Pemerintah
dan DPR Kerdilkan TVRI
Sabam Leo Batubara ; Koordinator
Tim Perancang RUU Penyiaran 1999-2000
|
KOMPAS,
06 Februari 2014
ADALAH menarik membandingkan
desain perkembangan media penyiaran di negara-negara berikut ini. Di Inggris,
Jerman, Korea Selatan, Jepang, dan Australia, misalnya, negara wajib membantu
Lembaga Penyiaran Publik agar eksis dan tidak kalah dari Lembaga Penyiaran
Swasta. Di negara-negara itu, LPP berkembang menjadi nomor satu, paling tidak
termasuk dalam tiga media penyiaran yang paling penetratif.
Di Amerika Serikat, negara
bersikap tidak membantu Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Tidak mengherankan TV
komersial menguasai AS. LPP tumbuh kerdil.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran, tugas pokok LPP dan LPS berbeda, tapi saling
melengkapi. LPP tidak komersial, sedangkan LPS komersial.
Negara membantu LPP TVRI untuk
melayani kepentingan publik dalam rangka mencerdaskan bangsa. TV komersial menjual tayangan
untuk memperoleh laba. Namun, dalam pelaksanaannya, apa yang didesain tidak
seiring dengan kenyataan.
Pemerintah dan DPR membiarkan TV
komersial mendominasi Indonesia, dan intervensi kedua lembaga itu terkesan
justru mengerdilkan TVRI.
Kerdilkan TVRI
Pertama, kebijakan pemerintah
mengerdilkan LPP TVRI. Menurut Pasal 14 UU Penyiaran, TVRI adalah lembaga
penyiaran publik berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara bersifat
independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk
kepentingan masyarakat.
Menurut Pasal 31, UU Penyiaran
sebenarnya memberikan perintah kepada LPP TVRI untuk menyelenggarakan siaran
dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia.
Sementara itu, penyelenggaraan
sistem LPS melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.
Artinya, UU mengisyaratkan agar LPP TVRI berkembang menjadi pilihan pertama
masyarakat, sementara jangkauan siaran LPS dibatasi.
Misi TVRI utamanya adalah memasok
informasi yang mencerahkan dan mencerdaskan bagi sebagian besar rakyat.
Namun, UU Penyiaran belum berusia
empat bulan, Kementerian Negara BUMN di bawah pemerintahan Presiden Megawati
menerbitkan kebijakan bahwa mulai 15 April 2003 stasiun TVRI menjadi
perseroan terbatas dan melantik Hari Sulistio (mantan Dirut PT IBM Indonesia)
dan Enny Anggraeni (mantan eksekutif Citibank) menjadi Direktur Utama dan
Direktur Program dan Berita TVRI. Karena itu, TVRI dipaksa menjadi media
komersial untuk merebut kue iklan jelas. Inilah langkah awal pengerdilan
konsep LPP TVRI.
Kedua, kebijakan anggaran
pemerintah dan DPR tidak mendukung tujuan dan misi LPP TVRI. Supaya LPP TVRI
berkembang sejalan dengan Pasal 14 dan 31 UU Penyiaran dan menjadi pilihan
utama rakyat banyak, perlu anggaran yang mencukupi.
Kenyataannya dibandingkan dengan
anggaran tahunan beberapa TV komersial yang berperingkatmarket
leaders, anggaran APBN yang diterima LPP TVRI hanya sepertiga dari
jumlah anggaran yang diperlukan.
Tahun 2009 dan 2012 masing-masing
hanya Rp 550 miliar dan Rp 715 miliar, hanya cukup untuk mempertahankan
posisi kerdil LPP TVRI.
Ketiga, intervensi Komisi I DPR
terhadap TVRI menghambat kemajuan LPP itu. Intervensi DPR terhadap TVRI terus
berlanjut.
Dewan Pengawas memecat empat
direktur TVRI karena dugaan penyelewengan (18/11/2013).
Komisi I menyurati Dewan Pengawas
untuk mencabut pemecatan itu, tetapi ditolak. Karena itu, Komisi I menyurati
Kementerian Keuangan untuk memblokir anggaran TVRI sebesar Rp 1,3 triliun.
Paradoksnya, kewenangan pemecatan
adalah kewenangan Dewan Pengawas dan anggaran TVRI itu sudah disahkan oleh
Rapat Paripurna DPR.
Tantangan
Media penyiaran 10 tahun ini
berkembang paradoks. TVRI yang misi utamanya mendidik bangsa ternyata
tertinggal. TV komersial yang menurut UU menyelenggarakan siaran dengan
jangkauan wilayah terbatas ternyata mendominasi dunia penyiaran.
Muncul keluhan, sekarang ini
sebagian besar dari 240 juta penduduk dicekoki oleh tayangan TV komersial
yang berisi (1) kekerasan, perseteruan, dan caci maki; (2) sinetron yang
miskin pendidikan; (3) infotainment sarat gosip dan perselingkuhan;
serta (4) talk show yang tidak mencerahkan ataupun berita dan iklan
yang bias pemilik.
TVRI seharusnya tertantang kembali
mewujudkan misinya untuk melayani kepentingan publik.
Publik terdiri atas sebagian besar
240 juta rakyat yang terdiri dari aneka ragam suku bangsa yang berbeda
geografis, demografis, dan psikografis.
Mereka membutuhkan aneka ragam
program berisi tayangan yang mendidik, hiburan yang sehat, serta informasi yang
independen, berimbang, dan dipercaya kebenarannya.
Tantangan itu tidak mungkin
terwujud jika kewenangan DPR memilih Dewan Pengawas TVRI tidak direformasi.
Selama ini DPR tidak berkomitmen
memilih Dewan Pengawas yang jujur, independen, kompeten, dan paham LPP. Yang
dipilih adalah yang memenuhi kepentingan fraksi dan pribadi.
Jika Mahkamah Konstitusi berhasil
meluruskan model seleksi hakim agung yang melibatkan DPR, kini dibutuhkan
pengajuan uji UU No 32/2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945.
Seleksi lima Dewan Pengawas TVRI
tidak lagi oleh DPR, tapi juga oleh tim seleksi yang jujur, independen,
kompeten, dan paham konsep LPP.
DPR hanya berwenang menerima atau
menolak hasil seleksi itu. Model seleksi seperti itu akan menghasilkan Dewan
Pengawas dan Direksi TVRI yang jujur, independen, dan kompeten sekaligus
mampu meyakinkan pemerintah dan DPR untuk mencukupi anggaran TV publik itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar