(Membuat)
Merpati Terbang Lagi
Rhenald
Kasali ; Guru
Besar FE UI
|
KOMPAS,
19 Februari 2014
|
Mengelola maskapai penerbangan
ibarat berlayar. Ketika tak berombak dan angin bertiup
kencang, layar dibuka lebar-lebar supaya melaju. Sebaliknya, ketika angin
lemah, layar kita tutup. Memakai analogi itu, kisah Merpati Nusantara
Airlines (MNA) adalah anomali. Mengapa? Siapa pun tahu bisnis penerbangan
Tanah Air tengah booming. Jumlah
penumpang Garuda (2013) tumbuh 22,3 persen menjadi 25 juta membuat pendapatan
operasional naik 7 persen menjadi 3,72 miliar dollar AS.
Lion Air dan AirAsia
juga memesan ratusan pesawat baru. Susi Air kini melaju dengan lebih dari 50
pesawat. Secara menyeluruh, industri penerbangan kita (2013) tumbuh 20
persen. Jadi, ombaknya sedang tenang dan angin bertiup kencang. Bukannya
mengembangkan layar, mengapa MNA sibuk menambal perahunya yang bocor di
sana-sini?
Terus merugi
Kasus MNA adalah gambaran arah
bisnis yang keliru dengan manajemen yang rapuh. Ketika regulasi dan kompetisi
industrinya berubah, ia masih bekerja dengan cara lama. Jadi, yang lain sudah
tinggal landas, ia masih di landasan. Ada kesan internalnya frustrasi. Persis
seperti Garuda sebelum transformasi. Kualitas pelayanan tak terdengar, tak
jadi pilihan utama calon penumpang, dan selalu kalah jika ada maskapai baru
dalam rutenya. Kontrol sistem kurang efektif, penuh tetapi arus kas negatif,
dan kurang tanggap merespons kemunduran. Jadi, pendapatannya tak mampu
menutup kegiatan operasional. Ini berlangsung bertahun-tahun. Semester I-2012
kerugian Rp 360 miliar, setahun berikutnya Rp 413 miliar.
Padahal, rencana kerja anggaran
perusahaan menjanjikan kerugian pada 2013 tinggal Rp 163 miliar. Ditambah
beban utang Rp 6,5 triliun yang belum tahu mau diapakan, MNA belum berdaya
menghentikan perdarahan. Yang terjadi di MNA saat ini mirip Garuda jauh
sebelum transformasi. Pada 2005, beban biaya Garuda (Rp 12,4 triliun) lebih
tinggi daripada pendapatannya (Rp 11,5 triliun). Jadi, kinerja labanya minus
Rp 894,6 miliar, sedangkan utangnya mencapai 845 juta dollar AS. Belum lagi
reputasinya yang tercoreng kasus pembunuhan aktivis HAM, ketidaktepatan
waktu, dan sebagainya. Dengan kondisi itu, saham Garuda tak pas jika saat itu
dihargai 1 dollar AS sekalipun.
Lantas harus diapakan? Jangan lupa
hidup ini butuh krisis, tanpa krisis tak ada urgensi perubahan. Itulah yang
memaksa internal Garuda bahu-membahu melakukan transformasi. Pemimpinnya
menerapkan logika the burning
platform yang dalam manajemen perubahan diilhami dari panglima
perang Islam, Thariq bin Ziyad, saat menyerang Spanyol. Setiba di sana, ia
membakar semua perahu sehingga tak ada pilihan lain bagi prajurit selain
bertarung untuk menang.
Demikianlah pemimpin perubahan,
selain menetapkan arah, ia menciptakan kondisi. CEO Garuda Emirsyah Satar
membongkar cara kerja, perilaku, dan tata nilai lama yang sudah tidak
relevan. Lalu dimulailah tahapan strategi dari menghentikan perdarahan,
konsolidasi, rehabilitasi, sampai go
public. Masing-masing punya indikator terukur yang dikomunikasikan
sehingga semua pihak rela mendukung.
Kini, Garuda bukan saja sudah
keluar dari perangkap krisis, melainkan tumbuh menjadi maskapai yang sangat
sehat. Saat go public, Garuda
mencatatkan nilai 1,8 miliar dollar AS di Bursa Efek Indonesia. Padahal, saya
tahu betul pada 1998 nilainya bahkan tak laku jika dijual 1 dollar AS.
Menurut saya, jika pemerintah ingin menyelamatkan Merpati, jejak langkah
Garuda layak ditiru.
Modal untuk Merpati
Apa saja langkah-langkah itu?
Pertama, cari CEO transformatif yang tepat, yang berani, dan punya jaringan
luas, terutama dalam industri finansial yang tahu cara berpikir para kreditor
yang gelisah. Setelah itu, beri dia kewenangan menyusun the winning team. Kata kunci dari
proses transformasi Garuda adalah the
burning platform. Kedua, supaya ”perahunya
terbakar”, jangan beri suntikan modal baru. Pemberian modal baru hanya
akan menghambat perubahan. Merpati sangat membutuhkan krisis untuk perubahan.
Saya tadi menyebut jangan beri
suntikan modal baru. Meski begitu, saya akui, untuk menyelamatkannya Merpati
memang perlu modal. Apa saja yang bisa dijadikan modal oleh jajaran manajemen
baru Merpati? Secara konvensional, Merpati masih bisa membakar lemak-lemak
yang ada di tubuhnya, yaitu aset-aset yang underutilized.
Namun, masih
ada lagi. Pascaderegulasi, kita tahu sejumlah provinsi kaya ingin memiliki
maskapai penerbangan sendiri, tetapi sulit mewujudkannya. Dana berlimpah saja
tak cukup bagi daerah untuk mengoperasikan maskapai penerbangan sendiri.
Sebab, bisnis penerbangan memiliki karakter highly regulated, high cost, high tech, high risk, dan high investment, tetapi
marginnya tipis.
Selain rumit mengelola armada
kecil, izin rute dan Air Operator Certificate
juga sangat mahal dan lama keluarnya. Adapun Merpati sudah punya semua itu.
Bagi saya, kegagalan sejumlah daerah tersebut adalah peluang penting untuk
Merpati.
Sejelek-jeleknya maskapai ini memiliki kemampuan mengelola bisnis
penerbangan. Di sini pemerintah bisa membantu, bukan modal uang, melainkan
kemudahan izin rute baru agar bisa terbang ke daerah-daerah tersebut. Jika
dengan kesempatan itu Merpati tetap gagal beranjak dari landasan, saya kira
memang Merpati benar-benar sudah tidak layak lagi untuk terbang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar