Membangkitkan
Gairah Kemaritiman
Harjuli Hatmono ; Sekretaris ex officio Komisi Penyuluhan
Pertanian Perikanan dan Kehutanan (KP3K) |
SUARA
KARYA, 21 Februari 2014
Ada yang menarik menyimak
secara seksama penegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespon
hasil Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di
Jakarta, 27-30 Januari 2014.
Pertama, ke depan paradigma
pembangunan Indonesia harus diubah mengingat sumber daya kelautan kita yang
besar. 'Konsep pembangunan nasional mau tidak mau, kita sebut Maritime-Land Development (www.presidenri.go.id).
Kalau itu kita jadikan grand starategy untuk jangka panjang, maka kita tidak
perlu cemas bahwa permintaan yang meningkat tajam bisa kita penuhi.'
Kedua, Presiden mengajak untuk
bersama-sama memikirkan kembali cara cerdas dan arif untuk mengembangkan
potensi besar kelautan kita. Kalau sektor kelautan dan perikanan bisa
digunakan untuk kemakmuran bangsa Indonesia, berarti arah pembangunan ini
sudah benar.
Ketiga, terdapat dua dimensi
dalam kelautan maritim yang harus diperjuangkan, yakni dimensi keamanan dan
kesejahteraan. Faktor keamanan sangat penting untuk memastikan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) dan wilayah lautan di antara pulau-pulau di Indonesia dalam
keadaan aman. Khusus untuk menjaga keamanan laut Indonesia, pemerintah telah
menambah tiga kapal selam dan berbagai kapal perang. Laut kita harus aman.
Kalau bisa dilindungi maka upaya untuk menggali sumber kemakmuran bisa kita
lakukan.
Konsep kelautan telah
diletakkan oleh pendahulu melalui Deklarasi Juanda 1957, yaitu "Bangsa Indonesia menjadi negara
kepulauan sebagai konsepsi kewilayahan untuk mewujudkan wawasan
Nusantara." Batas laut dengan luar negeri bukan ditentukan oleh
masing-masing pulau tetapi berdasarkan garis penghubung antar pulau terluar.
Dengan batas tersebut Indonesia
memiliki 17.499 buah pulau. Sejumlah 13.466 pulau di antaranya telah diberi
nama. Sedangkan sisanya yakni 4.033 pulau belum memiliki nama. Ini sungguh
ironis. Kita telah merdeka selama 68 tahun. Memiliki pulau, memberi nama saja
tidak.
Bayangkan betapa beratnya
perjuangan para pahlawan untuk merdeka, sedangkan setelah merdeka kita tidak
memiliki keseriusan mengelola. Sekali lagi, memberi nama saja tidak.
Kita bisa berdalih, ini betapa
banyaknya jumlah pulau? Bukankah alat canggih semacam satelit dapat
dipergunakan. Urgensi penamaan ini untuk menghindari dispute (sengketa) di
perbatasan. Kita berpengalaman dalam kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang
lepas ke Malaysia. Pengamanan perbatasan yang dilakukan Mesir (walaupun
sekarang lagi ribut di dalam negeri) dengan cara menempatkan militer di Gurun
Sinai disertai dengan mengelola pabrik pengolah minyak zaitun.
Negeri Sejahtera
Jumlah pulau terluar tercatat
di Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (KP3K) ada 92
buah. Tidak perlu pabrik sejumlah itu, secukupnya saja. Urgensi penamaan
pulau pedalaman berkaitan dengan identitas dan potensinya. Lebih lanjut jangan
ada pulau yang dapat dikuasai pihak asing yang biasanya atas nama investasi.
Umumnya orang asing menikahi pribumi lantas menguasai sebagian wilayah
berpotensi yang berujung juga pada kapitalisasi. Lantas, dalam hal ini siapa
yang sejahtera dan menyejahterakan siapa.
Dalam dimensi kesejahteraan,
Presiden mengajak untuk terus mengembangkan cara medayagunakan sumber daya
perikanan. Sengketa antara Indonesia dan beberapa negara lain agar dapat
diubah menjadi kolaborasi atau kemitraan yang tidak merugikan. Selain itu,
soal transportasi laut juga penting karena Indonesia memiliki banyak pulau.
Pemerintah harus terus
memberikan perhatian dan program nyata untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pesisir. Misalnya, dengan mempermudah nelayan memperoleh bahan bakar,
kapal penangkap ikan, dan perlindungan terhadap nelayan.
Penundaan implementasi
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2012 tentang pemberlakuan
penggunaan solar industri (non subsidi) bagi kapal ikan di atas 30 Gross Ton
(GT) merupakan bagian dari pemberian kemudahan dan perlindungan kepada
nelayan. Kegembiraan ini dirasakan oleh Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT).
Mereka kembali dapat membeli solar subsidi seharga Rp. 5.500 per liter.
Perikanan yang melimpah ini
baru merupakan bagian kecil dari potensi ekonomi.
Mengemuka dalam Rakornas
masih banyak kekayaan di dalam laut, terkait dengan energi dan sumberdaya
mineral. Mencuat dalam persidangan perlu adanya undang-undang kelautan. Tidak
mencuat dalam forum itu, bahwa sesungguhnya jika dikelola dengan baik, maka
penghasilan dari laut tidak kurang dari Rp 7.000 triliun/tahun. Ini senilai
dengan tujuh kali APBN saat ini.
Berbicara soal menyejahterakan
masyarakat di negeri bahari ini sudah banyak yang direncanakan. Mulai rencana
jangka pendek, menengah, hingga panjang. Ada rencana strategis, ada rencana
operasional. Ambil misal dengan kata swasembada. Swasembada garam sudah
tercapai untuk jenis garam konsumsi. Namun impor masih dilakukan untuk garam
industri.
Hal serupa terjadi di sektor
pertanian. Swasembada mengalami nasib yang sama. Mulai dari swasembada beras,
bocor saja impor dari Vietnam. Swasembada gula juga baru untuk konsumsi.
Swasembada kedelai malah bikin semakin keterpenyetan tempe. Swasembada
jagung, tidak ada gaung. Swasembada daging sapi kesrimpet korupsi.
Tampaknya untuk mencapai
swasembada yang berlanjut ke berdikari kurang gairah. Dalam sektor kelautan,
saatnya kita membangkitkan gairah kemaritiman. Berpegang pada Deklarasi
Juanda, kibarkan bendera di atas KRI Usman Harun. Jangan takut. Mari kita
iringi dengan lagu Nenek Moyangku Orang Pelaut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar