Perlawanan
terhadap Plagiarisme
Dhoni Zustiyantoro ; Pemerhati Kebudayaan
|
SUARA
MERDEKA, 22 Februari 2014
KABAR plagiarisme kembali menggegerkan jagat intelektual kita. Celakanya,
kabar itu berembus dari universitas ternama di negeri ini, Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta.
Selasa (17/2/14), sejumlah media massa mengabarkan salah seorang
dosen di kampus itu, Anggito Abimanyu, memilih mengundurkan diri karena
tuduhan plagiarisme.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) itu, yang tahun 1993
memperoleh PhD dari University of Pennsylvania Philadelphia Amerika Serikat
dianggap menjiplak sebagian tulisan Hotbonar Sinaga berjudul ”Menggagas Asuransi Bencana”, yang
dimuat di Kompas, 21 Juli 2006.
Pengutipan yang dilakukan Anggito, yang juga menjabat Dirjen
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag itu tanpa menyertakan asal rujukan/ sumber
secara memadai. Dalam konferensi pers terkait dengan pengundurannya itu, ia
yang memberikan klarifikasi didampingi rektor UGM dan dekan Fakultas
Ekonomika dan Bisnis, ia mengakui ada semacam kesalahan pengiriman file dalam
tulisannya dan itu adalah fatal.
Tindakan penjiplakan karya intelektual selalu terjadi dari waktu
ke waktu. Kejahatan intelektual itu selalu saja terjadi meski pemerintah dan
instansi terkait telah berupaya secara sungguh-sungguh untuk meminimalisasi
plagiarisme. Dalam hal ini, media massa pun telah berperan aktif sebagai
pengawal kebijakan itu.
Pada 21 September 1999 misalnya, harian The New York Times
mengabarkan sejarawan Skotlandia, James AMackay, harus menarik kembali buku
biografi Alexander Grahamm Bell yang ditulisnya tahun 1998. Tak hanya itu,
James juga dituduh melakukan plagiasi atas biografi sejumlah tokoh besar
lain.
Setelah temuan itu, NYT aktif mengabarkan banyak temuan
plagiarisme dalam disiplin ilmu lain. Dalam tataran ini, perguruan tinggi
(PT) menjadi tempat yang sangat memungkinkan bagi kebersemian plagiarisme.
Mahasiswa yang menginginkan kelulusan dalam tempo singkat acap hanya sekadar
menyalin tugas akhir atau skripsi orang lain, tanpa menerapkan kaidah ilmiah
secara ketat.
Selain itu, tidak sedikit dosen yang tersandung masalah
salin-menyalin, entah pada ragam artikel ilmiah, makalah, penelitian, pengabdian,
bahkan pada tataran tesis atau disertasi sekalipun.
Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud Prof Dr
Supriadi Rustad MSi menemukan hal itu. Dalam rentang 2012, setidak-tidaknya
100 dosen setingkat guru besar, lektor, dan kepala lektor di PT melakukan
tindakan plagiasi (sindonews.com,
2/10/13).
Dijelaskan, tenaga pendidik itu memalsukan buku atau karya
ilmiah bukan hanya untuk mengejar tunjangan, melainkan juga untuk menaikkan
poin kredit.
Sebagai upaya pencegahan dan pemberian sanksi, pemerintah
menerbitkan Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Plagiat di Pendidikan Tinggi. Bila dosen terbukti secara sah
melakukan tindak plagiarisme, yang harus pertama menindak adalah rektor.
Palsukan Data
Yang lebih mengenaskan, Kemdikbud menemukan tidak kurang daru
400 perguruan tinggi swasta memalsukan data jumlah dosen dan mahasiswa.
Tindakan itu, menurut Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemdikbud,
dilakukan untuk mendapatkan dana pembinaan dan tunjangan sertifikasi dosen.
”Rasio dosen dan mahasiswa
ada aturannya. Mereka memalsukan data supaya terlihat memenuhi rasio.’’ Contoh kasus, salah satu dosen Universitas Padjadjaran (Unpad)
pernah tersandung kasus plagiarisme.
Tesis milik Helen Ryanita Nainggolan berjudul ”Tujuan Yuridis Jabatan Notaris Terhadap
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik, berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi elektronik pada Perdagangan secara Elektronik
Dikaitkan dengan UU Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris” yang
telah selesai pada Juli 2011, diduga dijiplak oleh dosen yang dulunya menguji
Helen saat sidang tesis.
Dugaan plagiat tersebut terungkap saat Helen mendapat buku
berjudul Cybernotary: Dalam Aktivitas Notaris di Indonesiaterbitan Juli 2012
yang ditulis oleh Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Unpad.
Dari hasil pemeriksaan terbukti bahwa pada halaman 13-40 buku
tersebut sama dengan tesis pada halaman 39-68. Isi alaman 78-92 sama dengan
isi tesis pada halaman 85-97. Isi halaman 92-108 pun sama dengan tesis pada
halaman 73-85. Kebangkitan kesadaran tentang hak kekayaan intelektual
merupakan respons terhadap timbulnya masyarakat konsumen ataupun
ketersebarluasan distribusi karya.
Dalam ranah kesusasteraan misalnya, Asa Briggs menguraikan
sejarah fenomena plagiarisme dalam jagat sastra dan media melalui buku Sejarah Sosial dan Media (2006).
Dia menyebutkan, pemahaman hak-hak milik kesusasteraan berasal
dari abad ke-15. Kaum humanis saling menuduh perihal pencurian atau
pengambilan karya, sedangkan pada bagian lain, mereka yang dituduh
menyatakan, ”mencontoh secara kreatif”.
Ada contoh plagiarisme dari Spanyol dan kemudian masih terkenal
hingga kini. Ketika itu, terdengar kabar bahwa bagian kedua dari novel Don
Quixote, yang terbit tahun 1614, bukan ditulis oleh Cervantes, tetapi seorang
”Avellaneda”. Ini merupakan bentuk plagiarisme yang agak tidak biasa karena
melibatkan pencurian sebuah tokoh dan bukan sebuah teks. Novel itu diakui
orang lain atau dicuri secara penuh.
Untuk membuktikan karyanya asli dan bukan hasil jiplakan,
Cervantes melakukan perlawanan dengan cara lain: menghasilkan lagi bagian kedua dari Don Quixote yang termasyur itu.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar