Kamis, 06 Februari 2014

Quo Vadis Hakim Agung

Quo Vadis Hakim Agung

Achmad Fauzi   ;   Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kaltara;
Penulis buku ‘Anasir Kejahatan Peradilan’
JAWA POS,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
KEPUTUSAN politik Komisi III DPR menolak tiga nama calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial (KY) me­nuai kontroversi. Pangkal persoalannya karena dua hal. Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 telah menganulir kewenangan DPR memilih hakim agung. DPR hanya diberi wewenang untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon hakim agung yang dikirimkan oleh KY. Di samping itu, formulasi tiga banding satu untuk setiap formasi kamar peradilan tidak berlaku lagi. 

Frasa "menyetujui atau tidak menyetujui" tersebut ternyata belum bisa menuntaskan persoalan. Sebab, dalam praktiknya, DPR tetap menjalankan etape pengujian sebelum memutuskan apakah calon hakim agung yang diusulkan KY memenuhi kriteria atau tidak. Argumentasi ini terbaca ketika DPR menyatakan calon hakim agung Suhardjono, Maria Anna Samiyati, dan Sunarto tak cukup berkualitas. Hasil voting dari 48 anggota Komisi III yang hadir, 44 orang menolak Suhardjono dan Maria Anna Samiyati. Sedangkan Sunarto ditolak oleh 42 orang. 

Hingga kini, DPR tidak transparan dalam menetapkan tolok ukur kualitas calon hakim agung yang diharapkan. Justru, dalam sejarahnya DPR kerap tidak meloloskan calon kredibel dan berintegritas lantaran tak memiliki dampak keuntungan politik yang besar. Banyak calon hakim agung terjungkal di Senayan, padahal sangat mumpuni dalam penguasaan hukum formal, materiil, administrasi peradilan, dan pengetahuan hukum lainnya. 

Sikap DPR menolak usul KY tanpa argumentasi dan pertanggungjawaban publik yang jelas tersebut perlu dikritisi. Sebab, bagaimanapun, proses seleksi yang dilakukan KY telah berjalan ketat, independen, transparan, dan melibatkan pakar hukum sebagai penguji. KY juga terus berupaya menjemput bola ke kampus terkemuka untuk menjaring bibit unggul. Bahkan, dalam penelusuran aspek integritas, KY bergerilya untuk menggali rekam jejak dengan mengunjungi tempat para calon pernah bertugas serta mendengarkan kesaksian profil calon hakim agung dari masyarakat. Artinya, tiga calon yang ditolak DPR itu jika diibaratkan buah kelapa adalah saripatinya. Mereka sosok terbaik yang lahir dari proses penyisihan 50 peserta seleksi lainnya. 

Memilih hakim agung bukan seperti memilih politisi. Sebab, jabatan hakim (selayaknya) bukan jabatan politis. Hakim agung adalah sumber mata air kearifan, bendahara keilmuan, dan muara keagungan hukum yang mensyaratkan pemilihannya steril dari tendensi politis. Sungguh suatu sesat pikir di negeri yang notabene menganut sistem pemisahan kekuasaan, lembaga yudikatif masih dipecundangi oleh kekuatan politik yang bercokol di ranah legislatif. Hukum adalah pilar yang berdiri sendiri dalam menyangga eksistensi Indonesia sebagai negara hukum. Kemerdekaan peradilan adalah harga mati, termasuk independensi tata kelola keuangan yang otonom. 

Kedua, campur tangan legislatif terhadap kekuasaan yudikatif di sepanjang sejarah menimbulkan preseden buruk bagi terciptanya lembaga peradilan yang merdeka. Karena itu, superioritas kelembagaan DPR dalam seleksi hakim agung harus dihentikan. Tata krama kelembagaan selayaknya tetap dijaga dengan memandatkan secara penuh kepada KY untuk melakukan tugas pendaftaran, seleksi, dan menetapkan calon hakim agung. 

Sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia terikat dengan ketentuan universal yang berlaku dalam dunia internasional, termasuk parameter mengenai prinsip-prinsip dasar independensi pengadilan. Karena itu, sudah bukan zamannya hukum didikte oleh otoritas politik. Apalagi, dikangkangi oleh kekuasaan yang belakangan ini memiliki reputasi buruk di mata masyarakat. Berderet kasus yang menimpa DPR, mulai skandal korupsi, bolos kerja, kualitas produk legislasi yang menurun, semakin membuat citra DPR terpuruk. Sudah banyak undang-undang disusun sesuai kehendak politik, tapi banyak pula yang dibatalkan oleh MK karena tidak konstitusional. 

Pada 2012, MK telah menangani 169 perkara pengujian undang-undang (PUU) atau setara dengan 59 persen dari seluruh sengketa yang masuk ke MK. Tingginya uji materi tersebut menjadi salah satu indikasi politik hukum bahwa pembuatan undang-undang tidak mengacu kepada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber hukum. Semestinya, peraturan perundang-undangan produk kolonial dilakukan harmonisasi dengan prinsip-prinsip Pancasila yang merupakan kristalisasi dari seluruh budaya Nusantara.

Di harian ini, penulis pernah mengemukakan bahwa ada kalanya calon hakim agung berintegritas dan kredibel, namun karena tidak memiliki akses politik, akhirnya kandas (Memilih Hakim Agung, Jawa Pos, 19 September 2013). Ekstremnya, digugurkannya calon hakim agung semata-mata karena tidak dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan politik. 

Karena itu, proses rekrutmen calon hakim agung selayaknya dipertimbangkan agar tidak melalui mekanisme politik di DPR. Dengan catatan KY terus memperbaiki sistem rekrutmen secara komprehensif agar menghasilkan hakim agung yang berkualitas. KY dan MA perlu memiliki database hakim karir yang berprestasi mulai tingkat pertama hingga tingkat banding. 

Di samping itu, KY perlu terus mempererat kerja sama dengan perguruan tinggi untuk menemukan akademisi hukum yang punya dedikasi dan perhatian pada pembangunan hukum. Penulis meyakini masih banyak manusia Indonesia yang berkarakter dan memiliki reputasi baik dalam penegakan hukum. Hanya, hambatan utama para akademisi enggan mencalonkan diri sebagai hakim agung karena faktor politik. Karena itu, cabut saja wewenang DPR untuk menyetujui atau menolak hakim agung yang diusulkan KY.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar