Jumat, 07 Februari 2014

Pemerintah dan DPR Kerdilkan TVRI

Pemerintah dan DPR Kerdilkan TVRI

Sabam Leo Batubara   ;   Koordinator Tim Perancang RUU Penyiaran 1999-2000
KOMPAS,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
ADALAH menarik membandingkan desain perkembangan media penyiaran di negara-negara berikut ini. Di Inggris, Jerman, Korea Selatan, Jepang, dan Australia, misalnya, negara wajib membantu Lembaga Penyiaran Publik agar eksis dan tidak kalah dari Lembaga Penyiaran Swasta. Di negara-negara itu, LPP berkembang menjadi nomor satu, paling tidak termasuk dalam tiga media penyiaran yang paling penetratif.

Di Amerika Serikat, negara bersikap tidak membantu Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Tidak mengherankan TV komersial menguasai AS. LPP tumbuh kerdil.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, tugas pokok LPP dan LPS berbeda, tapi saling melengkapi. LPP tidak komersial, sedangkan LPS komersial.

Negara membantu LPP TVRI untuk melayani kepentingan publik dalam rangka mencerdaskan bangsa. TV komersial menjual tayangan untuk memperoleh laba. Namun, dalam pelaksanaannya, apa yang didesain tidak seiring dengan kenyataan.
Pemerintah dan DPR membiarkan TV komersial mendominasi Indonesia, dan intervensi kedua lembaga itu terkesan justru mengerdilkan TVRI.

Kerdilkan TVRI

Pertama, kebijakan pemerintah mengerdilkan LPP TVRI. Menurut Pasal 14 UU Penyiaran, TVRI adalah lembaga penyiaran publik berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.

Menurut Pasal 31, UU Penyiaran sebenarnya memberikan perintah kepada LPP TVRI untuk menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia.

Sementara itu, penyelenggaraan sistem LPS melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas. Artinya, UU mengisyaratkan agar LPP TVRI berkembang menjadi pilihan pertama masyarakat, sementara jangkauan siaran LPS dibatasi.
Misi TVRI utamanya adalah memasok informasi yang mencerahkan dan mencerdaskan bagi sebagian besar rakyat.

Namun, UU Penyiaran belum berusia empat bulan, Kementerian Negara BUMN di bawah pemerintahan Presiden Megawati menerbitkan kebijakan bahwa mulai 15 April 2003 stasiun TVRI menjadi perseroan terbatas dan melantik Hari Sulistio (mantan Dirut PT IBM Indonesia) dan Enny Anggraeni (mantan eksekutif Citibank) menjadi Direktur Utama dan Direktur Program dan Berita TVRI. Karena itu, TVRI dipaksa menjadi media komersial untuk merebut kue iklan jelas. Inilah langkah awal pengerdilan konsep LPP TVRI.

Kedua, kebijakan anggaran pemerintah dan DPR tidak mendukung tujuan dan misi LPP TVRI. Supaya LPP TVRI berkembang sejalan dengan Pasal 14 dan 31 UU Penyiaran dan menjadi pilihan utama rakyat banyak, perlu anggaran yang mencukupi.

Kenyataannya dibandingkan dengan anggaran tahunan beberapa TV komersial yang berperingkatmarket leaders, anggaran APBN yang diterima LPP TVRI hanya sepertiga dari jumlah anggaran yang diperlukan.

Tahun 2009 dan 2012 masing-masing hanya Rp 550 miliar dan Rp 715 miliar, hanya cukup untuk mempertahankan posisi kerdil LPP TVRI.

Ketiga, intervensi Komisi I DPR terhadap TVRI menghambat kemajuan LPP itu. Intervensi DPR terhadap TVRI terus berlanjut.

Dewan Pengawas memecat empat direktur TVRI karena dugaan penyelewengan (18/11/2013).

Komisi I menyurati Dewan Pengawas untuk mencabut pemecatan itu, tetapi ditolak. Karena itu, Komisi I menyurati Kementerian Keuangan untuk memblokir anggaran TVRI sebesar Rp 1,3 triliun.

Paradoksnya, kewenangan pemecatan adalah kewenangan Dewan Pengawas dan anggaran TVRI itu sudah disahkan oleh Rapat Paripurna DPR.

Tantangan

Media penyiaran 10 tahun ini berkembang paradoks. TVRI yang misi utamanya mendidik bangsa ternyata tertinggal. TV komersial yang menurut UU menyelenggarakan siaran dengan jangkauan wilayah terbatas ternyata mendominasi dunia penyiaran.

Muncul keluhan, sekarang ini sebagian besar dari 240 juta penduduk dicekoki oleh tayangan TV komersial yang berisi (1) kekerasan, perseteruan, dan caci maki; (2) sinetron yang miskin pendidikan; (3) infotainment sarat gosip dan perselingkuhan; serta (4) talk show yang tidak mencerahkan ataupun berita dan iklan yang bias pemilik.

TVRI seharusnya tertantang kembali mewujudkan misinya untuk melayani kepentingan publik.

Publik terdiri atas sebagian besar 240 juta rakyat yang terdiri dari aneka ragam suku bangsa yang berbeda geografis, demografis, dan psikografis.

Mereka membutuhkan aneka ragam program berisi tayangan yang mendidik, hiburan yang sehat, serta informasi yang independen, berimbang, dan dipercaya kebenarannya.

Tantangan itu tidak mungkin terwujud jika kewenangan DPR memilih Dewan Pengawas TVRI tidak direformasi.

Selama ini DPR tidak berkomitmen memilih Dewan Pengawas yang jujur, independen, kompeten, dan paham LPP. Yang dipilih adalah yang memenuhi kepentingan fraksi dan pribadi.

Jika Mahkamah Konstitusi berhasil meluruskan model seleksi hakim agung yang melibatkan DPR, kini dibutuhkan pengajuan uji UU No 32/2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945.

Seleksi lima Dewan Pengawas TVRI tidak lagi oleh DPR, tapi juga oleh tim seleksi yang jujur, independen, kompeten, dan paham konsep LPP.

DPR hanya berwenang menerima atau menolak hasil seleksi itu. Model seleksi seperti itu akan menghasilkan Dewan Pengawas dan Direksi TVRI yang jujur, independen, dan kompeten sekaligus mampu meyakinkan pemerintah dan DPR untuk mencukupi anggaran TV publik itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar