Terjebak
Demokrasi Prosedural
Mahi M Hikmat ; Doktor Komunikasi Politik Unpad, Dosen UIN Sunan Gunung
Djati
|
KOMPAS,
05 Februari 2014
PENILAIAN sejumlah pihak bahwa
Indonesia tengah terjebak pada demokrasi prosedural dan jauh dari pencapaian
demokrasi substansial sulit untuk disanggah. Sejak reformasi mengubah tatanan
rezim Orde Baru, hanya satu pemilu yang diselenggarakan di luar platform
sistem pemerin- tahan, yakni Pemilu 1999. Pemilu itu terpaksa diselenggarakan
dua tahun setelah pemilu sebelumnya (1997). Namun, setelah itu pemilu
diselenggarakan konsisten setiap lima tahun: 1999, 2004, 2009, dan insya
Allah 2014.
Dalam konteks konsistensi waktu,
dalam tiga kali pemilu dan menjelang pemilu keempat di era reformasi,
Indonesia taat pada amanah UUD 1945.
Bahkan, dalam
mengimplementasikannya, semua elemen kekuasaan pemerintahan—baik legislatif,
eksekutif, yudikatif, penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), maupun pilar
keempat demokrasi: media massa, serta seluruh rakyat—ikut andil menyukseskan
pemilu.
Setiap menjelang pemilu,
legislatif dan eksekutif selalu sibuk membuat undang-undang (UU) baru, mulai
dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 untuk Pemilu 2004, UU No 10/2008 untuk
Pemilu 2009, sampai UU No 8/2012 untuk Pemilu 2014.
Yudikatif pun sibuk menyiapkan
sejumlah peranti hukum acara guna merespons permasalahan yang muncul, baik
dalam proses pemilu maupun sengketa hasil pemilu.
Penyelenggara pemilu lebih sibuk
lagi, selain harus bongkar pasang komisioner, juga harus memahami secara
cermat isi UU baru.
Partai politik pun tidak kalah
sibuknya karena harus mendaftar dan merekrut para calon dan menyiapkan
kampanye yang menarik simpati rakyat pemilih. Belum lagi pemilu presiden dan
wakilnya ataupun pemilihan para kepala daerah.
Terjebak pemilu sukses
Realitas itulah yang di antaranya
telah menjebak seluruh elemen bangsa pada pusaran suksesnya pemilu. Dana
rakyat tertelan besar untuk pemilu, baik dari APBN maupun APBD. Bahkan,
beberapa tindak korupsi yang terungkap Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) pun
terindikasi untuk menyukseskan pemilu plus dana sejumlah konglomerat yang
juga ikut terjun ke panggung politik, padahal buruh menjerit minta dinaikkan
upah.
Instrumen untuk mengukur kualitas
demokrasi sebuah bangsa tidak hanya berdasarkan variabel penyelenggaraan
pemilu dapat dilangsungkan secara berkala atau sirkulasi kekuasaan politik
dapat terdistribusi secara teratur. Sirkulasi kekuasaan politik, baik
nasional maupun daerah, telah berjalan sesuai mekanisme demokrasi. Kendati
harus mengorbankan banyak tenaga, biaya, bahkan darah dan nyawa.
Akan tetapi, apakah proses
sirkulasi kekuasaan politik itu sudah berdampak positif terhadap kehidupan
rakyat? Inilah demokrasi substansial yang banyak dipertanyakan.
Sejatinya, kesuksesan berdemokrasi
memberikan kesuksesan pula pada kesejahteraan rakyat, misalnya meningkatnya
taraf ekonomi, kesehatan, dan pendidikan rakyat. Namun, hal itu masih menjadi
cita-cita karena demokrasi prosedural yang terjadi di Indonesia pun dalam
konteks lingkup dan intensitas partisipasi warga negara dalam pembuatan dan
pelaksanaan keputusan betul-betul masih berkutat dalam demokrasi prosedural
dan masih jauh pada tahap demokrasi tertinggi: demokrasi partisipatoris.
Demokrasi prosedural
Dalam pandangan Schumpeter (1947),
demokrasi prosedural hanya menunjukkan terjadinya persaingan di antara
parpol, dan warga negara menjalankan hak pilihnya.
Padahal, setelah itu terdapat
demokrasi agregatif (Dahl, 1989) yang memberikan muatan pada keterlibatan
pendapat, preferensi, dan penilaian warga secara langsung dalam menentukan
isi UU, kebijakan, dan tindakan publik lainnya. Kemudian demokrasi
deliberatif (Gutmann, 2004), UU, dan berbagai kebijakan publik tersebut harus
betul-betul menunjukkan kehendak setiap warga negara. Barulah demokrasi
tertinggi, demokrasi partisipatoris (Barber, 1984) bahwa para warga negara
berinteraksi secara langsung dalam membahas pilihan UU atau kebijakan publik
untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi bersama.
Realitas itu terjadi karena UU
Pemilu yang ada di Indonesia hanya berlaku pada terselenggaranya demokrasi
prosedural. KPU hanya bertugas menyelenggarakan pemilu sampai pelantikan
calon terpilih, termasuk Bawaslu pun hanya mengawasi pada tahapan yang sama. Setelah
itu, mereka ”cuci tangan” atas kualitas para wakil rakyat atau pemimpin yang
terpilih. Mereka cukup merasa bangga dan sukses dengan terselenggaranya
pemilu. Walaupun para wakil rakyat dan pemerintah sudah banyak menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang menyuratkan partisipasi dan pelayanan
publik.
Namun, akan lebih baik jika
berkesinambungan dengan alur demokrasi prosedural alih-alih pemilu. Peraturan
perundang-undangan tersebut juga merupakan wujud demokrasi sebagai kelanjutan
demokrasi prosedural.
Oleh karena itu, semua kekuatan
bangsa sejak awal wajib memiliki visi ke depan dalam merekrut para calon
pemimpin bangsa menuju pada demokrasi partisipatoris dan tidak terjebak pada
kepuasan semu: sukses pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar