Holding
Selamatkan Merpati
Effnu Subiyanto ; Ketua Cikal Foundation,
Pendiri Forkep, Kandidat Doktor Ekonomi Unair
|
JAWA
POS, 07 Februari 2014
JULI tahun lalu, dunia transportasi udara mengalami
ujian berat. Pesawat jenis Boeing 777 Asiana Airlines 214 Korea Selatan
mengalami hard landing dan terbakar
saat menyentuh landasan bandara internasional San Francisco (6/7/2013). Tiga
penumpang tewas dalam kejadian nahas itu. Tidak beberapa lama, pesawat Boeing
dreamliner 787 Ethiopian Airlines juga mengalami masalah di bandara Heathrow,
London (12/7/2013).
Di Indonesia, BUMN udara Merpati Nusantara Airlines (MNA) juga mengalami masalah operasional serius. Bukan karena problem pada pesawat-pesawat baru yang canggih dan mahal, namun lebih kepada masalah di luar teknis penerbangan. Menteri BUMN Dahlan Iskan akhirnya mengambil keputusan menjual BUMN yang memiliki utang sekitar Rp 6,5 triliun itu. Penawaran sudah dibuka sejak tahun lalu untuk menjaring calon investor baru potensial dengan syarat sekaligus membeli, termasuk utang-utangnya. Namun, sang investor tidak kunjung datang. Sejak 25 Januari 2014, mendadak manajemen MNA akhirnya menghentikan seluruh operasinya. Tidak mudah menjalankan bisnis airline. Banyak yang tutup duluan sebelum berkembang. Misalnya, Sempati Air, Bouraq, Jatayu Airlines, Adam Air, Indonesia Airlines, dan Batavia Air. Maskapai yang tutup setelah hadirnya konsep low cost carrier (LCC) justru semakin banyak. Mereka tidak mampu survive, seperti Batavia Air yang kolaps pada 31 Januari 2013. Maskapai Adam Air juga tutup pada 2008. Di tingkat global, strategi LCC juga efektif merontokkan berbagai maskapai internasional. Di AS, American Airlines juga bangkrut (November 2011). Padahal, mereka memiliki aset USD 24,7 miliar pada saat dibangkrutkan. Maskapai lain di AS juga mengalami nasib sama. Misalnya, Delta Air (2002). Di Jepang, maskapai Japan Airline (JAL) juga bangkrut pada 2010. Maskapai Malaysia Airline (MAS) ditutup 2007, Spanair Spanyol 2012, dan Malev Hungarian 2012. Sedikitnya, 189 maskapai nasional AS dinyatakan bangkrut sejak tahun 1990, dimulai dengan runtuhnya supremasi Continental Airlines. Beratnya menyehatkan keuangan MNA disebabkan tingkat load factor yang rendah karena ramainya kompetisi di jalur perintis sekarang ini. Keuntungan bisnis udara di-drive mayoritas 80 persen dari tiket penumpang. Kendati rute-rute yang diterbangi MNA berjumlah sekitar 69 rute, sebagian besar adalah rute perintis dengan ciri khusus minim penumpang. Jumlah provider udara nasional pasca runtuhnya Batavia Air adalah 17 maskapai. Jika MNA ditutup, akan semakin sedikit saja penyedia transportasi rute perintis itu. Ini tentu saja pukulan bagi transportasi melihat potensi pertumbuhan penumpang domestik Indonesia sebenarnya sangat luar biasa, yakni sekitar 21,21 persen rata-rata per tahun. Jumlah penumpang udara yang diangkut pada 2010 misalnya 50,5 juta penumpang dan naik menjadi 62 juta orang pada tahun 2011. Pada tahun lalu, jumlah penumpang udara Indonesia malah melonjak menjadi 74,19 juta orang (www.bps.go.id). Solusi Holding Maskapai internasional Singapore Airlines (SIA), tampaknya, memiliki strategi menarik untuk menguatkan hegemoni udaranya. Dengan anak usahanya Silkair, SIA seolah menjadi maskapai hub hanya untuk penumpang dengan tujuan kota-kota penting dunia. Jika Anda ingin ke Bangkok dengan SIA, Silkair yang akan melayani penerbangan sampai bandara internasional Changi, Singapura, untuk selanjutnya connecting dengan SIA sesungguhnya sampai ke Thailand. Dengan cara ini, SIA mendapatkan rute penerbangan yang sangat luas dan otomatis maksimal mendapatkan penumpang yang loyal dengan tetap standar layanan SIA. Maskapai BUMN udara terbesar, Garuda, sebetulnya mampu menduplikasi strategi SIA. Bersama dengan Citilink, rute MNA seharusnya diakomodasi oleh Garuda sehingga menjadi jaringan rute terbesar Indonesia. MNA dan Citilink fokus melayani rute perintis sampai kota-kota hub, untuk selanjutnya Garuda yang melayani penerbangan primernya. Betapa pun MNA adalah bagian dari 142 BUMN yang kini dikelola oleh Dahlan Iskan. Susah payah MNA selama ini dalam menghubungkan penumpang dari daerah kepulauan ke kota tidak perlu lenyap karena persoalan utang Rp 6,5 triliun. Nilai intangible MNA justru begitu besar sejak kelahirannya pada1962. Menteri BUMN Dahlan Iskan baru-baru ini gencar menggelorakan kampanye sinergi BUMN, baik dalam pekerjaan keroyokan dan dalam bentuk holding. BUMN dengan bidang bisnis seragam di-holding-kan agar semakin integratif. Misalnya, BUMN Semen Gresik yang bermetamorfosa menjadi BUMN Holding Semen Indonesia per 7 Januari 2013. BUMN perbankan juga akan diholdingkan agar dana yang dikelolanya tidak tercerai-berai. MNA yang kini dalam posisi sulit mengapa tidak di-holding-kan dengan BUMN Garuda? Kekhawatirannya tentu ada pada manajemen Garuda yang cemas berdampak langsung memengaruhi kinerjanya. Garuda kini sudah cukup baik dan pernah untung USD 56,06 juta pada 2012. Jika dibebani masalah MNA, betapa pun portofolionya tentu tidak akan mampu menahan kinerja MNA. Namun, bukankah itu persoalan di atas kertas? Menteri BUMN Dahlan Iskan sebetulnya sudah teruji sangat piawai mencari solusi atas masalah-masalah yang sulit seperti ini. MNA sebetulnya tidak perlu ditutup, apalagi dijual, hanya perlu dicarikan partner strategis yang mau susah dan bekerja keras. Ini dilakukan untuk kepentingan besar bangsa nanti, untuk mendukung program MP3EI di enam koridor. Namun, tikus dalam MNA harus dicari dulu sampai ketemu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar