lagi membela diri.
Dengan
demikian, sebaiknya Kemal melakukan suatu otokritik yang mendalam sebelum
menghakimi pihak lain secara ngawur dan semena-mena. Itu terutama kepada
pihak yang tidak mungkin lagi membela diri secara langsung.
Akhirnya,
kita semua pasti bersepakat, kejahatan korupsi perlu dibasmi dari Bumi
Pertiwi. Namun, sebagai catatan penting, upaya memberantas korupsi harus
selalu berada di jalur penegakan hukum. Itu dengan tetap menghormati
prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
Lewat
kritik, kita senantiasa berupaya mengevaluasi institusi-institusi yang
kepadanya diembankan otoritas dan kewenangan, termasuk KPK. Saya percaya
Adnan Buyung Nasution dan rekan-rekan lain mengkritik KPK karena pada
dasarnya peduli dan bersetia pada cita-cita yang lebih mulia: tegaknya hukum
dan keadilan di Indonesia tercinta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar