Banjir
Bukan Bencana
Budi Widianarko ; Pengajar di Program
Magister Lingkungan dan Perkotaan,
Unika Soegijapranata
|
KOMPAS,
05 Februari 2014
Harian Kompas (23/1/2014) menilai pemerintah gagap
menghadapi bencana, khususnya banjir. Banjir yang selalu melanda sebagian
wilayah negeri ini setiap musim hujan rupanya selalu ditanggapi dengan
semangat rutin.
Saban banjir datang,
mengalirlah litani panjang tentang apa dan siapa penyebabnya, dilanjut- kan
dengan desakan pentingnya koordinasi antarwilayah. Untuk banjir Jakarta,
entah sudah berapa kali alur kisah yang serupa disuguhkan dari tahun ke
tahun.
Apabila direnungkan,
bencana rutin sejatinya sebuah paradoks. Bagaimana mungkin bencana dibiarkan
berlangsung rutin? Bukankah itu bak membiarkan seekor keledai terperosok
lubang yang sama berulang-ulang? Karena itu, penanganan banjir memerlukan
pendekatan baru, lepas dari belenggu kelaziman. Perlu terobosan cara pandang.
Dalam Pasal 1 UU No
24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud sebagai bencana adalah
”peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis”.
Dalam UU yang sama
juga ditetapkan tiga jenis bencana: bencana alam, bencana non-alam, dan
bencana sosial. Banjir masuk dalam ranah bencana alam.
Menganggap semua
kejadian banjir sebagai bencana alam adalah keliru. Penetapan semua banjir,
tanpa terkecuali, sebagai bencana sangat boleh jadi biang keladi berulangnya
kejadian banjir tanpa solusi permanen.
Manusia yang penentu
Seharusnya tidak semua
banjir dianggap sebagai bencana alam. Pada kasus banjir Jakarta, misalnya,
manusia merupakan unsur penentu yang sangat dominan. Dengan kata lain, banjir
akibat ulah manusia (anthropogenic) tidak seharusnya masuk ranah bencana.
Jika banjir disebut sebagai bencana alam, per definisi ia merdeka dari
tanggung jawab manusia. Banjir yang berulang melanda Jakarta jelas dipicu
ulah manusia, mulai dari pembalakan hutan, konversi lahan terbuka hijau,
hingga pembuangan sampah yang sewenang-wenang.
Tanpa menafikan peran
perubahan iklim, kajian FKS Chan dan kawan-kawan dari Universitas Leeds
(2012) menemukan bahwa risiko banjir di kawasan mega-delta Asia sangat
ditentukan beberapa faktor anthropogenic, seperti pertumbuhan populasi,
penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah, serta peningkatan timbunan
sedimen akibat erosi dan pembuangan sampah di kawasan hulu.
Tim peneliti yang sama
juga mengamati bahwa prinsip pembangunan yang peka banjir tidak dilaksanakan
di kota-kota delta Asia. Penanggulangan banjir umumnya lebih mengandalkan
pendekatan proyek yang ad hocsifatnya dan bukan sebagai bagian strategi
penataan kawasan yang memberi ruang bagi air, seperti restorasi danau dan
rawa, sistem drainase kota yang berkelanjutan, dan fasilitas penampungan
hujan buatan.
Merujuk pada hasil
kajian FKS Chan, banjir sebenarnya dapat dikategorikan sebagai kerusakan
lingkungan. Dengan begitu, tanggung jawab ataupun hak masyarakat dan
pemerintah atas persoalan banjir dapat dirumuskan secara jelas. Ketika warga
negara memiliki hak mendapat perlindungan atas banjir, berarti pemerintah
wajib menanggulanginya. Hal ini diatur dalam UU No 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menetapkan ”kerusakan
lingkungan” sebagai akibat ”perusakan lingkungan” oleh ulah manusia.
Hak mengadukan
Dalam UU itu perusakan
lingkungan hidup diartikan sebagai ”tindakan orang yang menimbul- kan
perubahan langsung atau tak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup”. Mendefinisikan banjir sebagai kerusakan lingkungan memang menuntut
penetapan kriteria baku banjir yang berbasis rusak fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan. Tantangan teknis ini tentu dapat dipecahkan. Metode ilmiah
menetapkan kriteria baku itu dapat diupayakan.
Ketika banjir telah
ditetapkan sebagai kerusakan lingkungan, UU No 32/2009 menetapkan setiap
orang yang merusak lingkungan hidup wajib menanggulangi, memulihkan, dan
mengendalikan kerusakan lingkungan hidup. Setiap orang juga dilarang
melakukan perbuatan yang mengakibatkan perusakan lingkungan hidup.
UU ini juga menjamin
hak setiap orang mengadukan akibat dugaan perusakan lingkungan hidup.
Mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Pemerintah dan
pemerintah daerah berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan
tertentu terhadap usaha dan/ atau kegiatan yang menyebabkan kerusakan
lingkungan hidup yang akibatkan kerugian lingkungan hidup. Masyarakat juga
berhak menggugat perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri
dan/atau untuk kepentingan masyarakat jika rugi akibat kerusakan lingkungan.
UU ini juga memuat
sanksi untuk tidak dilaksanakannya kewajiban oleh pemerintah. Pejabat
berwenang yang dengan sengaja tak mengawasi ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan
yang merusak lingkungan dan mengakibatkan hilang nyawa manusia dapat dipidana
penjara dan denda.
Pemaknaan banjir
sebagai kerusakan lingkungan memang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang
bertanggung jawab, selain para pelaku kerusakan lingkungan itu sendiri.
Pejabat pemerintah pusat dan daerah yang berwenang dituntut melakukan
pengawasan secara sungguh-sungguh terhadap para pelaku kegiatan yang berisiko
memicu banjir.
Terobosan pemaknaan
terhadap banjir ini layak dipertimbangkan jika memang pemerintah berkomitmen
menyelesaikan persoalan banjir secara tuntas. Jika tidak, kisah banjir akan
terus berulang diiringi suara gemuruh marah dan prihatin lantas senyap hingga
banjir berikutnya tiba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar