Rabu, 12 Februari 2014

Kemerdekaan Pers

                             Kemerdekaan Pers   

 Achmad Fauzi   ;   Aktivis Multikulturalisme
TEMPO.CO,  12 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Pers Indonesia harus merdeka! Pekik harapan ini mengemuka dalam setiap momen Hari Pers Nasional, 9 Februari. Dalam perjalanannya, pers acap dipandang secara tidak proporsional. Benar, doktrin kebebasan pers dijamin di  Indonesia, namun pada saat yang sama keberlangsungan pers selalu disudutkan oleh penguasa. 

Setiap Hari Pers, Presiden kerap mengapresiasi kiprah pers nasional yang  dianggap mampu menjalankan fungsi pers sebagai bagian dari proses check and balance terhadap penggunaan kekuasaan di Indonesia. Namun, ketika pers  menjalankan fungsi kontrol, tak jarang penguasa mengecamnya, sehingga pers (baca: media) kehilangan independensi, kehilangan pembaca, pendengar, pemirsa, dan iklan.  

Pemerintah hanya melanggengkan media yang dianggap mendukung politik  pencitraan. Sementara itu, harapan membangun pilar pers yang merdeka dengan  memelihara nalar kritisnya hanyalah cita-cita utopis. Padahal, peran pers  menjadi tumpuan utama dalam penyelesaian persoalan bangsa. Kemerdekaan pers, menurut Bagir Manan (2010), merupakan kebebasan dalam menjalankan tugas  jurnalistik yang meliputi kebebasan mendapatkan berita, mengolah dan menyusun  berita, serta menyiarkan berita. Dengan demikian, semua bentuk pengerdilan otoritas  pers, baik pembatasan bersifat preventif maupun represif yang dilakukan  tanpa mengikuti prinsip demokrasi dan negara hukum, adalah pembatasan yang  sewenang-wenang, karena itu dilarang.  

Selama ini pers atau media dianggap terlalu "kebablasan" dan kerap mengkritik pemerintah. Ini menjadi mimpi buruk kebebasan pers di Indonesia dan awal mula  robohnya pilar pers kita. Sebab, media tidak mungkin mengkritik pemerintah  tanpa dasar, karena ketika pers "ngawur" memberitakan kebobrokan suatu rezim  tanpa didukung oleh fakta, secara alamiah pers akan ditinggalkan  masyarakat. Pers dijamin tidak akan dipercayai lagi kredibilitasnya. 

Pemerintah tidak perlu pusing menanggapi jamaknya kritik dari media. Sebab, pemerintahan yang baik akan tetap baik di mata masyarakat, kendati media menjelek-jelekkannya. Cukuplah menjawab kritik itu dengan kerja keras dan karya nyata. Terlalu mahal jika energi pemerintah terkuras habis hanya karena polemik tentang politik pencitraan, sementara agenda besar yang direncanakan terbengkalai.  

Ketidakharmonisan hubungan pers dengan kekuasaan sejatinya akan menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, pengecaman atas fungsi kontrol pers akan  melanggengkan rezim otoriter, sehingga berpotensi memunculkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Kedua, pers sebagai unsur kekuasaan sosial akan kehilangan napas untuk hidup di alam demokrasi, yang dalam jangka panjang akan melemahkan tingkat  keberdayaan masyarakat. Seperti kita ketahui, masyarakat banyak mengetahui  informasi penting, terutama berkaitan dengan kebijakan pemerintah, karena  peran media. Ketika pers menjalankan perannya dalam memberi kritik yang  obyektif dan berimbang kepada penguasa, sesungguhnya pers sedang mewakili  suara masyarakat. Dengan kata lain, pers menjadi instrumen demokrasi untuk  menyuarakan mereka yang tidak mampu lagi bersuara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar