Masalah Sektor Agraria dan Sengketa Lahan
Otjih Sewandarijatun ;
Peneliti
Senior Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta; Alumnus
Udayana, Bali
|
DETIKNEWS,
28 Januari 2014
Ada beberapa masalah pembangunan yang tidak jelas
posisinya dalam sektor pembangunan nasional, misalnya sektor agraria.
Sehingga apabila terjadi kemacetan sulit menelitinya, di mana sumber
kemacetannya, padahal masalah agraria merupakan salah satu masalah pokok
negara dan bangsa.
Kasus sengketa lahan ataupun sengketa agraria masih terjadi di beberapa daerah, seperti misalnya pada 10 Januari 2013 di Kabupaten Ogan Komering Ulu Sumatera Selatan, kasus sengketa lahan antara warga Desa Kurup, Kecamatan Lubuk Batang dengan perusahaan perkebunan sawit PT MO belum terselesaikan. Kuasa hukum warga, Ahmad Tarmizi Gumay mengklaim bahwa tanah seluas 225 ha yang dikuasai perusahaan tersebut merupakan hibah yang diberikan pemerintah kepada warga yang telah ditandatangani kades dan camat setempat sesuai bukti Surat Keterangan Tanah (SKT). Sementara, lahan seluas 105 ha milik warga atas nama Abdullah yang juga diklaim perusahaan tersebut sejauh ini belum mendapatkan ganti rugi. Menanggapi hal itu, Manager Riset PT MO, mempersilakan warga melakukan gugatan jika menilai sertifikat tanah yang dimiliki PT MO cacat hukum. Pihak perusahaan menegaskan, mendapatkan tanah-tanah tersebut sesuai prosedur dan didukung alat bukti yang sah. Masalah sengketa lahan juga terjadi di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, di mana warga Kecamatan Pasak Talawang mempertanyakan ganti rugi atas lahan yang diklaim milik PT KMJ. Berdasarkan hasil rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Kapuas pada 23 Desember 2013, PT KMJ setuju memberikan ganti rugi kepada warga, namun hingga saat ini belum ada perwakilan PT KMJ yang mendatangi warga untuk menjelaskan mekanisme pemberian ganti rugi. Atas dasar itu, warga berencana mendatangi Bupati Kapuas untuk segera mengeluarkan surat keputusan sesuai dengan keputusan RDP tersebut. Sementara itu, peneliti Kepala Kajian Agraria LIPI, Lilis Mulyani menyentil kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dinilai belum berhasil menyejahterakan petani. Padahal SBY sempat menangis di depan petani saat membagikan 10 sertifikat tanah pada 10 petani pada 2010 lalu. Kebijakan Reformasi Agraria 2007 lalu nyatanya tak cukup berperan meningkatkan kesejahteraan petani. Menurut Lilis, kebijakan SBY dalam Reformasi Agraria belum memberikan hasil signifikan untuk petani. Padahal idealnya kebijakan Reformasi Agraria menjadi tonggak penting dalam perkembangan agraria Indonesia karena sekian lama isu land reform dipetieskan Orde Baru. "SBY menangis dalam beberapa kesempatan memikirkan petani miskin. Programnya bagus tapi tidak bisa meningkatkan kesejahteraan petani. Memberikan akses pada ruang, jaminan keamanan pada petani. Memang SBY terlihat tulus, kita lihat political will, political commitment kuat, tapi political power-nya kurang," ucap Lilis dalam seminar di Kantor LIPI, Jakarta, Kamis (16/1). Meski begitu Lilis mengakui sulitnya program ini karena persoalan warisan pemerintahan masa lalu yang hingga saat ini masih karut-marut. Selain itu, menjalankan Reformasi Agraria dalam kondisi Indonesia saat ini tidak mudah. Kebijakan pembangunan ekonomi yang ada secara eksplisit memberikan porsi yang terlalu dominan pada pasar, perkebunan besar, pembangunan infrastruktur besar-besaran atau bentuk pembangunan ekonomi yang rakus lahan. Tidak hanya itu, penghambat utama jalannya program ini sesungguhnya berasal dari kebijakan Kementerian Kehutanan yang bersedia melepaskan Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 8,15 juta hektar di 17 provinsi atau pemegang hak di tanah terlantar.
Lilis menyebut, praktik
program rintisan Reformasi Agraria implementasinya masih sporadis, di
tempat-tempat yang dipilih sebagai lokasi pilot projectnya semata. "Seandainya ini dijadikan sebuah
agenda nasional berkesinambungan sebagai bagian dari Grand Design Kebijakan
Agraria Nasional, Reformasi Agraria bisa menjadi jawaban ketimpangan
penguasaan lahan," tutupnya.
Menurut penulis, masalah agraria pertama-tama nampaknya perlu diperjelas dimana posisinya dalam Pembangunan Nasional. Pada masa Orde Lama, masalah agraria menjadi isu politik yang sangat sensitif, karena melahirkan slogan politik “tanah untuk rakyat” yang diusung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ada UU yang terkenal yang disusun pada jaman Orde Lama yaitu UU No 60 Tentang Agraria. Rasanya UU Agraria perlu dibuka kembali apa yang diatur oleh UU tersebut. Sangat mungkin Pemerintah Orde Baru tidak mengangkat masalah agraria sebagai salah satu isu yang diprioritaskan, justru karena suasana anti komunis/PKI yang menggunakan masalah tanah sebagai salah satu isu politiknya, perlu dihindari. Nampaknya meskipun berkaitan tetapi masalah agraria bukan masalah pembangunan sektor pertanian yang lebih banyak berbicara persoalan-persoalan ketahanan pangan dan persoalan kebutuhan pokok. Perlu ditafsir kembali, mengapa Presiden SBY menangis ketika pada tahun 2007 membagikan sertifikat tanah kepada petani dan mengapa sekarang dikritik seolah-olah tidak ada dinamika dalam penanganan masalah agraria. Yang jelas masalah tanah adalah masalah yang sensitif, sehingga nampaknya cukup beralasan lembaga-lembaga penelitian seperti LIPI memberikan perhatian, apa sebenarnya masalah agraria ini. Pemberitaan oleh media massa, sebaiknya tidak hanya dianggap media massa sebagai sarana penyebar informasi, tetapi media massa juga unsur yang kuat intuisinya dalam menghadapi sesuatu isu. Apalagi di era internet seperti sekarang ini, banyak organisasi yang bergerak dalam sektor agraria juga memiliki sosial media dan media online termasuk media komunitas yang tiap harinya berinteraksi dengan kalangan petani. Jajaran pemerintah terkait tampaknya perlu melakukan pendekatan dan komunikasi yang konstruktif dan persuasif dengan kelompok-kelompok seperti Serikat Petani Indonesia, Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA), Komite Pembaharuan Agraria (KPA) ataupun Youth Food Movement (YFM), termasuk Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kelompok-kelompok ini sudah membuktikan keberpihakannya terhadap petani dan permasalahan pangan di Indonesia dengan menolak Konferensi WTO di Bali Desember 2013 melalui gerakan Youth Caravan, bahkan belum lama ini mengadakan pelatihan jurnalistik bagi aktivis-aktivisnya bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar