Advokat
Siap Menyongsong Era Globalisasi
Frans H Winarta ; Ketua
Umum Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), Mantan Anggota Dewan Penasihat
(Board of Council) IBA, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
(UPH)
|
KORAN
SINDO, 06 Februari 2014
Tahun 2020 adalah tahun di mana regulasi-regulasi World Trade Organization (WTO) akan
diberlakukan di seluruh dunia dan hingga kini hanyalah tersisa tujuh tahun
lagi bagi negara-negara dunia untuk mempersiapkan diri memasuki era
globalisasi yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu negara peratifikasi WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Perjanjian WTO) juga mengakui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). GATT diakui oleh pemerintah Republik Indonesia dapat diartikan bahwa bidang jasa seperti bidang perdagangan lain haruslah juga bersiap untuk menghadapi era globalisasi. Salah satu bidang jasa yang harus turut mempersiapkan diri menghadapi era globalisasi adalah jasa hukum atau advokat. Dunia jasa hukum atau advokat haruslah bersiap untuk memasuki era lintas negara (cross-border) yang menstimulasi konsep persaingan bebas yang tidak lagi bersifat konservatif dalam artian hanya dibatasi dalam satu yurisdiksi hukum. Menghadapi implikasi dari era globalisasi, para advokat Indonesia haruslah bersiap. Salah satu bentuk persiapan tersebut adalah membentuk para advokat muda yang tangguh, berintegritas, profesional, dan dibekali ilmu hukum yang cukup, baik sistem hukum nasional maupun internasional. Bahasa Inggris, khususnya bahasa Inggris hukum (legal English), merupakan kemampuan yang wajib untuk dimiliki karena bahasa ini akan menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi para advokat muda untuk kepentingan korespondensi, pemberian pendapat dan nasihat hukum, pembelaan, ataupun pembuatan laporan kepada klien maupun para kolega asing. Pembekalan atas keahlian khusus tersebut haruslah lebih ditekankan dalam kurikulum fakultas hukum dan pendidikan advokat selama ini jika kita ingin menjadi “tuan rumah” di negeri sendiri. Hal tersebut semakin mendesak mengingat pada faktanya sudah banyak advokat asing yang selama ini berpraktik di Indonesia, padahal keberadaan mereka belum sepenuhnya ditunjang dengan aturan yang jelas. Di tengah permasalahan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sangat disayangkan bahwa kenyataannya orga-nisasi advokat yang ada justru terlalu sibuk mengurus pertikaian di antara mereka dan sibuk mencari penghasilan dari kursus dan pelatihan advokat dibanding memberi pembekalan yang cukup bagi para anggotanya untuk bersaing di dunia global. Padahal, secara universal seharusnya organisasi advokat hanyalah dapat hidup dari iuran anggota serta dari sumbangan yang tidak mengikat. Di tengah persiapan yang sesungguhnya mendesak untuk dilakukan pemberantasan atas korupsi yudisial (judicial corruption), halter sebut justru semakin marak dan celakanya dibiarkan terus keberlangsungannya oleh organisasi advokat yang ada. Merujuk pada perlakuan ini, tidak aneh dalam beberapa perkara korupsi akhir-akhir ini advokatlah yang justru tertangkap karena menjadi perantara dalam melobi ataupun menyuap hakim untuk memenangkan perkara. Fenomena yang berkembang saat ini adalah advokat justru telah bertransformasi menjadi “calo perkara” yang kerap bertemu hakim tanpa kehadiran lawan beperkara. Persepsi salah itu sekarang sudah umum berlaku dan dipraktikkan para advokat, padahal itu jelas memperkeruh perbaikan sistem penegakan hukum di negeri kita. Tidak heran, komunitas internasional sering mempertanyakan penerapan “rule of law” dan penegakan hukum di Indonesia. Tentu saja kenyataan ini merugikan posisi Indonesia sebagai penanda tangan dan anggota WTO. Berangkat dari kekarut-marutan sebagaimana disebutkan sebelumnya, sangat beralasan untuk menyatakan bahwa telah tiba waktunya bagi kita untuk berbenah dan mempersiapkan diri menyambut era globalisasi. Sistem pendidikan hukum dan profesi hukum (legal profession) haruslah diubah. Salah satu sumber perubahan tersebut tampak dalam Rancangan Undang-Undang Advokat (RUU Advokat). RUU Advokat tersebut telah mengubah secara fundamental sistem yang dinamakan sebagai sistem wadah tunggal (single bar association) menjadi sistem wadah jamak (multi bar association). Selain itu, Dewan Advokat Nasional juga dimunculkan sebagai lembaga yang bertugas untuk menyusun kurikulum pendidikan dan ujian advokat yang diharapkan berkualitas, di samping juga bertugas untuk menyusun, mengawasi, dan memeriksa pelanggaran kode etik advokat. Dengan Dewan Advokat Nasional ini, setiap organisasi advokat yang ada akan diberi kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan dan ujian advokat dengan syarat bahwa organisasi tersebut telah memenuhi syarat-syarat verifikasi yang telah dibakukan Dewan Advokat Nasional. Perubahan Fundamental Konsep wadah tunggal sesungguhnya konsep yang datang dari pemerintah Orde Baru untuk memenuhi tujuan rezim korporatis yang pada waktu itu memang berniat untuk mengontrol para advokat dalam satu wadah seperti buruh dan wartawan yang dikontrol dalam satu wadah yangbernamaSerikatPekerjaSeluruh Indonesia (SPSI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal tersebut seharusnya tidaklah dapat dibenarkan karena tidak ada satu organisasi advokat pun yang dapat mengklaim sebagai wadah tunggal karena pertikaian dan perpecahan pada 1980-an dan 2000-an. Pertikaian yang terus-menerus ini melemahkan posisi dan status advokat sebagai profesi “tukang ribut” dan “calo perkara” sehingga memicu disalahgunakannya advokat oleh “konglomerat hitam” dan “pengusaha hitam” ataupun pencari keadilan oportunis. Untungnya, sistem wadah tunggal ini akan segera mengalami perubahan menjadi konsep wadah jamak (multi bar association). Dengan konsep baru ini, organisasi-organisasi advokat yang ada diharapkan dapat bersaing secara bebas dan adil. Akhirnya organisasi advokat yang manajemennya baik, bersih, serta berkualitaslah yang dapat menjadi unggulan dan digandrungi calon-calon advokat lulusan fakultas hukum dari universitas terbaik. Advokat Bukan Penegak Hukum Kita perlu melihat dan merujuk pada United Nations Convention On The Code of Ethics of Law Enforcement Officials, Adopted by General Assembly Resolution 34/169 of 17 December 1979 khususnya Pasal 1 yang berbunyi: “ (a) The term “law enforcement officials”, includes all officers of the law, whether appointed or elected, who exercise police powers, especially the powers of arrest or detention.” Berdasarkan konvensi internasional tersebut, secara jelas telah dinyatakan bahwa yang dikategorikan sebagai penegak hukum (law enforcement officials) adalah lembaga yang mempunyai kekuasaan menangkap (right to arrest) dan kekuasaan menahan (right to detain) atau dikenal sebagai police powers. Alhasil, hanya polisi dan jaksalah yang dapat dinyatakan sebagai penegak hukum karena merekalah yang mempunyai police powers. Di sinilah Rancangan Undang-Undang Advokat (RUU Advokat) perlu dibenahi agar tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum internasional sebelum akhirnya nanti disahkan dan diundangkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar