Merespon Buku Presiden SBY “Selalu Ada Pilihan”
Satya Dewangga ;
Peneliti
Muda di Forum Dialog (Fordial), Jakarta
|
DETIKNEWS,
29 Januari 2014
Belum lama ini, di Assembly Hall, Jakarta Convention Centre (JCC) Jakarta, berlangsung acara
peluncuran buku setebal 824 halaman berjudul "Selalu Ada Pilihan" karya Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) yang dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara, anggota DPR
serta sejumlah kalangan dari berbagai profesi. Dalam buku tersebut SBY
menyebutkan ada pihak yang tidak terima dengan kemenangannya pada pemilihan
presiden tahun 2004.
Menurut SBY, buku tersebut merupakan hak jawab terhadap kritik dan cemoohan bahkan fitnah yang tertuju kepadanya selama sembilan tahun terakhir. Presiden juga mengatakan buku ini sengaja dia tulis sebagai warisan kepada pemimpin mendatang yang akan menggantikannya. "Buku ini saya persembahkan kepada presiden mendatang agar lebih siap mengalami tantangan, ujian, cobaan seperti yang saya alami," demikian kata SBY. Ditambahkan SBY buku ini diniatkan sebagai wahana untuk berbagi, bukan untuk menggurui, juga bukan untuk berteori. Presiden yakin ada komentar negatif, namun dia memilih melanjutkan dengan menerima komentar miring. Launching buku tersebut mendapat berbagai tanggapan negatif seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya oleh SBY. Di antaranya dari Ketua DPP PDIP, Rokhmin Dahuri menyatakan meskipun dalam bukunya SBY tidak menyebut nama pihak tertentu, tetapi susah dipungkiri pernyataan tersebut dialamatkan untuk Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri. Menurut Rokhmin, Megawati tidak pernah merasa sakit hati kepada SBY yang mengalahkannya pada Pilpres 2004, sebaliknya Mega justru merasa legowo dengan kekalahannya. Sementara itu, Pengamat Politik UI, Boni Hargens menyatakan peluncuran buku oleh SBY adalah sebuah bentuk arogansi SBY, baik sebagai presiden maupun ketua umum Partai Demokrat. Alasannya, terdapat sub judul dalam buku SBY yang berisi saran untuk presiden mendatang, padahal tidak ada keberhasilan SBY. Menurut Bambang Soesatyo, SBY tidak bijak meluncurkan buku saat terjadi bencana. Menurutnya, momentum peluncuran buku itu tidak tepat, bahkan sama sekali tidak bijak, karena saat ibu pertiwi sedang bersusah hati karena rakyat sejumlah daerah sedang dicekam bencana banjir dan gunung meletus. Berita www.tribunnews.com menulis berita berjudul “Menurut SBY, Inilah Barisan Sakit Hati yang Selalu Merongrong SBY” berisi antara lain, dalam salah satu bab bukunya yang berjudul "Selalu Ada Pilihan", Yudhoyono berbicara mengenai musuh-musuhnya selama ini. Bab yang berjudul "Musuh Menjadi Banyak" tersebut mengisahkan konsekuensi yang diterima seorang pemenang pemilihan presiden. Memiliki musuh yang banyak, menjadi salah satu konsekuensi tersebut (halaman 137), antara lain: Pihak pertama yang hampir pasti menjadi musuhnya adalah mereka yang kalah dalam pemilu; Pihak kedua, adalah para menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang kemudian tidak diangkat kembali dalam pemerintahan periode kedua Yudhoyono (halaman 139) ; Pihak ketiga adalah, kekecewaan dari kalangan TNI dan Polri yang gagal mendapatkan jabatan puncak, baik di tingkat angkatan, maupun di tingkat TNI dan Polri, padahal itu hak prerogratif Presiden;
Pihak keempat, pihak yang
tidak menyukainya termasuk mereka yang ingin menjadi direktur utama BUMN,
duta besar, gubernur, wali kota atau bupati; Pihak kelima, mereka yang merasa
tidak dibantu ketika sedang menghadapi masalah hukum di KPK, kepolisian, atau
Kejaksaan; Pihak keenam, deretan pengusaha yang tidak diberikan rekomendasi
agar bisnisnya bisa dilancarkan; Pihak ketujuh, salah satu sahabatnya yang
dianggap gigih melaksanakan kampanye anti-SBY.
Di tengah kritik buku tersebut, terdapat beberapa tanggapan positif terhadap buku karya Presiden SBY seperti dikemukakan Presiden Direktur Kelompok Kompas/Gramedia, Jacob Oetama mengatakan buku itu bukanlah pembelaan diri atau apologi SBY, justru merupakan refleksi pribadi dan keinginan SBY untuk berbagai pengetahuan dan pengalaman. Dalam bukunya SBY menulis kelegaannya bisa berbicara kepada rakyat kapan saja dan tentang apa pun, tanpa ada yang menyortir serta tidak ada bias dan distorsinya. Inilah unsur terpenting dalam sebuah buku, sesuatu yang menyisahkan tanda tanya. Buku ini juga istimewa karena ditulis sendiri oleh seorang presiden yang masih menjabat. Sedangkan Pakar komunikasi Politik Polcomm, Heri Budianta mengatakan buku itu lebih bersifat curhat SBY kepada publik tentang apa saja yang dia alami, kerjakan dan rasakan selama menjadi presiden. SBY ingin menjelaskan bahwa menjadi presiden bukanlah hal yang gampang. Pesan politik dari buku itu adalah SBY ingin kembali membangun cira positif dalam dirinya yang belakangan mulai memudar di masyarakat. Buku tersebut juga harus diterjemahkan sebagai “pembelaan” dari Presiden SBY, apalagi posisi Presiden SBY selama hampir sepuluh tahun memimpin Indonesia kerap kali tertekan oleh berbagai pemberitaan, isu atau persepsi yang muncul dari berbagai pemberitaan media massa. Media tidak pernah memilah apakah itu fakta atau rekayasa, semuanya digoreng media massa, terlebih media yang dikuasai oleh pimpinan partai politik tertentu. Dengan buku itu SBY ingin menjawab segala macam kritikan, isu dan bahkan fitnah yang tertuju kepadanya. Kalau berita-berita miring itu tidak dijelaskan kepada publik lewat sebuah buku yang ditulis SBY, dikhawatirkan rakyat akan terpengaruh dan percaya bahwa semuanya benar. Mengenai interest atau respons masyarakat terhadap buku-buku karya Presiden SBY, tentu akan tergantung kepentingan masing-masing orang terhadap isu-isu yang ditulis Presiden SBY, sehingga dibutuhkan penyikapan yang proporsional dan tepat dalam menilai respons-respons tersebut. Walaupun tidak menutup kemungkinan sejumlah media massa yang berada di bawah kekuasaan pemimpin partai politik memiliki agenda setting lainnya dalam pemberitaan ini, melalui wawancara dengan pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah, di mana sikap pemberitaan seperti ini bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik yang selalu menekankan agar pemberitaan selalu “cover both sides”. Kita berharap apa yang sudah dicapai bisa menjadi rujukan sejarah tentang bagaimana pergantian kepemimpinan ke depan bisa berjalan secara baik. Soekarno tumbang dengan nestapa, Soeharto dinistakan oleh reformasi, Habibie pertanggungjawabannya ditolak MPR. Kemudian Abdurahman Wahid diturunkan di tengah jalan, dan digantikan Megawati. Hanya Presiden SBY saja yang mampu bertahan selama dua periode, meskipun dalam perjalanannya sering diancam untuk di impeachment terkait berbagai kasus. Untuk itu, ke depan bangsa ini harus lebih dewasa dalam berdemokrasi, karena kekuasaan benar-benar berada di tangan rakyat. Dalam konteks itulah buku SBY menjadi penting bagi bangsa Indonesia untuk berdemokrasi, mudah-mudahan bangsa ini "Selalu Ada Pilihan" untuk menuju demokrasi yang lebih matang dan ingat pepatah bangsa Jerman “zeis geit” atau setiap masa ada pemimpin, setiap pemimpin ada masanya, serta setiap masa ada ceritanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar