Guru
Bergelar Gr
Wiyaka ; Dosen FPBS IKIP PGRI Semarang,
Peserta Program Doktor Pendidikan Bahasa Inggris Universitas
Negeri Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 22 Februari 2014
MAHASISWA yang sekarang menempuh studi di lembaga pendidikan
tenaga kependidikan (LPTK) harus mulai bersiap-siap menunda cita-citanya
menjadi guru, segera setelah lulus.
Gelar sarjana pendidikan (SPd) tampaknya belum cukup sebelum
mendapatkan tambahan gelar di belakang nama, yaitu Gr (SM, 13/2/14).
Sebenarnya itu bukan hal baru, bahkan bisa dianggap terlambat, bila kita
tinjau dari pengundangan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Dengan pemberlakuan regulasi itu, lulusan LPTK (sarjana
kependidikan) masih harus berjuang mendapatkan lisensi mengajar, dan itu
harus ditempuh melalui kompetisi dengan sarjana nonkependidikan.
Pasal 1 Butir 2 Permendikbud Nomor 87 Tahun 2013 menyebut
program pendidikan profesi guru (PPG) diselenggarakan untuk mempersiapkan
lulusan S-1 kependidikan dan S-1/D-4 nonkependidikan yang memiliki bakat dan
minat menjadi guru.
Program itu supaya lulusan menguasai kompetensi secara utuh
sesuai dengan standar nasional pendidikan sehingga dapat memperoleh
sertifikat pendidik profesional pada pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menegah.
Tiap orang berhak memilih dan mendapatkan pekerjaan yang
diinginkan, dan itu dijamin Pasal 27 (1) UUD 1945. Ada banyak contoh orang
mendapatkan pekerjaan ”jauh” dari pendidikan formalnya. Namun untuk jenis
profesi seperti dokter, notaris, akuntan, hakim, psikolog, dan guru, tentu
harus melalui proses pendidikan atau pelatihan khusus.
Mustahil lulusan S-1 ekonomi atau S-1 keperawatan mengambil
pendidikan profesi dokter, atau lulusan S-1 agama mengambil profesi psikolog.
Untuk profesi guru, ada aturan khusus yang tidak analog dengan profesi lain.
Lulusan S-1 nonkependidikan bisa mengikuti PPG. Pasal 6 (1) c
dan d Permendikbud Nomor 87 Tahun 2013 menyebutkan syarat kualifikasi akademik
peserta program PPG adalah lulusan S-1/D-4 nonkependidikan yang sesuai atau
serumpun dengan program pendidikan profesi yang ditempuh.
Artinya, lulusan S-1 matematika dari universitas (ilmu murni)
dapat mengikuti program PPG untuk menjadi guru matematika. Lulusan S-1 sastra
Inggris bisa menjadi guru profesional setelah mengikuti PPG.
Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam hal ini. Bahkan bisa jadi
penguasaan materi dari lulusan S-1 ilmu murni lebih bagus ketimbang lulusan
S-1 kependidikan.
Namun mengajar bukanlah persoalan penguasaan materi ajar atau
penyampaian informasi semata. Untuk menjadi guru yang baik, memerlukan
panggilan jiwa, minat, dan pendidikan khusus.
Yang kita khawatirkan adalah bila pilihan menjadi guru itu
diambil ketika seseorang karena alasan tertentu tibatiba memutuskan mengikuti
PPG. Artinya motivasi menjadi guru itu muncul secara instan dan instrumental
demi mendapatkan sebuah pekerjaan.
Menggurukan Ahli
Gagasan merekrut guru dari sarjana nonkependidikan dimunculkan
awal 1990-an oleh Prof Fuad Hasan, Mendikbud semasa pemerintahan Presiden
Soeharto.
Saat itu ketika pemerintah mencoba mengurai benang kusut
rendahnya kualitas pendidikan, terutama pada tingkat sekolah dasar dan
menengah, disinyalir faktor gurulah salah satu penyebab utamanya. Fuad
menggagas dua program, yaitu mengahlikan guru dan menggurukan ahli.
Mengahlikan guru berarti guru yang sudah ada, mendapat pelatihan
untuk penguatan pada penguasaan materi. Adapun menggurukan ahli adalah
melatih para sarjana ilmu murni untuk mempersiapkannya menjadi guru, melalui
program pelatihan singkat.
Lulusan S-1 matematika misalnya, dilatih beberapa saat untuk
kemudian diangkat menjadi guru sekolah. Guru Bahasa Inggris SMP bisa
diambilkan dari lulusan S-1 sastra Inggris universitas. Gagasan tersebut
mendapat reaksi keras, terutama dari perguruan tinggi kependidikan, yang dulu
bernama IKIP.
Pemerintah urung merealisasikan gagasan itu karena tidak ada
payung hukumnya. Setelah lebih dari 20 tahun, kembali muncul gagasan untuk
menggurukan ahli, bahkan menjadi keputusan pemerintah, bahwa lulusan S-1
nonkependidikan (ilmu murni) diberi kesempatan menjadi guru.
Melihat sisi penguasaan ilmu barangkali tidak salah, bahkan
mungkin bisa dibilang lulusan S-1 ilmu murni memiliki tingkat kedalaman
penguasaan materi yang lebih baik tingkat dibandingkan dengan S-1
kependidikan Namun bukankah guru harus memiliki kompetensi pedagogi,
profesional, sosial, dan kepribadian.
Di sinilah permasalahannya. Calon guru yang menempuh pendidikan
di LPTK sedari awal dipersiapkan menguasai empat kompetensi tersebut. Ada
sejumlah mata kuliah yang secara khusus diarahkan untuk pencapaian
kompetensi.
Sejak semester awal jauh sebelum praktik mengajar di sekolah,
mereka mendapat pemajanan awal (early
exposure), yaitu pemberian pengalaman sedini mungkin kepada calon guru
dengan magang atau internship di sekolah secara berjenjang. Melalui pemajanan
dini, tertanam konsep pedagogi secara empiris.
Mahasiswa mulai dikenalkan dengan apa dan bagaimana siswa
belajar (learning how to learn) dan
selanjutnya belajar tentang bagaimana mengajar (learning how to teach) dan membentuk keahliannya. Menjadi guru
itu tidak serta merta, tetapi harus muncul dari cita-cita yang
diidam-idamkan. Cukupkah ”laku” tersebut mereka tempuh dalam satu dua
semester PPG? Waktulah yang akan membuktikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar