Sistem Penyiaran Belum
Optimal
Sabam Leo Batubara ; Koordinator Tim
Perancang RUU Penyiaran 1999-2000
|
TEMPO.CO,
12 Februari 2014
Sebagai hasil gerakan reformasi, sistem penyelenggaraan
penyiaran kita sudah cukup baik. Regulasinya tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang No. 40/1999 tentang
Pers. Persoalan pokoknya, terjadi banyak pelanggaran terhadap sistem oleh
sejumlah stasiun televisi, tapi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak mampu
menegakkan sanksi yang adil dan "memaksa" penyelenggara penyiaran
untuk menghormati dan mentaati aturan main penyiaran.
Ketidakmampuan itu ditunjukkan oleh bagaimana KPI menyikapi pelanggaran oleh enam dari 10 stasiun televisi nasional. Temuan KPI tentang pelanggaran sudah cukup akurat dan benar, tapi sanksinya tidak efektif melindungi kepentingan masyarakat. Menjawab pengaduan masyarakat terhadap enam stasiun televisi, KPI mengeluarkan keputusan berikut ini. Pertama, KPI memberi sanksi administratif teguran tertulis kepada enam stasiun televisi berikut ini karena dinilai melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS). Siaran iklan "ARB_Golkar versi 49 Tahun Golkar" yang ditayangkan TV One (24/10/2013) dan ANTV (25/10/2013) dinilai telah memenuhi unsur kampanye yang dilarang disiarkan di luar masa kampanye resmi. Program Kuis Kebangsaan yang hadiahnya disediakan oleh WIN_HT (1/12/2013) dinilai melanggar P3&SPS karena dibiayai oleh Partai Hanura. Program Kuis Indonesia Cerdas di Global TV (26/11/2013) dinilai melanggar karena dibiayai Partai Hanura. Siaran Iklan "WIN_HT versi Pakaian Adat" di MNCTV (30/11/2013) dinilai melanggar karena disiarkan di luar masa kampanye resmi. Program siaran jurnalistik Headline News pukul 11.00 WIB di Metro TV (11/11/2013) dan juga banyak ditemukan dalam program berita lain, dinilai telah melanggar larangan pemanfaatan program siaran untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok pemilik lembaga penyiaran. Beberapa iklan Metro TV dinilai melanggar karena disiarkan (11/11/2013) di luar masa kampanye resmi. Tapi KPI tidak memberi sanksi, hanya meminta Metro TV tidak lagi menayangkan iklan-iklan tersebut. Kedua, KPI menilai keenam stasiun televisi melanggar peraturan bahwa program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan dan atau kelompoknya. Pelanggaran TV One dan ANTV karena kuantitas dan frekuensi iklan kampanye. Pelanggaran oleh RCTI, Global TV, MNC TV, dan Metro TV karena pemberitaan. Paradoksnya, KPI memberi sanksi administratif teguran tertulis hanya kepada Metro TV dan tidak memberi sanksi kepada lima media lain. KPI hanya memintanya mempedomani P3&SPS. Bagaimana KPI mampu mengawal media penyiaran dalam upaya mewujudkan well informed voters dalam Pemilu 2014, jika media penyiaran yang tidak netral dan mengutamakan kepentingan golongan tertentu tidak diberi sanksi yang lebih berat? Ke mana arah penyiaran jika, dalam menyikapi pelanggaran peraturan dan P3&SPS, KPI hanya mampu memberi sanksi sebagaimana dicontohkan? Jawabannya, pelanggaran akan berlanjut terus. Dan, kepentingan masyarakat luas dirugikan terus. Arah penyiaran hanya mungkin dikembalikan ke tujuan keberadaannya jika KPI dipaksa mengubah sikapnya. Dari terkesan menjadi alat bagi kepentingan sejumlah pemilik stasiun televisi menjadi perpanjangan kepentingan masyarakat luas. KPI harus terlebih dulu menghormati dan menaati wewenang dan fungsi yang diberikan UU Penyiaran kepada lembaga negara independen itu, yakni: melaksanakan wewenang untuk memberi sanksi yang adil terhadap pelanggaran peraturan dan P3&SPS penyiaran dan melaksanakan fungsinya mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam upaya mendisiplinkan penyelenggara stasiun televisi untuk menghormati dan menaati regulasi penyiaran, patut dipertimbangkan langkah-langkah berikut. Pertama, sanksi administratif teguran tertulis yang dikeluarkan seharusnya juga mewajibkan media terkait untuk menayangkan isi pokok keputusan KPI. Tujuannya agar pemberian sanksi itu menjadi pengetahuan masyarakat dan agar media itu tidak mengulangi lagi kesalahannya. Kedua, karena pelanggaran peraturan tentang isi siaran wajib netral dan tidak mengutamakan golongan tertentu juga terkait dengan karya jurnalistik, KPI dalam pengambilan keputusan seharusnya menyertakan Dewan Pers. Karena pelanggaran peraturan itu bukan hanya sekadar pelanggaran P3&SPS, tapi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius, yakni melanggar UU Penyiaran Pasal 36 ayat (4), KPI seharusnya mengajukan perkara tersebut ke jalur hukum untuk memberi hukuman, didenda, dan atau siarannya dihentikan sementara/dibekukan untuk waktu tertentu, atau izin penyiarannya dicabut berdasarkan UU Penyiaran Pasal 55 ayat (2). Pilihan hukuman tergantung kepada bobot kesalahan. Bagaimana mengupayakan sistem penyiaran terselenggara optimal? KPI tidak harus menunggu UU Penyiaran yang baru, atau menunggu fatwa Mahkamah Agung. Yang dibutuhkan KPI adalah kejujuran dan keberanian melakukan actions melaksanakan wewenang untuk memberi sanksi kepada stasiun televisi sejalan dengan fungsinya mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar