Kamis, 06 Februari 2014

Terjebak Demokrasi Prosedural

Terjebak Demokrasi Prosedural

Mahi M Hikmat   ;  Doktor Komunikasi Politik Unpad, Dosen UIN Sunan Gunung Djati
KOMPAS,  05 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
PENILAIAN sejumlah pihak bahwa Indonesia tengah terjebak pada demokrasi prosedural dan jauh dari pencapaian demokrasi substansial sulit untuk disanggah. Sejak reformasi mengubah tatanan rezim Orde Baru, hanya satu pemilu yang diselenggarakan di luar platform sistem pemerin- tahan, yakni Pemilu 1999. Pemilu itu terpaksa diselenggarakan dua tahun setelah pemilu sebelumnya (1997). Namun, setelah itu pemilu diselenggarakan konsisten setiap lima tahun: 1999, 2004, 2009, dan insya Allah 2014.

Dalam konteks konsistensi waktu, dalam tiga kali pemilu dan menjelang pemilu keempat di era reformasi, Indonesia taat pada amanah UUD 1945.
Bahkan, dalam mengimplementasikannya, semua elemen kekuasaan pemerintahan—baik legislatif, eksekutif, yudikatif, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), maupun pilar keempat demokrasi: media massa, serta seluruh rakyat—ikut andil menyukseskan pemilu.

Setiap menjelang pemilu, legislatif dan eksekutif selalu sibuk membuat undang-undang (UU) baru, mulai dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 untuk Pemilu 2004, UU No 10/2008 untuk Pemilu 2009, sampai UU No 8/2012 untuk Pemilu 2014.
Yudikatif pun sibuk menyiapkan sejumlah peranti hukum acara guna merespons permasalahan yang muncul, baik dalam proses pemilu maupun sengketa hasil pemilu.
Penyelenggara pemilu lebih sibuk lagi, selain harus bongkar pasang komisioner, juga harus memahami secara cermat isi UU baru.

Partai politik pun tidak kalah sibuknya karena harus mendaftar dan merekrut para calon dan menyiapkan kampanye yang menarik simpati rakyat pemilih. Belum lagi pemilu presiden dan wakilnya ataupun pemilihan para kepala daerah.

Terjebak pemilu sukses

Realitas itulah yang di antaranya telah menjebak seluruh elemen bangsa pada pusaran suksesnya pemilu. Dana rakyat tertelan besar untuk pemilu, baik dari APBN maupun APBD. Bahkan, beberapa tindak korupsi yang terungkap Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pun terindikasi untuk menyukseskan pemilu plus dana sejumlah konglomerat yang juga ikut terjun ke panggung politik, padahal buruh menjerit minta dinaikkan upah.

Instrumen untuk mengukur kualitas demokrasi sebuah bangsa tidak hanya berdasarkan variabel penyelenggaraan pemilu dapat dilangsungkan secara berkala atau sirkulasi kekuasaan politik dapat terdistribusi secara teratur. Sirkulasi kekuasaan politik, baik nasional maupun daerah, telah berjalan sesuai mekanisme demokrasi. Kendati harus mengorbankan banyak tenaga, biaya, bahkan darah dan nyawa.
Akan tetapi, apakah proses sirkulasi kekuasaan politik itu sudah berdampak positif terhadap kehidupan rakyat? Inilah demokrasi substansial yang banyak dipertanyakan.

Sejatinya, kesuksesan berdemokrasi memberikan kesuksesan pula pada kesejahteraan rakyat, misalnya meningkatnya taraf ekonomi, kesehatan, dan pendidikan rakyat. Namun, hal itu masih menjadi cita-cita karena demokrasi prosedural yang terjadi di Indonesia pun dalam konteks lingkup dan intensitas partisipasi warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan betul-betul masih berkutat dalam demokrasi prosedural dan masih jauh pada tahap demokrasi tertinggi: demokrasi partisipatoris.

Demokrasi prosedural

Dalam pandangan Schumpeter (1947), demokrasi prosedural hanya menunjukkan terjadinya persaingan di antara parpol, dan warga negara menjalankan hak pilihnya.
Padahal, setelah itu terdapat demokrasi agregatif (Dahl, 1989) yang memberikan muatan pada keterlibatan pendapat, preferensi, dan penilaian warga secara langsung dalam menentukan isi UU, kebijakan, dan tindakan publik lainnya. Kemudian demokrasi deliberatif (Gutmann, 2004), UU, dan berbagai kebijakan publik tersebut harus betul-betul menunjukkan kehendak setiap warga negara. Barulah demokrasi tertinggi, demokrasi partisipatoris (Barber, 1984) bahwa para warga negara berinteraksi secara langsung dalam membahas pilihan UU atau kebijakan publik untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi bersama.

Realitas itu terjadi karena UU Pemilu yang ada di Indonesia hanya berlaku pada terselenggaranya demokrasi prosedural. KPU hanya bertugas menyelenggarakan pemilu sampai pelantikan calon terpilih, termasuk Bawaslu pun hanya mengawasi pada tahapan yang sama. Setelah itu, mereka ”cuci tangan” atas kualitas para wakil rakyat atau pemimpin yang terpilih. Mereka cukup merasa bangga dan sukses dengan terselenggaranya pemilu. Walaupun para wakil rakyat dan pemerintah sudah banyak menerbitkan peraturan perundang-undangan yang menyuratkan partisipasi dan pelayanan publik.

Namun, akan lebih baik jika berkesinambungan dengan alur demokrasi prosedural alih-alih pemilu. Peraturan perundang-undangan tersebut juga merupakan wujud demokrasi sebagai kelanjutan demokrasi prosedural.

Oleh karena itu, semua kekuatan bangsa sejak awal wajib memiliki visi ke depan dalam merekrut para calon pemimpin bangsa menuju pada demokrasi partisipatoris dan tidak terjebak pada kepuasan semu: sukses pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar