Jumat, 07 Februari 2014

Implementasi Literasi Media dalam Kurikulum 2013

Implementasi Literasi Media dalam Kurikulum 2013

Irma Garnesia   ;   Mahasiswa Fikom Unpad
HALUAN,  06 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Menurut Teori Jarum Hipodermik dalam Komunikasi Massa, khalayak hanyalah sekelompok orang yang pasif dan mudah dipengaruhi oleh media. Teori ini menganggap media memiliki kemampuan pe­nuh untuk mempengaruhi khalayak secara aktif. Meskipun berkembang seki­tar tahun 1930-an sampai 1940-an, teori ini masih terasa hingga sekarang.

Tidak usah jauh-jauh, contoh yang paling gampang adalah iklan kampanye para calon politisi. Kebanyakan rakyat memilih berdasarkan intensitas munculnya si calon politisi di televisi. Contoh lain adalah realitas yang ditampilkan oleh sinetron yang ditonton anak-anak kita. Apa yang ditampilkan di televisi langsung ditiru oleh mereka. Gaya berpa­caran, tren pakaian, tem­pat nongkrong, dan gaya hidup hedonis. Disadari atau tidak, kita masih menjadi penonton pasif yang dipe­ngaruhi media.

Orang tua tidak selalu bisa mengawasi tontonan anak mereka. Faktor kesi­bukan membuat anak-anak kehilangan kontrol terhadap media. Televisi, internet, gadget, dan sosial media merupakan  alat elektronik yang seharusnya dikontrol penggunaannya. Anak-anak perlu belajar dan memahami literasi media, yang kini telah diimplementasikan dalam kurikulum 2013.

Apa itu literasi media? Literasi media adalah se­buah keterampilan yang diperlukan guna berinter­naksi secara pintar dengan media, khususnya televisi. Hal ini menjadi penting, agar kita tidak terkena dampak negatif televisi. Literasi media mengajak kita meng­evaluasi tayangan dan berpikir kritis tentang pesan yang disampaikan televisi. Apakah pantas, logis, dan bermoral.

Saat ini, pemahaman remaja terhadap realitas didapatkan dari media cetak, elektronik, dan internet. Media mampu membangun pencitraan dalam benak kita dan membentuk opini pu­blik. Misalnya dalam dunia hiburan, televisi mendo­minasi aspek hiburan ketim­bang edukasi, moral, dan sosial. Media massa me­nyam­paikan pesannya secara halus, sehingga tidak kita sadari. Maka dari itu, kita membutuhkan literasi me­dia. Setidaknya dengan literasi media, generasi muda mampu membedakan tayangan baik dan buruk.

Saat ini literasi media telah diimplementasikan dalam kurikulum 2013. Saya bersyukur, setidaknya usaha yang dilakukan para praktisi media mulai berha­sil. Biasanya mereka me­laku­kan seminar, road show, dan kam­pa­nye literasi media. Seperti yang dilakukan oleh Ya­yasan Jurnal Perempuan pada tahun 2005, Komunitas Mata Air tahun 2004, Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2005, Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi tahun 2006, Yayasan Pe­ngem­bangan Media Anak (YPMA) tahun 2011, dan beberapa organisasi pemer­hati media lainnya.

Di dunia sendiri, sejarah literasi media dimulai tahun 1964. Saat UNESCO me­ngem­bangkan prototype model program pendidikan media yang hendak diterap­kan di seluruh dunia. Pada waktu itu, baru dua negara yang menaruh perhatian pada literasi media, yakni Inggris dan Australia. Kalangan pendidik di dua negara itu menyarankan pelaksanaan pendidikan untuk mencapai literasi media, agar anak-anak remaja secara kritis melihat dan membedakan apa yang baik dan apa yang buruk dalam media.

Nah, setelah literasi media dilakukan melalui seminar, workshop, dan roadshow, sekarang literasi media diajarkan di sekolah. Kita sadar bahwa gerakan melek media tidak cukup hanya melalui seminar selama dua jam atau roadshow saja. Tetapi harus kon­tinu dan dipan­tau oleh guru yang bersang­kutan. Pada tahun 2002, sebuah yayasan pemerhati media telah melakukan proyek literasi media ini.

Proyek dilakukan pada sekolah dasar di kawasan Ibu Kota. Sebelumnya, mereka melakukan pela­tihan pada guru, agar guru dapat mengajarkan pen­didikan melek media terhadap siswa. Tidak hanya itu, orang tua juga perlu dibekali pendidikan melek media, melalui seminar, agar pembelajaran ini optimal. Yayasan tersebut melakukannya secara me­nye­nangkan dan interaktif, agar siswa tidak bosan. Guru juga dibekali alat bantu mengajar dalam memberikan materi untuk memudahkannya.

Saat ini kita belum dapat memastikan bagai­mana pelaksanaan kuriku­lum 2013. Apakah literasi media sudah diajarkan sesuai porsinya atau belum. Kurikulum 2013 memang telah memasuki tahap pelaksanaan. Namun belum banyak sumber yang mem­bahas pelaksanaan literasi media dalam kurikulum ini. Sejauh ini kita belum bisa memantaunya secara lang­sung kecuali turun ke lapangan. Sebab melalui situs kemdikbud.go.id, sistem elektronik pe­ma­n­tauan impelemntasi ku­rikulum hanya sebatas statistik distribusi buku, pelaksanaan pelatihan dari Instruktur Nasional, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, Guru Inti hingga Guru Sasaran. Belum ada laporan mengenai bagaimana ber­jalannya sistem kurikulum ini.

Lagipula literasi media hanya dimasukkan ke jen­jang SMA dan dikategorikan dalam mata pelajaran pili­han. Sekolah yang bersang­kutan belum tentu memilih literasi media jika mereka belum memahaminya. Apa­la­gi bobot mata pelajaran untuk SMA cukup banyak, tidak sesuai dengan kapa­sitas siswa.

Tetapi, kita berharap agar penerapan Literasi media dalam kurikulum dapat berjalan baik. Sebab literasi media menjadi sesuatu tak terhindarkan ketika kita berada dalam masyarakat media. Menurut Adiputra dalam Jamieson dan Campbell (2006:185), sebaiknya masyarakat tidak hanya memahami media dengan baik. Masyarakat harus mengetahui cara berinteraksi atau berhu­bungan dengan media bila mereka melakukan kesala­han. Masyarakat juga harus tahu cara mempengaruhi media, bila perlu melakukan boikot dan beragam gerakan lain untuk memaksa media memperbaiki kesalahan yang dilakukannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar