Guru
sebagai Public Relations
Hendra Riofita ; Dosen Prodi Pendidikan Ekonomi Fakultas
Tarbiyah
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Sarif Kasim Riau |
SUARA
KARYA, 22 Februari 2014
Guru merupakan ujung tombak
sekolah dalam mewujudkan visi dan misi pendidikan. Jika sekolah tidak mau
gagal, guru tentu tidak boleh mengabaikan apalagi meniadakan tujuan
pendidikan. Dengan kata lain, apa dan bagaimanapun cara yang ditempuh guru
dalam menyampaikan materi kepada murid, tujuannya tetap harus diselaraskan
antara keberhasilan murid dengan keterwujudan visi dan misi sekolah. Dalam
konteks ini, guru tentu tidak ada bedanya dengan para public relation (PR) yang bekerja di perusahaan, yang bekerja untuk
kepentingan semua pihak baik internal maupun eksternal.
Sesungguhnya banyak persamaan
antara guru di sekolah dengan PR di perusahaan. Pertama, baik guru maupun PR
sama-sama dituntut oleh pekerjaannya untuk memiliki pengetahuan dan wawasan
yang luas guna menunjang komunikasi yang efektif dan efisien kepada semua
pihak. Karena itu, tidak ada alasan bagi guru maupun PR untuk tidak meng
update pengetahuan dan wawasan mereka setiap saat, agar komunikasi mereka
selalu berbobot dan berisi.
Kedua, adalah tentang citra
diri. Baik guru maupun PR sama-sama "menjual" citra diri dalam
bekerja. Citra diri yang baik akan menumbuhkan tingkat kepercayaan yang
tinggi terhadap apa yang mereka sampaikan, dan sebaliknya, citra diri yang
buruk akan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap apa yang mereka sampaikan.
Kata lainnya, semakin profesional penampilannya, akan semakin tinggi tingkat
kepercayaan yang didapat dan semakin tinggi pula nilai reputasi mereka di
mata khalayak. Sebab itu, mengemas tingkah laku dan perilaku dengan baik
menjadi kunci sukses mereka untuk mendapatkan citra diri. Dan, ketiga, guru
dan PR sama-sama menjadikan publik (murid/orang) sebagai objek.
Bila dipilah maka objek
tersebut bisa dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, orang yang kenal
mereka dan suka mereka. Kedua, orang yang kenal mereka tapi tidak suka
mereka, dan ketiga, orang yang tidak kenal mereka dan tidak peduli dengan
mereka. Baik guru maupun PR tidak bisa bekerja dengan, dan untuk orang-orang
yang masuk pada kelompok dua dan tiga. Oleh karena itu, dengan piawai mereka
harus membuat kelompok tersebut berubah menjadi orang-orang yang berada di
dalam kelompok satu.
Lalu, sama seperti PR yang
membangun dan menjaga hubungan dan kebersamaannya dengan publik, guru juga
membangun dan menjaga hubungan dan kebersamaannya dengan murid. Karena itu,
baik guru maupun PR, tidak akan melakukan interaksi secara formal saja tetapi
juga akan melakukannya secara informal, agar misi dan tujuan yang mereka
emban mendapat tempat dengan sempurna di hati orang-orang yang mereka tuju.
Karena itu, membangun kebersamaan adalah semacam sebuah "kewajiban"
bagi mereka.
Keempat hal diatas tentu hanya
merupakan sebagian saja dari banyak persamaan yang dimiliki oleh guru dan PR.
Namun demikian, tidaklah salah bila disimpulkan bahwa mereka sama-sama harus
memiliki kemampuan berkomunikasi, kemampuan mengorganisir, kemampuan bergaul,
berkepribadian yang jujur dan memiliki imajinasi yang kuat untuk menunjang
kesuksesan pekerjaan mereka.
Lebih jauh, hal-hal berikut
merupakan kriteria yang konkret bagi seorang guru untuk bekerja sebagai
seorang PR. Pertama, sehubungan dengan peranan guru yang begitu banyak di
sekolah yaitu sebagai pendidik, motivator, administrator, innovator, menejer,
supervisor, pemimpin, dinamisator, pemimpin dan evaluator, maka guru
sebenarnya dituntut bisa bekerja pada suasana yang penuh tantangan dan
tekanan seperti tekanan waktu, beban kerja, pemikiran, tenaga dan sebagainya
dalam waktu yang bersamaan. Bila guru memiliki kemampuan ini dan bersedia
untuk menghadirkannya pada keseharian kerja di sekolah, niscaya guru sudah
memiliki sebagian dari kriteria yang dimiliki PR.
Kedua, kriteria lain yang harus
dimiliki oleh guru untuk bekerja seperti PR adalah kemampuan untuk
mengorganisasi. Maksudnya adalah guru mampu menyusun pekerjaannya secara
tertata dari awal sampai akhir walaupun harus melibatkan stake holders,
kepala sekolah, rekan sesama guru, para murid, orang tua dan lain sebagainya
untuk tujuan tersebut. Akibatnya, guru harus bisa bekerja sama dan membuka
diri untuk kritikan dan saran dari siapa saja dan menjalin komunikasi dengan
mereka dalam suasana yang penuh empati dan simpati alias peka terhadap
perasaan orang lain.
Ketiga, guru adalah sumber
teladan, pribadi yang digugu dan ditiru. Oleh sebab itu tidak salah bila guru
juga disebut sebagai seorang pemimpin yang diikuti oleh murid dan orang-orang
disekitarnya. Sebagai seorang pemimpin, guru tentu harus bisa bekerja dengan
baik meski dalam waktu yang tidak beraturan, agar tuntutan peranannya seperti
yang telah disebut dalam poin pertama diatas, bisa terpenuhi.
Lebih jauh,
sebagai pemimpin, guru juga dituntut untuk memiliki pertimbangan yang matang
untuk semua keputusan yang diambilnya walaupun dalam waktu yang singkat. Jika
demikian, maka guru sudah bekerja layaknya seorang PR bekerja.
Keempat, di dalam kelas guru
tidak bisa tidak juga harus bisa berperan sebagai seorang "penjual"
yang baik. Hanya dengan menjadi "penjual" yang baik lah guru akan
mampu membuat anak didik membeli (baca: bisa menerima dan mengerti) materi
yang disampaikan. Karena itu, seperti seorang PR, penguasaan akan teknik
menjual jasa yang baik untuk kemudian mengimajinasikan dan
mengimplementasikannya kepada stake holders tentu juga menjadi suatu
keharusan bagi guru.
Kelima, seorang PR selalu
bekerja dengan cerdas, cekatan, menarik dan dinamis. Dalam keseharian,
hal-hal seperti ini adalah kriteria yang dengan sendirinya sudah melekat pada
jati diri seorang guru yang professional.
Jadi, apakah guru bekerja
sebagai seorang PR? Jawabannya tentu bukan ya atau tidak, karena semua yang
melekat pada seorang PR, sejatinya juga sudah melekat pada seorang guru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar