Implementasi
Literasi Media dalam Kurikulum 2013
Irma Garnesia ; Mahasiswa Fikom Unpad
|
HALUAN,
06 Februari 2014
Menurut Teori
Jarum Hipodermik dalam Komunikasi Massa, khalayak hanyalah sekelompok orang
yang pasif dan mudah dipengaruhi oleh media. Teori ini menganggap media
memiliki kemampuan penuh untuk mempengaruhi khalayak secara aktif. Meskipun
berkembang sekitar tahun 1930-an sampai 1940-an, teori ini masih terasa
hingga sekarang.
Tidak usah jauh-jauh, contoh yang paling
gampang adalah iklan kampanye para calon politisi. Kebanyakan rakyat memilih
berdasarkan intensitas munculnya si calon politisi di televisi. Contoh lain
adalah realitas yang ditampilkan oleh sinetron yang ditonton anak-anak kita.
Apa yang ditampilkan di televisi langsung ditiru oleh mereka. Gaya berpacaran,
tren pakaian, tempat nongkrong,
dan gaya hidup hedonis. Disadari atau tidak, kita masih menjadi penonton
pasif yang dipengaruhi media.
Orang tua tidak selalu bisa mengawasi
tontonan anak mereka. Faktor kesibukan membuat anak-anak kehilangan kontrol
terhadap media. Televisi, internet, gadget,
dan sosial media merupakan alat elektronik yang seharusnya dikontrol
penggunaannya. Anak-anak perlu belajar dan memahami literasi media, yang kini
telah diimplementasikan dalam kurikulum 2013.
Apa itu literasi media? Literasi media
adalah sebuah keterampilan yang diperlukan guna berinternaksi secara pintar
dengan media, khususnya televisi. Hal ini menjadi penting, agar kita tidak
terkena dampak negatif televisi. Literasi media mengajak kita mengevaluasi
tayangan dan berpikir kritis tentang pesan yang disampaikan televisi. Apakah
pantas, logis, dan bermoral.
Saat ini, pemahaman remaja terhadap
realitas didapatkan dari media cetak, elektronik, dan internet. Media mampu
membangun pencitraan dalam benak kita dan membentuk opini publik. Misalnya
dalam dunia hiburan, televisi mendominasi aspek hiburan ketimbang edukasi,
moral, dan sosial. Media massa menyampaikan pesannya secara halus, sehingga
tidak kita sadari. Maka dari itu, kita membutuhkan literasi media.
Setidaknya dengan literasi media, generasi muda mampu membedakan tayangan
baik dan buruk.
Saat ini literasi media telah
diimplementasikan dalam kurikulum 2013. Saya bersyukur, setidaknya usaha yang
dilakukan para praktisi media mulai berhasil. Biasanya mereka melakukan
seminar, road show, dan kampanye literasi media. Seperti yang dilakukan
oleh Yayasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun
2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak
Pornografi tahun 2006, Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2011,
dan beberapa organisasi pemerhati media lainnya.
Di dunia sendiri, sejarah literasi media
dimulai tahun 1964. Saat UNESCO mengembangkan prototype model program
pendidikan media yang hendak diterapkan di seluruh dunia. Pada waktu itu,
baru dua negara yang menaruh perhatian pada literasi media, yakni Inggris dan
Australia. Kalangan pendidik di dua negara itu menyarankan pelaksanaan
pendidikan untuk mencapai literasi media, agar anak-anak remaja secara kritis
melihat dan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk dalam media.
Nah, setelah literasi media dilakukan
melalui seminar, workshop,
dan roadshow,
sekarang literasi media diajarkan di sekolah. Kita sadar bahwa gerakan melek
media tidak cukup hanya melalui seminar selama dua jam atau roadshow saja. Tetapi harus
kontinu dan dipantau oleh guru yang bersangkutan. Pada tahun 2002, sebuah yayasan
pemerhati media telah melakukan proyek literasi media ini.
Proyek dilakukan pada sekolah dasar di
kawasan Ibu Kota. Sebelumnya, mereka melakukan pelatihan pada guru, agar
guru dapat mengajarkan pendidikan melek media terhadap siswa. Tidak hanya itu,
orang tua juga perlu dibekali pendidikan melek media, melalui seminar, agar
pembelajaran ini optimal. Yayasan tersebut melakukannya secara menyenangkan
dan interaktif, agar siswa tidak bosan. Guru juga dibekali alat bantu
mengajar dalam memberikan materi untuk memudahkannya.
Saat ini kita belum dapat memastikan bagaimana
pelaksanaan kurikulum 2013. Apakah literasi media sudah diajarkan sesuai
porsinya atau belum. Kurikulum 2013 memang telah memasuki tahap pelaksanaan.
Namun belum banyak sumber yang membahas pelaksanaan literasi media dalam
kurikulum ini. Sejauh ini kita belum bisa memantaunya secara langsung
kecuali turun ke lapangan. Sebab melalui situs kemdikbud.go.id, sistem
elektronik pemantauan impelemntasi kurikulum hanya sebatas statistik
distribusi buku, pelaksanaan pelatihan dari Instruktur Nasional, Kepala
Sekolah, Pengawas Sekolah, Guru Inti hingga Guru Sasaran. Belum ada laporan
mengenai bagaimana berjalannya sistem kurikulum ini.
Lagipula literasi media hanya dimasukkan ke
jenjang SMA dan dikategorikan dalam mata pelajaran pilihan. Sekolah yang
bersangkutan belum tentu memilih literasi media jika mereka belum
memahaminya. Apalagi bobot mata pelajaran untuk SMA cukup banyak, tidak
sesuai dengan kapasitas siswa.
Tetapi, kita berharap agar penerapan
Literasi media dalam kurikulum dapat berjalan baik. Sebab literasi media
menjadi sesuatu tak terhindarkan ketika kita berada dalam masyarakat media.
Menurut Adiputra dalam Jamieson dan Campbell (2006:185), sebaiknya masyarakat
tidak hanya memahami media dengan baik. Masyarakat harus mengetahui cara
berinteraksi atau berhubungan dengan media bila mereka melakukan kesalahan.
Masyarakat juga harus tahu cara mempengaruhi media, bila perlu melakukan
boikot dan beragam gerakan lain untuk memaksa media memperbaiki kesalahan
yang dilakukannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar