Mendobrak Stagnasi Pemanfaatan Panas Bumi
Ahmad Redi ;
Doktor Hukum Universitas Indonesia,
Pengamat Hukum Sumber
Daya Alam
|
DETIKNEWS,
29 Januari 2014
Krisis listrik di beberapa daerah Indonesia ahir-akhir ini
menjadi pertanda bahwa telah terjadi ledakan ‘bom waktu’ atas lambannya upaya
pembentukan dan penerapan kebijakan pemanfaatan sumber energi alternatif di
Indonesia. Selain bahwa krisis tersebut juga diakibatkan oleh lambatnya
pembangunan jaringan transmisi listrik karena berbagai kendala di antaranya
kendala perizinan. Ketergantungan pembangkit tenaga listrik dari sumber
energi fosil yang berasal dari minyak bumi berakibat pada semakin high
cost-nya penggunaan minyak bumi bagi kepentingan kelistrikan nasional. Hal
tersebut dilihat dari besarnya subsidi listrik pada tahun 2013 yang mencapai
Rp 78,63 triliun.
Ironis, padahal Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi energi alternatif berupa sumber energi panas bumi yang sangat besar. Menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terdapat 299 lokasi panas bumi dengan total potensi 28.617 megawatt (MW) atau 40 persen dari potensi panas bumi dunia, sayangnya saat ini pengembangannya hanya sekitar 1.341 MA atau 4,6 persen dari potensi yang ada. Dalam hal aspek lingkungan, panas bumi merupakan sumber energi terbarukan yang proses pembentukannya terus-menerus sepanjang masa selama kondisi lingkungan dapat terjaga keseimbangannya. Sifat sumber energi panas bumi pun tidak dapat diekspor sehingga pemanfaatannya ditujukan hanya untuk mencukupi kebutuhan energi domestik. Dasar tersebut-lah yang sepertinya menjadi modus vivendi Pemerintah dan DPR untuk mengubah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang dianggap tidak aplikatif. Hambatan UU Kehutanan Tidak berjalannya UU No.27 Tahun 2003 disebabkan beberapa faktor, antara lain ketegorisasi panas bumi sebagai kegiatan pertambangan, tidak dikotominya pamanfaatan langsung dan tidak langsung panas bumi, serta tidak mampunya UU No.27 Tahun 2003 bekerja di dalam kawasan hutan khususnya kawasan konservasi yang potensi panas buminya melimpah. Pertama, ketegorisasi ‘penambangan’ yang mempersempit ruang gerak panas bumi dalam kawasan hutan. Berbeda dengan kegiatan minyak dan gas bumi yang dalam UU No. 22 Tahun 2001 tidak dikategorisasikan ke dalam kegiatan pertambangan namun UU No.27 Tahun 2003 mengatur panas bumi sebagai kegiatan pertambangan. Hal ini menjadi kendala penerapan pemanfaatan panas bumi dalam kawasan hutan karena kegiatan pertambangan ‘haram’ dilakukan dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, untuk hutan lindung pun hanya dapat dilakukan dengan skema tambang tertutup. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Padahal potensi panas bumi mayoritas terdapat dalam kawasan hutan konservasi. Upaya reformulasi pernah dilakukan misalnya melalui pengaturan dalam PP No.28 tahun 2011 yang mengatur bahwa pemanfaatan energi panas dapat dilakukan dalam kawasan hutan melalui skema izin usaha jasa lingkungan. Namun, reformulasi tersebut tidak mampu mendobrak ‘keharaman’ pemanfaatan panas bumi dalam kawasan hutan konservasi.
Kedua, permasalahan tidak dikotominya pemanfaatan langsung dan
tidak langsung. Dalam UU No. 27 Tahun 2003, pemanfaatan panas bumi hanya
fokus pada kegiatan untuk pembangkit tenaga listrik dengan tahapan survei
pendahuluan, eksplorasi, studi kelayakan, eksploitasi, dan pemanfaatan.
Pengaturan tahapan ini akan mengunci pemanfaatan langsung untuk kegiatan
pembangkit tenaga listrik bukan untuk kepentingan umum, artinya bagi
pemanfaatan langsung untuk listrik bagi kepentingan sendiri tidak dapat
dijalankan apabila tahapannya dilakukan sesuai dengan tahapan dalam UU No. 27
Tahun 2003.
Ketiga, tidak-mampunya UU No.27 Tahun 2003 bekerja di kawasan hutan konservasi. Dalam UU No.5 Tahun 1990 kawasan hutan konservasi hanya dapat dimanfaatan terbatas pada kegiatan: penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Pemanfaatan tersebut tergantung dengan status kawasan tersebut, yaitu termasuk kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya, taman nasional) atau kawasan suaka alam (cagar alam, suaka margasatwa). Pembatasan pemanfaatan tersebut, menutup kemungkinan pemanfaatan panas bumi dalam kawasan hutan. Akrobat Hukum Perubahan UU No.27 Tahun 2003 menjadi akrobat hukum agar kebijakan pemanfaatan panas bumi dapat berjalan. Namun, perlu disadari bahwa kendala pemanfaatan dalam kawasan hutan bersinggungan pula dengan UU No.41 Tahun 1999 dan UU No.5 Tahun 1990. Kawasan hutan sebagai wilayah yang akan dimanfaatan dalam pengusahaan panas bumi tunduk pada ketentuan perundangan tersebut. Artinya walaupun UU No.27 Tahun 2003 diubah dengan pengaturan yang baru, namun dalam UU No.5 Tahun 1990 kewasan hutan konservasi hanya dapat dimanfaatan terbatas pada kegiatan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya, sehingga ‘haram’ hukumnya selain kegiatan tersebut dilakukan dalam kawasan koservasi. Begitu pula dalam kegiatan hutan produksi dan hutan lindung, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU No.41 Tahun 1999 penggunaan kawasan hutan lindung dan produksi untuk kepentingan pembangunan di luar kehutanan dilakukan melalui izin pinjam pakai kawasan hutan, untuk kegiatan penambangan dalam kawasan lindung hanya dapat dilakukan melalui tambang tertutup. Berdasarkan ketentuan di bidang kehutanan tersebut maka hanya dalam kawasan hutan produksi dan lindung (hanya tambang tertutup) saja pemanfaatan panas bumi dapat dilakukan. Sedangkan dalam kawasan konservasi yang merupakan ‘gudang’ panas bumi tidak dapat disentuh oleh rezim pengaturan panas bumi. Bagaimanapun isi pengaturan baru dalam RUU tentang Panas Bumi yang mengubah UU No.27 Tahun 2003 maka tidak akan berjalan tanpa adanya pengubahan UU No.5 Tahun 1990. Berlaku asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu bahwa pengaturan mengenai kehutanan berlaku khusus bagi setiap kegiatan pemanfaatan dalam kawasan hutan. Pengubahan UU No.5 Tahun 1990 merupakan harga mati agar pemanfaatan panas bumi dalam kawasan hutan konservasi dapat dilaksanakan. Akhirnya, upaya pemanfataan panas bumi harus disertai dengan infrastruktur hukum yang mapan dan mumpuni. Perubahan UU No.27 Tahun 2003 harus pula disertainya dengan keinginan dari DPR/Pemerintah untuk pula mengubah UU No.5 Tahun 1990. Tanpa ada perubahan UU No.5 Tahun 1990, kelak bila UU Panas Bumi yang baru disahkan, maka nasibnya sama dengan UU No.27 Tahun 2003, ia hanya akan menjadi macan kertas dan tidak aplikatif. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar