Mengikis
Ancaman Golput
Ilham
Mundzir ; Dosen
Universitas Muhammadiyah Prof Dr. HAMKA Jakarta, Pemimpin Pusat Pemuda
Muhammadiyah
|
SINAR
HARAPAN, 20 Februari 2014
Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 kini sudah berada di ambang
pintu. Di mana-mana banyak kita jumpai spanduk dan iklan kampanye dari
tiap-tiap partai politik (parpol).
Semuanya sedang giat-giatnya berkompetisi, memperkenalkan
diri, menyapa masyarakat, dan mencoba merebut dukungan masyarakat sembari
menawarkan sejuta janji dan harapan.
Namun, sebagaimana terjadi pada tahun-tahun sebelumnya,
pemilu kali ini masih dibayangi ancaman apatisme masyarakat. Bayangan sinisme
dan kecuekan masyarakat terhadap proses demokrasi itu masih belum bisa
dilepaskan, bahkan berpeluang semakin membesar. Dikenal sebagai golongan
putih atau golput, kelompok ini enggan dan tidak antusias menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu.
Kalau menyelisik data KPU, misalnya, terlihat jelas betapa
partisipasi masyarakat semakin merosot dalam setiap pemilu yang digelar
pasca-Reformasi. Jika pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 1999 tingkat
partisipasi masyarakat mencapai 93 persen, pada Pileg 2009, tingkat
partisipasi masyarakat anjlok menjadi 71 persen.
Fakta ini sungguh mencemaskan. Karena itu, ancaman golput
perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Menyelisik kecenderungan sebelumnya,
Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga memprediksi, tren golput akan semakin
melonjak dalam Pemilu 2014.
Dalam pandangan penulis, di luar faktor kelemahan
pendataan dan kesalahan administrasi yang membuat orang tidak bisa
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, fenomena golput bisa terjadi karena
sejumlah faktor.
Pertama adalah faktor ketidakmelekan informasi, terutama
menyangkut persoalan politik dan parpol. Golput model seperti ini umumnya
terjadi pada suatu daerah yang kesulitan mengakses informasi. Meski demikian,
ancaman semacam ini lebih mudah ditangani karena hanya membutuhkan
penyebarluasan informasi, sosialisasi yang lebih masif, dan pendidikan
politik.
Faktor kedua adalah kelompok masyarakat yang bersikap
golput karena kesadaran politik yang tinggi. Sayangnya, itu tanpa dibarengi
tanggung jawab yang positif sebagai warga negara. Golput model seperti ini
sebagian dipicu ekspektasi yang tak kunjung tiba.
Hingga yang muncul adalah kekecewaan yang mendalam,
disertai pesimisme bahkan frustrasi terhadap kenyataan rendahnya kinerja para
pemangku kebijakan negara, bukan hanya yang duduk di barisan eksekutif,
melainkan juga pihak yudikatif dan legislatif.
Ketika pihak eksekutif tidak berhasil menjalankan
kewajibannnya merealisasikan program dan menggenapi janji, pada titik itulah
muncul kekecewaan, ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan dari masyarakat.
Hal yang sama terjadi ketika pihak legislatif tidak
sungguh-sungguh bekerja memperjuangkan kepentingan rakyat. Kinerja yudikatif
yang tidak baik, korup, dan bergantung kepada besarnya mahar sehingga
keputusannya tidak bersifat adil juga berkonstribusi membuat rakyat jenuh dan
frustrasi terhadap jalannya demokrasi.
Faktor ketiga yang memicu orang menjadi golput adalah
alasan yang bersifat normatif ideologis. Ini adalah salah satu persoalan
klasik yang masih menjadi tantangan tersendiri bagi demokrasi modern.
Kelompok seperti ini umumnya tidak mau menggunakan hak pilihnya karena
dilandasi alasan dan dogma agama. Kelompok ini melihat, pemilu dan demokrasi
modern tidak memiliki justifikasi apa pun dari agama.
Secara fundamental, kelompok ini berpandangan, demokrasi
yang meletakkan konsep kedaulatan di tangan rakyat dalam bentuk pemilu adalah
kesalahan. Pasalnya, dalam argumentasi mereka, kedaulatan yang sesungguhnya
harus diserahkan dan berada di tangan Tuhan.
Berdasarkan alasan semacam itulah, kelompok ini tidak mau
terlibat urusan pemilu. Menentang praktik dan gagasan demokrasi modern,
kelompok ini sebagai gantinya senantiasa gigih memperjuangkan terbentuknya
sistem teokrasi.
Hal yang jauh lebih mengkhawatirkan adalah betapa survei
yang dilakukan Pippa Norris dan Ronald Inglehart (Sekularisasi Ditinjau Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini,
2004) menunjukkan, jumlah kelompok atau orang yang berpandangan
tradisional semacam itu di dunia saat ini semakin bertambah.
Dalam konteks Indonesia, kondisinya sama. Kini, semakin
banyak dijumpai kelompok dan barisan fundamentalisme agama yang bukan hanya
tidak setuju dengan pemilu dan demokrasi, melainkan sudah melangkah lebih
jauh. Mereka berupaya mendegradasi, merusak, dan merobohkan pilar-pilar
kebangsaan dan NKRI.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap pilihan orang lain
untuk menjadi golput, abstain, dan memilih tidak menggunakan hak pilihnya,
penulis menganggap itu suatu sikap yang mementingkan diri sendiri, tidak
peduli nasib bangsa yang lebih luas. Golput bukanlah pilihan bijak seorang
warga negara dan karenanya sangat disesalkan.
Ini mengingat pemilu adalah proses yanga amat urgen dan
keniscayaan dalam sebuah negara demokratis. Bukan saja karena ia merupakan
salah satu ciri pelaksanaan kehidupan demokrasi di suatu negara, melainkan
juga lantaran mengingat dampaknya terhadap masa depan demokrasi.
Demokrasi meniscayakan partisipasi. Demokrasi kita tidak
akan semakin solid, kuat, dan pemerintah kekurangan legitimasi jika tak
didukung dengan partisipasi aktif dari segenap warga negara.
Dengan penuh kesadaran, kita sudah memilih dan menetapkan
demokrasi sebagai mazhab sebagai aturan main pengelolaan bangsa dan negara.
Sejauh ini, kita sudah melangkah di jalan yang benar dalam mengupayakan
pemerintahan yang lebih demokratis, melalui pemilu yang damai dan demokratis.
Jadi, konflik sosial politik jauh terjadi. Di samping itu,
pemilu adalah salah satu instrumen pengejewantahan hak-hak sipil dan politik
warga negara. Pemilu adalah bukti dan cermin kuat bahwa rakyat sungguh
berdaulat atas negeri.
Jika masyarakat tidak puas dengan suatu pemerintahan dan
menilainya sebagai rezim yang gagal, pemilu merupakan mekanisme yang tepat
untuk bertindak, menghukum dengan cara tidak lagi memilihnya dan menjatuhkan
pilihan kepada calon lain yang dinilai jauh lebih prospektif dan memberikan
harapan baru.
Dengan begitu, rakyat seyogianya telah memberi pelajaran
moral kepada setiap pemimpin untuk belajar dari kegagalan maupun kesuksesan
rezim sebelumnya, mendorong mereka bekerja maksimal untuk rakyat, dan
memastikan demokrasi tidak cuma berjalan secara prosedural, tetapi juga
substansial.
Terakhir, penting kiranya kita melibatkan peran agamawan
untuk turut menekan jumlah golput. Pemilu adalah suatu kewajiban terhadap
negara sekaligus agama. Itu karena pada dasarnya, kita adalah bagian dari
umat dan bangsa negara secara bersamaan. Kedua identitas itu tidak bisa
dipisahkan satu dengan lainnya. Wa
Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar